Rajin Pangkal Sakit Batin?

Pagi selalu penuh dengan agenda yang disiapkannya sejak malam. LKS yang akan ia bawa, speaker portable, powerbank, laptop, ledger, dan ATK ia jejalkan ke dalam tas cokelat, yang warnanya memudar karena sengatan matahari. Ia pun berangkat setelah berpamitan kepada suami, dan membelai kucing hitam yang setia mengantarnya.

Ia berusaha datang lebih awal daripada siapa pun.

“Meneladankan kedisiplinan” katanya.

Selain tak pernah terlambat, ia juga jarang sekali mengeluh saat diberi tanggung jawab tambahan, dan selalu siap membantu ketika rekan kerja berhalangan.

Lama berlalu, ia tetap mencoba cara yang sama.

Namun apa yang ia terima sebagai “balasan”?

Ia malah mendapat jadwal paling pagi dan jadwal paling akhir setiap hari. Di tengah-tengahnya kosong. Ia seakan dihukum dengan jadwal yang kurang manusiawi.

Anehnya, guru lain yang kerap datang terlambat justru diberi jadwal siang agar "lebih nyaman".

Lama ia tidak menyadari kondisi ini. Ia menepisnya sampai pada suatu saat ia mendapat teguran karena datang terlambat. Kucingnya sakit, tak enak makan sejak semalam. Jadinya, kucing itu berak sembarangan. Dan ia harus merapikannya.

Dan guru-guru lain yang sering sekali datang terlambat malah tidak pernah ditegur.

Ini bukan sekadar teguran. Baginya, setelah merenung lama, inilah budaya kerja yang diam-diam sedang menciptakan luka. Budaya yang memperkuat kebiasaan buruk dan menghukum kebiasaan baik.

Ia lalu bertanya kepada saya. Kepadanya, saya jelaskan tentang inverse reinforcement structure—struktur penguatan yang terbalik.

Bukannya memperkuat perilaku positif, sistem ini justru memperkuat perilaku negatif dengan memberi "hadiah" kepada yang kurang disiplin, dan "hukuman" kepada yang bertanggung jawab, ujar saya.

Dampaknya? Lebih dalam daripada yang terlihat.

Pertama, motivasi internal rusak. Ketika seseorang yang rajin merasa bahwa usahanya tidak dihargai, malah "dihukum", ia mulai mempertanyakan tujuan dari system ini. Lama-lama, yang muncul adalah rasa apatis. “Untuk apa disiplin dan memberi teladan, kalau malah saya yang selalu dijadwal pagi terus dan pulang paling akhir?”

Kedua, iklim kerja memburuk. Rekan-rekan lain yang tadinya termotivasi untuk meniru sikap disiplin, justru belajar bahwa menjadi rajin itu sia-sia. Budaya kerja pun berubah menjadi transaksional, penuh perhitungan, dan minim ketulusan.

Ketiga, organisasi kehilangan orang-orang terbaiknya. Mereka yang tulus, yang bekerja dengan hati, perlahan mundur—entah secara diam-diam melalui disengagement, atau secara langsung melalui pengunduran diri.

Apa Kemudian?

Dengan segala kesadaran itu, ia tetap berusaha bertahan. Tapi kini, semangatnya tak lagi menyala seperti dulu. Tatapannya tetap ramah, namun geraknya mulai pelan. Ia masih datang pagi, masih menyusun perlengkapan dengan rapi, masih menyapa murid-murid dengan senyum tipis. Tapi di dalam hatinya, ada ruang yang perlahan dingin—ruang yang dulu dipenuhi idealisme, kini diisi dengan keraguan.

Ia bukan ingin dipuja. Ia hanya ingin diperlakukan adil.
Bagi sebagian orang, mungkin jadwal pagi bukan masalah besar. Tapi ketika jadwal itu dibagikan bukan karena prinsip, melainkan karena kemalasan orang lain dan ketidakberdayaan sistem, maka yang terasa bukan sekadar repot—melainkan diperalat.

Setiap hari, ia membawa pulang rasa lelah yang tak cuma berasal dari pekerjaan, tapi dari pertanyaan-pertanyaan yang menggantung:

“Apakah saya terlalu berharap pada sistem yang tak akan pernah berubah?”

“Apakah saya salah karena ingin menjadi teladan?”

Lalu suatu hari, ia memilih berbicara. Tidak dengan marah, tapi dengan nada tenang dan kecewa yang sulit ditepis. Ia menyampaikan kepada kepala sekolah tentang pola penjadwalan yang tak adil. Ia tak mengeluh panjang—hanya meminta keadilan ditegakkan.

Respons yang ia terima? Sebuah senyuman kaku dan, lagi-lagi, janji evaluasi.

Ia pulang hari itu dengan langkah lebih berat. Tapi anehnya, ia tidak merasa kalah.
Karena hari itu, untuk pertama kalinya, ia menyuarakan batinnya yang selama ini dipaksa diam.

Rajin pangkal sakit batin?

Mungkin. Tapi bukan karena rajinnya yang salah.

Yang keliru adalah sistem yang tak mampu membedakan mana yang perlu dihargai dan mana yang perlu ditegur.

Yang menyakitkan bukan kelelahan karena rajin, tapi kenyataan bahwa rajin sering kali dimanfaatkan, bukan diapresiasi.

Dan jika budaya seperti ini terus dibiarkan, kita akan kehilangan lebih dari sekadar guru yang baik. Kita akan kehilangan teladan. Kita akan kehilangan semangat dari dalam—dan ketika itu hilang, apa lagi yang tersisa? Apa lagi yang perlu diperjuangkan?

Penjelasan saya dibalasnya dengan tatapan nanar. Tatapan kelu kepada anak-anak didik yang selalu ia perjuangkan.