Pada Film Korea, Saya Menyerah

Saya tidak suka film Korea. K-Pop tak terkecuali. Istri saya sebaliknya. Ia penggemar berat film Korea dan pendengar setia K-Pop. Dua anak saya berbeda selera musik pula. Anak pertama suka lagu rock berbahasa Inggris, anak kedua suka sholawatan. Jadilah, empat genre musik bergaung dan berkontestasi di rumah.

Saat Covid-19 perlahan merayap masuk ke Indonesia, selera kami tak berubah. Saat sebagian besar orang cemas karena Covid-19 yang seperti hantu itu mulai mengganas, saya tetap tak suka film Korea. Perihal K-Pop, hati saya tetap. Kami berempat berputar pada poros musik masing-masing. Tak bergeser.

Namun, perubahan mulai sedikit terlihat saat keluarga kami “dikurung” di dalam rumah terus menerus selama awal-awal pandemi. Muncul kebiasaan-kebiasaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mungkin, penyebabnya adalah munculnya rasa jenuh. Kebosanan melanda. Depresi ringan muncul di mana-mana. Manusia yang terbiasa bersosialisasi itu tiba-tiba digeret ke dunia alternatif, dunia maya. Terisolasi secara sosial.

Untungnya, istri tak lagi memaksa saya menemaninya menonton drama Korea. Mungkin sudah menyerah. Atau sudah bosan. Ia juga tak lagi memaksa saya mendengar lagu-lagu BTS, terutama Jung-kook. Saya merasa bebas. Merdeka.

Tentang ketidaksukaan itu, ada satu hal yang mengusik pikiran. Jangan-jangan ketidaksukaan saya itu bukan karena selera, tetapi karena bias konfirmasi sosial. Sosok-sosok maskulin dalam tayangan-tayangan film atau musik Korea berbeda dengan konsep maskulinitas tradisional, termasuk konsep saya. Sosok Superman misalnya. Dalam penggambaran normal, superman direpresentasikan sebagai sosok gagah dan berkekuatan super. Dalam dunia reality show Korea, superman adalah sosok ayah-ayah biasa yang mencintai dan bermain dengan anak-anaknya. Dari mana saya tahu? Ya, acara Return of Superman lah.

Jadi, ada semacam kekhawatiran samar bahwa maskulinitas saya akan berkurang bila menonton tayangan Korea. Atau kekhawatiran bahwa saya dipersepsi kurang maskulin gara-gara menonton film Korea. Atau mendengarkan lagu Blackpink in the Area. Kekhawatiran itu lantas ditafsirkan sebagai ancaman. Sebagai salah satu jurus dalam mekanisme pertahanan diri, saya menghindarinya. Pada momen banyak berdiam di rumah, pikiran saya bergejolak.

Saat istri menyetel lagu Korea dengan lirih, saya diam-diam turut mendengarkannya. Awalnya seperti siksaan yang panjang dan lama. Bayangkan, kita harus memaksa diri mendengarkan genre lagu yang kurang kita sukai. Lalu, pekerjaan sebagai penerjemah menuntut saya melakukan riset mendalam, dan topik yang saya riset adalah film Korea. Judul filmnya: Startup.

Screenshot from Netflix

Mulailah saya memasuki dunia berbeda. Telinga mulai akrab dengan kata-kata sarang heyo atau otoke. Saat istri lupa mematikan rice cooker, lalu saya bilang “Otoke?”. Dan ia tertawa. Geli sepertinya.

Dan mulailah saya memutar lagu-lagu Korea yang menjadi OST film Startup di sela-sela waktu kerja. Lalu perlahan tapi pasti, film-film Korea dan K-Pop membuat saya takjub. Ternyata, bagus juga. Sangat bagus malahan. Persepsi saya berubah. Sikap saya pun berubah.

Apakah ini kutukan?

Saya yang biasa mencela istri atas kesukaannya pada film Korea jadi agak malu. Bagaimana bila ia menertawakan suaminya ini? Saya yang kadang mengejek BTS tak tahu harus apa. Untunglah ia senyum-senyum saja. Senyum kemenangan sepertinya. Keteguhan dan kekerasan hatinya untuk selalu menyetel lagu-lagu Korea di mobil membuat telinga saya terbiasa. Dan ya lama-lama saya jadi suka. Empat tahun tepatnya ia berusaha.

Ternyata betul kata jurnal tempo hari, repeated listening increase liking alias witing tresno jalaran soko kulino.

Otoke?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »