Idealnya, harus ada saling tukar nilai antara manusia dan sesama – atau bahkan dengan alam dan semesta, kata seorang teman.
Misalnya, kita menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Pohon mengeluarkan oksigen dan menghirup karbon dioksida. Kita hidup secara bersaling dengan pepohonan. Simboisis mutualisme.
Demikian pula hewan. Hewan makan tanaman, dan
mengeluarkan kotoran, yang kemudian menjadi pupuk bagi tanaman. Tanaman hasil
pemupukan ini pun lalu menjadi pakan hewan. Simboisis mutualisme.
Itulah idealnya. Kita hidup secara bersaling,
bukan bersaing. Saling mencipta. Bukan bersaing untuk mengonsumsi hasil ciptaan nilai.
Coba kita kembali ke obrolan tentang
polisi cepek kemarin. Berapa jumlah orang yang lewat yang mengapresiasi
kehadiran polisi cepek tersebut?
Ada yang akan berkata, “jangankan memberikan
sedikit uang, sebagian bahkan lupa belum berterima kasih.” Sebagian orang lebih
senang menerima daripada memberi. Bantuan orang lain taken for granted
atau dipandang remeh semata.
Free rider
Orang-orang semacam ini dalam referensi ilmiah
disebut juga sebagai free rider.
Menurut kamus
Cambridge, free rider adalah "a person or company that gets an
advantage without paying for it or earning it". Terjemahan bebasnya: Orang
atau perusahaan yang mendapat untung tanpa ikut membayar atau mengupayakan “untung”
itu.
Di budaya
Indonesia, kita menyebutnya sebagai penumpang gelap.
Misalnya,
seorang penumpang kereta, sebutlah Agus. Ia ikut perjalanan kereta menuju
Jakarta tetapi tidak ikut membeli tiket. Kalau hanya satu, mungkin masih oke.
Bayangkan bila si
Agus ini berjumlah ribuan.
Bayangkan…
Karena si Agus
ini tak mau ikut membayar, maka ia disebut juga tak tahu “diuntung”. Mirip
dengan definisi kamus Cambridge itu, kan?
Bila banyak
orang yang demikian, nilai ekonomi akan berhenti. Tak ada lagi yang mau
menciptakan nilai. Semua orang hanya mau menjadi penerima. Sekadar mengonsumsi.