Tarik Tambang Emosi - Entri Jurnal #22

Dalam hidup, sering kali kita terjebak dalam tarik tambang emosi. Ego saling beradu, argumen saling berbenturan, dan emosi memanas. Pada momen-momen semacam ini, kita cenderung ingin menang, ingin diakui benar, atau ingin tetap tegak tanpa mundur sesedikit pun.

Namun, seperti dalam tarik tambang, kekuatan sejati justru sering ditemukan saat kita memilih untuk mundur. Mengalah bukan kalah, justru menang. Saat kita mundur, kita memberikan ruang bagi ketenangan untuk mendinginkan, bagi pemahaman untuk berkembang, dan bagi hubungan untuk dibenahi.

Dengan mengalah, kita melihat gambaran besar, menghargai perspektif lain, dan menjaga harmoni. Kadang, kemenangan terbesar adalah menjaga hati tetap tenang dan membangun jembatan, bukan tembok.

Itu yang kupelajari beberapa waktu lalu.


Karyamu Itu Seperti Tai - Entri Jurnal #21

Dulu kukira, menulis itu upaya menciptakan nilai. Kita tentu ingin menciptakan sesuatu yang berguna, dan memiliki nilai bagi orang lain. Kita menghadirkan nilai terbaik. Nilai itulah yang akan dijadikan sarana oleh orang lain untuk menilai citra dan kemampuan kita.

Jadi, bila tak ada nilai yang kita hadirkan, ya sudah tidak usah menulis. Tidak usah berkarya. Diam saja.

Apalagi bila otak perfeksionis sudah mengambil alih panggung, habislah sudah keinginan untuk berkarya. Penggantinya, ya diam saja.

Rupanya pikiran semacam itu agak berbahaya bagi diri ini. Kemampuan berbahasaku perlahan memudar. Sentuhan pun rasanya hilang.

Padahal, setiap hari profesiku mengharuskan kemampuan berbahasa itu.

Podcast Mencerahkan

Rupanya, alam menyeretku untuk tersadar. Dalam podcast Fellexandro Ruby dengan Dewi Lestari, bisa kusimpulkan bahwa berkarya tak harus selalu menghasilkan karya bagus. Adakalanya kita berkarya, seberapa pun jeleknya, agar tercipta ruang untuk karya lain. Untuk benda lain. Kita perlu mengosongkan ruang di dalam otak dengan menuliskannya dan mengeluarkannya.

Mau tak mau, kita harus mengeluarkan karya seberapa pun tai-nya karya kita. Sebab, harus ada ruang di perut untuk makanan lain. Dan agar tercipta siklus penuh: mulut, lalu kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan rektum. Dengan mengeluarkan karya/tai, kita menciptakan ruang agar siklus itu berputar lagi.

Itulah mengapa beberapa karya seperti tai. Dan tak apa juga seperti. Sebab, tai semacam itu berguna setidaknya bagi yang mengeluarkannya.

 


Mungkin Bapak saja yang Berkacamata Kuda - Entri Jurnal #20

“Maaf-maaf nih Pak” ujar Temin. “Kalau ada orang yang setiap kegagalannya disebabkan orang lain, tetapi kesuksesannya dari diri dan sifatnya sendiri, apa itu juga gak masalah?”

“Maksudmu?”

“Bapak kan bercerita, beberapa orang maunya hanya komplain. Maunya hanya nyari-nyari kesalahan. Sekecil apa pun dikulik.”

“Betul”

“Apa mungkin sebenarnya masalahnya bukan di mereka?”

“Maksudmu, aku?”

“Bapak lho yang bilang”

“Bisa jadi, Min. Kok baru kepikiran sekarang ya?” balasku. “Fenomena itu namanya self-serving bias.”

“Maksudnya Pak?”

“Namanya self-serving bias. Kecenderungan kita menyalahkan orang lain atas kegagalan, dan mengaitkan kesuksesan dengan kecerdasan dan sifat diri.”

“Bahaya juga ya Pak?”

Apa Saja “Bahaya Self-serving Bias”?

“Self-serving bias itu kayak punya kacamata kuda. Kita cuma ngeliat dunia dari sudut pandang kita sendiri, yang paling menguntungkan bagi kita. Bahayanya? Banyak banget!”

“Contohnya”

“Tak sebutin lima.”

1S  Satu, gak mau menerima kesalahan. Pernah merasa selalu benar? Itu tuh tanda-tanda self-serving bias. Kalau kita gagal, pasti gara-gara orang lain atau keadaan, bukan karena kesalahan diri sendiri. Padahal, mengakui kesalahan itu langkah pertama buat berkembang.

Dua, hubungan jadi berjarak. Kalau kita selalu ngebela diri dan nyalahin orang lain, gimana mau punya hubungan yang baik? Orang-orang di sekitar kita pasti bakal merasa nggak dihargai dan akhirnya menjauh.

Tiga, sulit belajar dari pengalaman: Karena kita selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan diri sendiri, jadinya kita susah banget belajar dari kesalahan. Padahal, pengalaman adalah guru terbaik. Seperti halnya di sampul-sampul buku.

Empat, ambisius yang kebablasan. Self-serving bias bisa bikin kita jadi terlalu ambisius dan nggak peduli sama orang lain. Kita cuma fokus sama kepentingan pribadi, tanpa mau bekerja sama atau berkompromi.

Lima, keputusan jadi nggak objektif. Saat membuat keputusan, kita cenderung memilih opsi yang paling menguntungkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya buat orang lain atau situasi secara keseluruhan.

Intinya, self-serving bias itu kayak virus yang bikin kita jadi egois dan sulit berkembang. Untuk menghindari bahaya ini, kita perlu belajar untuk lebih objektif, mengakui kesalahan, dan menghargai pendapat orang lain.



“Ingat itu ya Pak… hehehe” pungkas Temin.

 

Yuyu yang Tak Pernah Kerja Bakti - Entri Jurnal #19

“Lha kerja bakti gak pernah. Urunan gak ikut. Konsumsi gak pernah nyumbang. Eh sukanya nyacat saja hasil kerja bakti orang” kata Temin. “Lha gitu itu malah bikin orang gak semangat. Wegah aku” tutupnya.

Ia lantas menyebut salah satu kegiatan kerja bakti yang baru saja kami laksanakan. “Lha itu di depan rumahnya sendiri gak keluar untuk ikut bantu” simpulnya kemudian.

“Iya memang gak enak orang-orang kayak gitu ya” ujarku berusaha menenangkan.

Itulah keluhan salah seorang warga. Tak hanya Temin yang bercerita pengalaman serupa. Banyak lagi lainnya. Kita banyak menemui oknum exploiter semacam itu. Di organisasi laba pun begitu, apalagi di organisasi kampung.

Eksistensi Terancam

Saya jelaskan kepada Temin bahwa ada beberapa kemungkinan penjelasan atas fenomena semacam ini. Salah satunya ada di salah satu podcast.

“Diobrolkan di situ, beberapa orang merasa terancam eksistensinya saat ada orang yang lebih hebat daripada dia. Orang yang bekerja lebih keras daripada dia. Orang yang terlihat lebih baik di mata masyarakat” kata saya. Temin berupaya mendengarkan.

“Akhirnya, orang-orang semacam ini berupaya mendegradasi nama baik orang tersebut. Caranya ya dengan “nyacat” hasil pekerjaan tadi. Ia cari semua kesalahan, bahkan sekecil apa pun itu jadi masalah.”

“Kalau gak nemu?”

“Bila tak ada kesalahan, ia cari kesalahan pada orangnya. Pada niatnya. Apa pun lah.”

“Jadi, dia akan selalu mencoba mengangkat namanya dan menjatuhkan orang lain biar eksistensinya diakui.”

“Hooh, mungkin saja. Ia mengalami insecurities.”

“Apa itu?”

“Rasa khawatir dan tidak percaya pada diri sendiri. Ketika ada orang yang tampil lebih baik, ia lantas merasa semakin terperosok ke dalam jurang keminderan yang semakin lama bisa semakin dalam.”

Yuyu Mentality

Biasanya Min, kata saya, sebelum nyacat tadi, biasanya dia akan mendorong orang lain untuk menjadi seperti dirinya. Dia tarik orang lain yang hendak maju atau hendak memajukan diri dan orang lain.

Fenomena ini mirip dengan crab alias kepiting.

Ceritanya: crab ditaruh di dalam satu ember besar. Lalu, dikasih semacam alat agar si kepiting bisa keluar dari ember tersebut. Setiap kali ada kepiting yang hendak keluar dari ember, kepiting tersebut dijepit atau dihambat untuk keluar.

Itulah crab mentality. Mentalitas tidak mau melihat orang lain maju.

Thus, bila ada yang hendak maju ia tarik saja.

“Kenapa kok kepiting? Kok gak yuyu saja” tanya Temin.

“Iya juga ya”



To me, Pak Prabowo is an entrepenurial marketer - Entri Jurnal #18

To me, Pak Prabowo is an entrepenurial marketer - Entri Jurnal #18

Begitulah yang diucapkan Pak Hermawan Kartajaya pada acara MarkPlus Conference ke-19, yang diadakan di The Ritz Carlton, Jakarta, 5 Desember 2024 lalu.

Beliau lalu menyebut tiga kriteria dasar seorang entrepreneur. Pertama: jeli melihat peluang, kedua: mengambil risiko, ketiga: rendah hati dan selalu belajar.

Bedanya dengan profesional, pertama: melihat ancaman, kedua: menghindari risiko, dan ketiga: merasa diri paling jago di bidangnya.

Nah, di sinilah saya tersentak. Bagian yang tak sampai 1 menit ini membuka mata betapa mindset saya ya mindset seorang profesional.

Apa penyebabnya?

Mungkin pengalaman hidup.

Perjalanan hidup di masa lalu membentuk saya menjadi pribadi skeptis. Kekecewaan dan kegagalan mengajari saya untuk selalu waspada. Selalu mengaktifkan insting bertahan hidup. Setiap hal baru terasa seperti ancaman yang membahayakan eksistensi.

Saya juga lebih memilih untuk mengontrol situasi daripada membiarkannya mengalir begitu saja dan menemukan muara yang baru. Karena itu, saya lebih memilih mengasah kemampuan yang ada selama bertahun-tahun. Pengalaman inilah yang membuat saya merasa sangat kompeten, bahkan terkadang terlalu percaya diri.

Dan perasaan itu menjadi selimut hangat yang sudah saya kenali. Keluar dari zona nyaman itu bak melompat ke dalam terowongan gelap. Dan tak banyak yang mau memasuki kegelapan.

Dan enterpreneurship mirip dengan terowongan gelap.

 

Menciptakan Nilai itu Memang Panggilanmu Kok - Entri Jurnal #17

Menciptakan Nilai itu Memang Panggilanmu Kok - Entri Jurnal #17

Dalam hidup ini, kata seorang guru, kita sering diajari bahwa usaha yang kita lakukan seharusnya memberi hasil yang sepadan. Bila kita berbuat baik, minimal kita dapat pujian atau minimal terima kasih. Kita tidak mau ada free rider atau bahkan exploiter

Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Kadang, ketika kita berkontribusi, timbal balik yang kita harapkan tidak juga muncul. Terasa mengecewakan, dan bahkan kita bertanya-tanya apakah usaha kita ada manfaatnya.

Guru itu berkata bahwa menciptakan nilai bukan tentang menerima balasan. Menciptakan nilai itu memang tujuan keberadaan kita di dunia ini. Kita diutus sebagai pencipta nilai. Setiap tindakan yang bermanfaat bagi orang lain, setiap solusi yang memudahkan hidup orang lain, dan setiap ide yang memperbaiki kondisi adalah sebentuk nilai yang kita cipta.

Menciptakan nilai itu wujud dari memberi—tanpa pamrih dan tanpa syarat. Inilah panggilan kita sebagai manusia untuk meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang lebih baik daripada ketika kita terlahir.

Tentu, ada kalanya usaha kita tidak dihargai sebagaimana mestinya. Tetapi apakah itu mengurangi makna dari nilai yang kita ciptakan? Tidak. 

Nilai sejati tidak diukur dari pengakuan atau penghargaan, melainkan dari dampaknya terhadap orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Itu kata guru saya.

Rasanya saya perlu belajar lagi.

Ada yang Lebih Berbahaya daripada Penumpang Gelap? - Entri Jurnal #16


Di masyarakat dan kehidupan lain, free rider selalu jadi problema. Maunya hanya menggunakan fasilitas, tanpa ikut berkontribusi. Ia hanya menerima value saja.

Saya kira ini dah paling parah. Tak hanya menghabiskan value, penumpang gelap menyedot semangat orang untuk turut berkontribusi.

Ternyata perkiraan saya keliru. Ada lagi yang lebih parah.

Namanya adalah pengeksploitasi. Kok bisa?

Si penumpang gelap memanfaatkan benefit secara pasif. Menerima tanpa ikut berkontribusi saja. Karena itu, dampaknya jadi terbatas. Dan si penumpang gelap ini masih bisa berkontribusi bila kita bisa meyakinkannya.

Pembabat Nilai

Contohnya begini. Ada pohon mangga di hutan. Seorang penumpang gelap akan mengambil buah mangga, dan menikmati mangga tersebut. Selesai di situ.

Pengeksploitasi mengambil buah mangga dan mencabut tanamannya. Tujuannya: agar orang lain tidak bisa menikmatinya.

Jadi, pengeksploitasi secara aktif melakukan aktivitas berbahaya. Selain itu, pengeksploitasi juga merusak kepercayaan antarorang. Mengapa begitu?

Karena orang akan saling menuduh tentang siapa yang mencabut tanaman.

Sementara orang lain bertengkar, si pengeksploitasi senyum-senyum saja.

Saat Penumpang Gelap Mengakhiri Rantai Penciptaan Nilai - Entri Jurnal #15

 Idealnya, harus ada saling tukar nilai antara manusia dan sesama – atau bahkan dengan alam dan semesta, kata seorang teman. 

Misalnya, kita menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Pohon mengeluarkan oksigen dan menghirup karbon dioksida. Kita hidup secara bersaling dengan pepohonan. Simboisis mutualisme.

Demikian pula hewan. Hewan makan tanaman, dan mengeluarkan kotoran, yang kemudian menjadi pupuk bagi tanaman. Tanaman hasil pemupukan ini pun lalu menjadi pakan hewan. Simboisis mutualisme.

Itulah idealnya. Kita hidup secara bersaling, bukan bersaing. Saling mencipta. Bukan bersaing untuk mengonsumsi hasil ciptaan nilai.

Coba kita kembali ke obrolan tentang polisi cepek kemarin. Berapa jumlah orang yang lewat yang mengapresiasi kehadiran polisi cepek tersebut?

Ada yang akan berkata, “jangankan memberikan sedikit uang, sebagian bahkan lupa belum berterima kasih.” Sebagian orang lebih senang menerima daripada memberi. Bantuan orang lain taken for granted atau dipandang remeh semata.

Free rider

Orang-orang semacam ini dalam referensi ilmiah disebut juga sebagai free rider.

Menurut kamus Cambridge, free rider adalah "a person or company that gets an advantage without paying for it or earning it". Terjemahan bebasnya: Orang atau perusahaan yang mendapat untung tanpa ikut membayar atau mengupayakan “untung” itu.

Di budaya Indonesia, kita menyebutnya sebagai penumpang gelap.

Misalnya, seorang penumpang kereta, sebutlah Agus. Ia ikut perjalanan kereta menuju Jakarta tetapi tidak ikut membeli tiket. Kalau hanya satu, mungkin masih oke.

Bayangkan bila si Agus ini berjumlah ribuan.

Bayangkan…

Karena si Agus ini tak mau ikut membayar, maka ia disebut juga tak tahu “diuntung”. Mirip dengan definisi kamus Cambridge itu, kan?

Bila banyak orang yang demikian, nilai ekonomi akan berhenti. Tak ada lagi yang mau menciptakan nilai. Semua orang hanya mau menjadi penerima. Sekadar mengonsumsi.

 

 

 

Polisi Cepek dalam Rangkai Nilai Ekonomis # Entri Jurnal 14

“Prit” seorang pria meniup peluit. Dia menghentikan lalu lintas dari arah depan. Mobil, truk, dan sepeda motor pun berhenti mengikuti arahan si pria paruh baya, yang menjadi pengatur lalu lintas partikelir ini.

Itulah fenomena harian yang kita saksikan di Malang dan bahkan di berbagai kota di Indonesia. Kejadian ini sudah sangat umum

Jangankan berputar balik di lalu lintas padat, sekedar berbelok pun kita pasti menemui layanan profesi semacam ini.

Value

Rangkaian-rangkaian ini tak pernah terpikirkan sampai akhir-akhir ini saya membaca tentang value. Tindakan apa pun yang kita lakukan sejatinya selalu terkait value.

Kira-kira begini rangkuman sederhananya.

Saat melakukan tindakan yang bermanfaat, si A (1) menciptakan value. Misalnya, saat membantu orang putar balik, ia menciptakan value. Orang yang ia bantu (2) menerima value atau capture value.

Apabila berterima kasih dan memberikan uang, si penerima manfaat (2) juga menciptakan value sebagai timbal balik atau value exchange.

Lalu, si pemberi manfaat awal (1) bersemangat karena mendapat timbal balik tersebut, lalu kembali menciptakan value.

Terciptalah sebuah rangkaian nilai, yang saling berinteraksi. Itulah nilai ekonomis.

Dan itulah kenapa kita harus melakukan timbal balik agar penciptaan nilai itu harus terus berulang dan kehidupan terus berputar.

Caranya: sesederhana berterima kasih... apalagi lebih.

Hmmm