Menemukan Jalan, Bukan Alasan

"Jika benar-benar ingin, kau akan temukan jalan. Jika tidak, kamu akan mencari alasan" kata suatu adagium.

Itulah yang terjadi pada salah satu inovator terkemuka dunia, Steve Jobs. Ia pernah memulai perjalanan itu dari sebuah garasi kecil. Bersama rekannya, Steve Wozniak, ia bermimpi menciptakan komputer pribadi yang bisa digunakan oleh semua orang. Terdengar mustahil pada masa itu. Modal mereka sangat terbatas, teknologi belum semaju sekarang, dan pesaing besar sudah mendominasi pasar. Namun, Jobs tidak mencari alasan untuk menyerah. Ia menemukan jalan: merakit komputer sendiri, membujuk investor, dan membangun Apple dari nol menjadi salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia.

Bahkan ketika ia dikeluarkan dari Apple — perusahaan yang ia dirikan sendiri — Jobs tidak membiarkan kegagalan itu menjadi titik akhir. Ia dirikan NeXT dan Pixar, dua perusahaan yang sukses besar. Itu menjadi bukti bahwa ia bukan sekadar beruntung, tetapi benar-benar memiliki ketekunan dan visi yang kuat. Jobs adalah contoh nyata dari seseorang yang, ketika benar-benar menginginkan sesuatu, selalu menemukan jalan, bukan alasan.

Adagium di atas memang sederhana, tetapi mengandung makna mendalam tentang bagaimana keinginan yang tulus melahirkan kekuatan untuk bertindak, bahkan dalam keadaan yang tampaknya tidak mungkin.

Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada dua pilihan: berusaha menemukan cara, atau bersembunyi di balik alasan. Orang-orang seperti Steve Jobs memilih untuk terus bergerak maju, meskipun jalannya terjal dan penuh tantangan. 


Mereka tahu bahwa keinginan yang kuat melahirkan kreativitas, kegigihan, dan solusi-solusi yang sebelumnya tampak tidak ada.

Sebaliknya, ketika motivasi kita setengah hati, segala rintangan terasa cukup untuk menghentikan langkah. Kita mudah berkata, "Terlalu sulit," atau "Bukan waktunya." Bukan karena jalan itu benar-benar tertutup, tetapi karena di dalam hati, keinginan itu tidak cukup kuat untuk mendorong kita mencari solusi.

Kisah sukses, inovasi besar, dan perubahan-perubahan berarti dalam dunia ini selalu lahir dari orang-orang yang memilih menemukan jalan. Bukan mereka yang menunggu kondisi ideal, melainkan mereka yang menciptakan peluang dari keterbatasan.

Begitu pun dalam kehidupan personal. Pernah, kakak dari salah seorang sahabat meninggal. Karena kedekatan hubungan, saya pun langsung berangkat ke terminal untuk naik bus, menempuh 3 jam perjalanan, lalu mencari ojek untuk sampai ke tempat. Begitu pun pulangnya. Hari itu hari kerja, dan saya harus mengambil cuti dadakan.

Bila ada orang yang sulit sekali menemukan cara dan mudah sekali menemukan alasan, mungkin memang dia tidak mau. Dan kita pun tidak bisa memaksa...


Nrimo, dan Lalu Bergerak - Entri Jurnal #35

Di rumah, saat badan sudah kering dan kembali hangat. Pikiran saya entah mengapa masih terus berkelana. Saya teringat pada satu lagi nilai yang sering saya dengar akhir-akhir ini. Konsep itu nrimo ing pandum.

Falsafah Jawa ini mengajarkan ketenangan dalam menerima bagian kita dalam hidup, baik suka maupun duka, panas maupun hujan. Bukan sebagai bentuk kepasrahan pasif, tetapi sebagai pijakan untuk melangkah dengan hati yang lapang.

Dalam konteks perjalanan tadi, nrimo ing pandum bukan berarti menerima kehujanan begitu saja. Tapi menerima bahwa pada hari itu, kami memilih motor. Dan pilihan itu membawa kami ke swalayan sepi, ke suasana yang mungkin tak kami alami kalau naik mobil, dan ke percakapan yang tak terjadi di ruang AC kendaraan.

Tiba-tiba saya sadar: Hujan itu bukan semata penghalang. Ia juga pengingat. Bahwa kendali kita terbatas. Bahwa hidup bukan soal menyesali arah angin, tapi belajar menyesuaikan layar. Bukan tentang menyesali pilihan, tetapi mengambil langkah bila kondisi tak sesuai perkiraan atau keinginan.

Nrimo ing pandum adalah bagaimana kita berdamai dengan apa yang sudah digariskan.
Yes, and adalah bagaimana kita terus bergerak dari apa yang sudah terjadi.

Dua konsep ini, yang satu berasal dari panggung teater, dan yang satu dari tanah leluhur, ternyata saling menguatkan. Menerima bukan berarti berhenti. Dan melanjutkan tidak harus dengan menggugat masa lalu.

Mungkin memang benar: Kadang, pelajaran hidup datang bukan dalam bentuk peristiwa besar. Tapi dalam percakapan kecil di atas motor, di tengah hujan yang datang tanpa undangan.

Dan mungkin juga, hidup yang bijaksana adalah hidup yang terus mencari makna—dari setiap basah, setiap belok, setiap keputusan kecil yang kita ambil di tengah panas dan mendung yang datang silih berganti.

Photo by <a href="https://unsplash.com/@ybhrdwj?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Yash Bhardwaj</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/black-and-yellow-5-door-hatchback-MWlPhjwo4aw?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Unsplash</a>

Yes, And: Belajar dari Pilihan di Tengah Hujan - Entri Jurnal #34

Siang ini, saat hendak pergi ke apotek untuk membeli obat, saya bertanya sepele kepada istri:

"Mau naik motor atau mobil?"

Jarak ke apotek lumayan jauh—sekitar 15 kilometer. Cuaca sedang terik dan tak tertarik untuk hujan di rumah kami, di Singosari. Tanpa pikir panjang, istri memilih motor. Alasannya masuk akal: biar lebih cepat sampai dan bisa mampir ke mana-mana dengan praktis.

Kami pun melaju.

Namun di tengah perjalanan di sekitar Blimbing, langit berubah. Mendung menggantung, bukan dengan cara yang manja. Wajahnya serius, yang hanya bisa diterjemahkan menjadi satu hal: hujan akan turun. 

Dan benar saja. Tetesan pertama jatuh. Lalu semakin deras. Tak ada tempat berteduh selain sebuah swalayan besar di tepi jalan yang tampak sepi dan agak sunyi. Kami masuk. Suasananya membuat merinding, tapi justru di sana kami menemukan jas hujan.

Saat mengenakannya, istri berkata, dengan nada setengah menyesal: "Kenapa tadi nggak bawa mobil saja, ya?"

Saya hanya mendengarkan.

Dalam diam, saya teringat pada satu konsep yang belakangan ini sering saya pikirkan: “Yes, and.”

Konsep ini berasal dari dunia improvisasi teater, tapi belakangan saya merasa ia sangat relevan untuk kehidupan sehari-hari. Gagasan dasarnya sederhana: ketika sesuatu terjadi, daripada berkata, “Seandainya tadi…”, kita bisa berkata, “Ya, lalu…”

Yes, kami memilih motor.
Yes, hujan turun.
And… kami berteduh. Kami beli jas hujan. Kami tetap melanjutkan perjalanan.

Dalam hidup, kita tak selalu bisa membuat pilihan yang tepat. Bahkan, kadang kita hanya bisa memilih yang “terbaik dari yang tersedia”. Tapi daripada menyesal dan memutar ulang skenario di kepala, kita bisa memilih untuk berdamai, menerima, dan bertanya: “Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?”

Konsep ini bukan tentang menghindari kesalahan, tapi tentang membangun kelenturan hati. Tentang membuka ruang bagi kemungkinan baru setelah badai kecil menerpa. Kadang, justru dari situ kita tumbuh—dalam basah, dalam dingin, dalam diam yang penuh perenungan.

Dan dari percakapan sederhana di atas motor, saya belajar satu hal lagi:

Kadang perjalanan yang tidak ideal
justru memberi pelajaran yang paling membekas.

Cara Sederhana Memahami Marketing

Madhav Mistry menulis di LinkedIn tentang marketing berikut. Tulisan aslinya berikut ini:

Marketing is not about social media

It’s about strategy, tools, and trust.


So simple even a 12-year-old could teach it to their friends.

If you hang a big sign that says:
“Best Coffee in Town – Come In!”
→ That’s Advertising.

If you offer “Buy 1, Get 1 Free” for today only...
→ That’s Promotion.

If someone smells the coffee, walks in, and buys a latte...
→ That’s Sales.

If someone leaves a bad review and you respond kindly with a free drink...
→ That’s Public Relations.

If a viral TikTok shows your latte art or cozy café vibes...
→ That’s Publicity.

If you post a Reel of your barista making heart-shaped foam...
→ That’s Social Media Marketing.

If you write a blog post like “5 Reasons Coffee Makes You Happy”...
→ That’s Content Marketing.

If a foodie influencer shares your drink with their followers...
→ That’s Influencer Marketing.

If someone Googles “coffee near me” and your shop ranks first...
→ That’s SEO.

If you send a weekly email with new drinks and cozy deals...
→ That’s Email Marketing.

If you host a live workshop where customers learn to brew...
→ That’s Experiential Marketing.

Bila diterjemahkan secara bebas:

Pemasaran itu bukan soal media sosial.
Tapi soal strategi, alat, dan kepercayaan.

Begitu sederhana sampai anak 12 tahun pun bisa menjelaskannya kepada teman.

Kalau kamu pasang papan besar bertuliskan:
“Kopi Terbaik di Kota – Masuk Yuk!”
→ Itu namanya Iklan.

Kalau kamu kasih promo “Beli 1 Gratis 1” cuma hari ini...
→ Itu Promosi.

Kalau orang mencium semerbak aroma kopi, berbelok, masuk, lalu beli latte...
→ Itu Penjualan.

Kalau ada orang kasih ulasan jelek dan kamu balas dengan ramah plus kasih minuman gratis...
→ Itu Hubungan Masyarakat (Humas).

Kalau ada video TikTok viral yang nunjukin latte art atau suasana nyaman di kafe kamu...
→ Itu Publisitas.

Kalau kamu upload video barista bikin foam bentuk hati...
→ Itu Pemasaran di Media Sosial.

Kalau kamu nulis blog berjudul “5 Alasan Kopi Bikin Bahagia”...
→ Itu Pemasaran Konten.

Kalau food vlogger terkenal share minuman kamu ke followers-nya...
→ Itu Influencer Marketing.

Kalau orang cari “kopi dekat sini” di Google dan toko kamu muncul pertama...
→ Itu SEO (Optimisasi Mesin Pencari).

Kalau kamu kirim email mingguan berisi menu baru dan promo menarik...
→ Itu Email Marketing.

Kalau kamu adain workshop langsung untuk ngajarin cara bikin kopi...
→ Itu Pemasaran Berbasis Pengalaman.

Saat berbicara marketing, sering-sering kita dianggap berbicara tentang pemasaran di media sosial saja. Padahal cakupannya luas...

Manusia Paling Berbahaya: Tahu tapi Tak Peduli - Entri Jurnal #33

Beberapa waktu lalu, Bagus Mulyadi melakukan podcast bersama Ferry Irwadi di Malaka Project. 

Di dalam podcast itu, dijelaskan bahwa inkompetensi lebih berbahaya daripada kejahatan, terutama bila inkompetensi dimiliki orang yang jabatannya tinggi.

Misalnya, pilot pesawat yang inkompeten lebih berbahaya daripada maling ayam. Risiko nyawa melayang dan bahaya lain jadi taruhannya. Jelas, pilot yang inkompeten lebih berbahaya. 

Obrolan itu mengingatkan saya pada kategori manusia menurut Al Ghazali. Menurut beliau, ada empat kategori manusia. 

Kategori satu: Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, yaitu golongan manusia yang tahu dan sadar bahwa dirinya tahu. Golongan manusia ini biasanya berilmu dan menyadari bahwa dirinya memiliki ilmu.

Kategori dua: Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, yaitu golongan manusia yang tahu tapi tidak sadar bahwa dirinya tahu. Golongan manusia ini sebenarnya berilmu, tapi tidak menyadari bahwa dirinya memiliki ilmu tersebut.

Kategori tiga: Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu golongan manusia yang tidak tahu tapi sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan manusia ini belum berilmu, namun menyadari dan mengakui bahwa dirinya belum tahu.

Kategori empat: Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu golongan manusia yang yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan manusia ini tidak berilmu dan tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu.

Saya kira yang paling berbahaya adalah manusia keempat. Ternyata menurut Seth Godin, yang paling berbahaya justru yang tidak peduli alias Uncaring. Ia tahu bahwa ia tidak mampu, tetapi tidak mau meningkatkan kompetensi diri.

Tahu apa yang salah, tetapi tidak mau melakukan apa-apa karena takut berbuat salah. 


Nilai itu Kita Simpan atau Kita Ciptakan? - Entri Jurnal #32

Salah satu tetangga, sebut saja Robert, selalu menyimpan barang yang bahkan sudah tidak dia perlukan. Baju misalnya. Baju masa kecilnya yang sudah robek tidak mau dia buang atau diubah peruntukannya menjadi serbet misalnya.
 
Apa penyebabnya?
 
Robert pernah mengalami kesulitan ketika kecil. Ia pun jadi cemas saat membuang suatu barang karena bisa jadi barang itu masih diperlukan. Itulah nilai. Nilai yang kita internalisasi.
 
Nilai semacam ini disebut juga nilai eksperiensial, menurut Viktor Frankl.
 
Lengkapnya, Viktor Frankl mengategorikan nilai menjadi tiga.
 
1.       Nilai pengalaman (experiential).
2.       Nilai kreatif (creative).
3.       Nilai sikap (attitudinal).
 
Nilai pengalaman itu berasal dari pengalaman dan interaksi kita dengan dunia sekitar. Termasuk di dalamnya jalan-jalan di hutan, momen mendalam, atau sekadar melihat senja.
 
Nilai kreatif muncul dari tindakan mencipta—apa yang kita kontribusikan kepada dunia melalui keterampilan, bakat, dan kerja keras. Misalnya, seperti menulis tulisan ini. Ini semacam pengejawantahan dari nilai kreatif.
 
Nilai sikap merujuk pada bagaimana respons kita terhadap penderitaan, kesulitan, atau keadaan di luar kendali. Misalnya, kita harus bayar SPP anak, harus bayar tagihan listrik, dan beli makanan kucing, sementara keuangan kita sedang tidak stabil. Lalu, kita tersenyum dan mengumpulkan ketenangan untuk memecahkan masalah ini.
 
Jadi, ada nilai yang kita petik lalu kita resapi dan tanamkan di dalam diri, lalu kita pelihara untuk kemudian tumbuh menjadi nilai eksternal. Nilai dari pengalaman itu kita semai lalu kita jaga dengan nilai dari sikap dan menumbuhkan nilai kreatif, yang dengannya kita menciptakan nilai atau create value. #insideout
 
 
 



 

Kekurangan Ragi atau Kebanyakan Ragu? - Entri Jurnal #31

Setelah menulis Gus Dur & Isuk Tempe Sore Dele, saya share tulisan itu kepada teman saya yang curhat tentang atasannya itu.
 
Saya pun menyertakan tulisan di bawah ini:
 
“Ternyata isuk tempe, sore dele itu maksudnya: yg sdh diputuskan mentah lagi jadi kedelai Mar. Padahal untuk sampai tempe, dahlah rapat dan diskusinya panjang nian.”
 
 “Fermentasinya gak berhasil. Mungkin raginya kedaluwarsa” ujarnya sambil menyertakan emotikon ketawa.
 
Saya pun ikut ketawa dengan simpulannya.
 
Lalu, ragi kedaluwarsa itu mengusik pikiran saya. Apa yang membuat kedelai gagal terfementasi sempurna?
 
Ternyata, ada berbagai tahapan pembuatan tempe.

Pertama bahan.

Ada dua bahan: kedelai dan ragi. Pastikan keduanya berkualitas baik.

Kedua proses.

Prosesnya:

Persiapan bahan:
  • Pembersihan: Cuci kedelai hingga bersih untuk menghilangkan kotoran.
  • Perendaman: Rendam kedelai dalam air bersih selama 8–12 jam. Proses ini membuat kedelai lunak dan memulai dehulasi (pengelupasan kulit).
  • Pemasakan: Rebus kedelai hingga matang selama 30–60 menit untuk membunuh mikroorganisme lain dan mempercepat fermentasi.
  • Pengelupasan kulit: Hilangkan kulit kedelai yang sudah lunak dengan tangan atau alat khusus.
  • Pengeringan: Tiriskan kedelai agar tidak terlalu basah.
Pencampuran ragi:
  • Tambahkan ragi tempe ke kedelai yang sudah dingin (suhu sekitar 30°C). Campur secara merata dengan takaran 1 gram ragi untuk 1 kg kedelai.
Pengemasan:
  • Masukkan kedelai yang telah dicampur ragi ke dalam plastik atau daun pisang.
  • Plastik biasanya diberi lubang kecil agar udara masuk, membantu pertumbuhan jamur.
Fermentasi:
  • Simpan kedelai yang sudah dikemas di tempat bersih, dengan suhu 30–35°C, selama 24–48 jam.
  • Periksa secara berkala untuk memastikan tidak ada kontaminasi.

Ketiga lingkungan.

Ada tiga lingkungan yang harus dipastikan saat membuat tempe.
·         Suhu: Suhu optimal adalah 30–35°C. Jika terlalu panas (>40°C), jamur mati; jika terlalu dingin, fermentasi lambat.
·         Kelembapan: Lingkungan dengan kelembapan sedang diperlukan agar proses fermentasi berjalan baik, tetapi kedelai tidak boleh terlalu basah.
·         Sirkulasi udara: Udara yang cukup membantu pertumbuhan jamur, karena jamur membutuhkan oksigen.

Keempat kompetensi teknis.

Periksa
beberapa hal berikut:
·         Kebersihan: Proses harus steril untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme lain.
·         Ragi berkualitas: Gunakan ragi segar dan simpan di tempat kering sebelum digunakan.
·         Konsistensi suhu: Hindari fluktuasi suhu agar fermentasi berjalan optimal.
 
Dari penjelasan di atas, ternyata kegagalan proses fermentasi bukan hanya terletak pada ragi. Bisa saja karena kebersihan, konsistensi suhu, atau proses persiapan, pencampuran, atau pengemasan.

Kalau tidak mau memulai proses untuk melaksanakan rencana, berarti penyebabnya bukan kekurangan ragi, tetapi kebanyakan ragu hehe.