Expecto...

Kala perasaan sebagai korban terus menerus berkuasa atas segala, kebahagiaan seakan habis tak bersisa. Di dalam diri, hanya terdapat nestapa dan nelangsa yang seakan berduet sempurna. Aku lalu menjadi lebih pendiam, lebih tak banyak bicara. Hasrat untuk meraih sesuatu tiba-tiba lenyap saja. Tanpa sisa.

Ketika rasa itu timbul, dan simpati dapat diraih, ketagihan pun muncul. Aku lantas menjadi sering mencari iba. Mencari simpati. Menciptakan drama-drama dalam cerita. Semakin candu itu menguasai diri, semakin tenggelamlah dalam nuansa-nuansa melankolis tanpa tepi. Mirip benang kusut yang terangkai dalam lingkaran setan. Rumitnya amit-amit.

retrieved from: http://bit.ly/1JmQtbM
retrieved from: http://bit.ly/1JmQtbM
Konflik batin akibat salah persepsi terhadap diri sendiri plus derita kalbu yang menyertainya menyedot habis semua kebahagiaan. Tidak hanya kebahagiaan diri sendiri, tapi juga kebahagiaan orang di sekitar. Mengiba sebetulnya hanya menghasilkan derita. Dan kadang penderitaan membuat orang ketagihan. Itu rumus mutlak yang kebenarannya hampir pasti. Mungkin paduan dari semua perasaan itu mirip dementor, sesosok iblis yang menyedot habis semua kebahagiaan dan kenangan indah kita. Sosok Dementor yang diciptakan JK Rowling itu benar-benar pas menggambarkan kesedihan membatu akibat kebodohan diri memilih persepsi, dan kesedihan itu melahap habis semua kebahagiaan.

Lalu momen pencerah itu tiba. Ayah yang pulang dari mengambil raport kelas 2 MTs tersenyum tulus saat menyapaku. Gurat-gurat bahagia terlukis jelas di riak wajahnya.

“Ayah tadi disuruh maju ke depan saat menerima raport” ujar beliau sambil menatapku lamat-lamat. Tatapan sendu bercampur bahagia. Beliau lantas menyerahkan raportku.

Saat kubuka, aku ternyata rangking dua. Dan yang paling membuatku bangga, hasil itu sudah membuat ayah bahagia. Binar dan cahaya wajahnya masih kuingat hingga kini. Binar dan cahaya wajah yang sama itu selalu kunantikan, bahkan selalu kuimpikan.
Itulah pertama kali beliau mengikuti rapat pertemuan wali murid. Ketika di SD dulu, kakeklah yang biasanya diundang sebagai waliku.

Rumit?

Ya, dilahirkan sebagai yatim sejak usia delapan bulan membuat rumit banyak hal, termasuk siapa waliku. Beliau memang suami dari ibuku, tetapi beberapa masih menyangsikan apa beliau lantas menjadi ayahku, menjadi waliku? Beberapa orang masih menyangsikan dan mempertanyakannya, setidaknya itu dari kilas-kilasan peristiwa yang aku coba ingat saat ini.

Aku sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan kekosongan figur seorang ayah. Beliau sedari awal selalu hadir, meski kadang tak tampak. Beliau selalu mengamati, meski tidak selalu dari dekat. Beliau tahu, meski tidak selalu datang membantu. Di situlah aku merasakan pendidikan keras pertama yang bahkan kepada anakku sendiri aku sering tidak mampu melakukannya: membiarkan anak menemukan jalan dan jati dirinya sendiri. Dan yang paling utama, beliau tidak pernah menuntut apa pun.

“Kalau tidak karena ayahmu yang telaten memijatkanmu” cerita ibu saat aku sudah sekolah di MA “mungkin kamu tidak akan bisa jalan seperti sekarang. Dulu kamu hampir kena polio. Jalanmu tidak akan sempurna. Kakimu akan kecil sebelah. Untungnya, ayahmu itu rajin memijatkanmu”

“Iya, dulu aku biasanya minta dibelikan es setelah selesai dipijatkan” sambungku sambil mengingat peristiwa masa kecil, dibelikan es seusai kakiku dipijat.

“Padahal ayahmu tidak punya uang dulu, tapi demi kamu apa yang tidak dilakukannya” lanjut ibu menyindirku, yang memang jarang membantunya di sawah.

Beberapa hari berselang, ada pemberitahuan di sekolah bahwa pada rapotan cawu ketiga kelas satu Aliyah wali muridlah yang diminta hadir. Aku yang mendapatkan pemberitahuan itu tidak lantas menyampaikannya ke ayah. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk itu. Seusai meraih rangking kedua itu, prestasiku terus melorot tajam. Pada saat kelas tiga MTs, namaku bahkan tidak masuk daftar nama para peraih prestasi.

Dan ketika kelas satu MA itu, nilaiku bahkan lebih buruk lagi. Konflik diri yang tak kunjung usai, plus bumbu kenakalan remaja khas anak SMA memperparah semuanya. Dan bagaimana aku akan bisa melihat wajah ayah saat itu?

Maka kuputuskan untuk tidak menyampaikan pengumuman itu. Dengan begitu aku aman. Posisiku dan wajahku aman. Tak bisa aku membayangkan kekecewaan wajah ayah. Tak bisa. Meskipun kekecewaan ayah dan kegagalanku sering berjalan beriringan, seolah-olah keduanya tercipta sebagai pasang-pasangan, entah mengapa rasa bersalahku begitu memuncak saat itu.

Sepintar-pintar membangun istana pasir, pasang sedikit pun sudah pasti akan menghancurkannya. Dan itulah yang memang terjadi. Wali murid Armin, teman sekelasku, mengajak ayah ikut pertemuan wali murid. Ayah terkejut, karena tidak pernah mendapatkan pemberitahuan dariku. Armin tak kalah terkejut.

“Seandainya aku tahu kamu begitu, aku juga tidak akan memberi tahu waliku” ujarnya.

Ayah lantas berangkat berdua dengan kakaknya Armin. Sepulangnya dari sekolah, ayah tidak bilang apa-apa. Beliau hanya menyerahkan raportku, dan lantas kembali ke sawah. Seperti biasanya. Seperti tidak ada apa-apa.

Hatiku remuk redam. Hancur tidak karuan-karuan. Rasa bersalah bergulung-gulung membentuk arus yang menghempas segala kebanggaan diri. Sembarang keegoisan. Tiba-tiba aku merasa menjadi manusia paling buruk. Manusia paling tidak tahu terima kasih. Orang yang tidak pernah menuntutku menjadi apa-apa itu selalu saja aku kecewakan, meskipun tulus kasih sayangnya melebihi hubungan darah yang mengalir deras di tubuhku.

Hari itu, kuikrarkan bahwa aku akan bekerja keras setiap hari untuk memastikan beliau maju lagi ke depan. Nama anak beliau dipanggil lagi. Hari itu kuberjanji tak akan mengulangi segala kesalahan dan kekeliruan yang sama. Setiap kali beliau bercerita tentangku, beliau hanya bercerita betapa bahagianya beliau, bukan lagi cerita kecewa.

Dan binar wajah ayah, semenjak saat itu, selalu menjadi mantra expecto patronum-ku, mantra pengusir para dementor... Dan ketika kemalasan dan keegoisan membentang jalan, mengingat wajah ayah yang bekerja keras siang dan malam sudah mampu membangunkanku.

Ayah, you’re my real expecto...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »