Berikut adalah terjemahan puisi Robert Lee
Frost tentang api dan es atau fire
and ice. Tentu bukan api dan es dalam pemahaman harfiah
kita ya, tetapi dalam pemahaman yang lebih luas.
Fire
and Ice
|
Api
dan es
|
Some
say the world will end in fire,
|
Sebagian
berkata dunia akan binasa dalam bara api,
|
Some
say in ice.
|
Sebagian
berkata dalam beku es.
|
From
what I've tasted of desire
|
Dari
hasrat yang telah kusesapi
|
I
hold with those who favor fire.
|
Aku
setia pada mereka yang memilih api
|
But
if it had to perish twice,
|
Tapi
jika kuharus musnah dua kali
|
I
think I know enough of hate
|
Kurasa
aku cukup paham perihal benci
|
To
say that for destruction ice
|
Untuk
berujar bahwa daya penghancur es
|
Is
also great
|
Juga
sama dahsyatnya
|
And
would suffice.
|
Dan
akan sanggup.
|
Ada yang bilang bahwa bila pun harus
disederhanakan, puisi ini hanya terdiri atas dua kalimat, seperti disampaikan
Joko Sukoco (klik di sini link-nya).
- Some say that the world will end in fire, and some others say that it will end in ice.
- From what I ‘ve tasted of desire, I hold with those who favor in fire, but if the world had to perish twice, I think I know enough of hate to say that the world will end in ice because it’s also a great distruction and is enough to end the world.
Intinya, ada kubu yang beropini tentang kiamat atau
kehancuran dunia. Ada yang berpendapat bahwa dunia akan berakhir dalam bara
api, dan ada yang bilang dunia akan berakhir dalam es. Namun, setelah Pak
Robert timbang-timbang, rasa-rasanya dia memilih opsi pertama. Bila ternyata
ada kesempatan kedua, pastilah es yang menjadi penyebabnya. Sebab, es juga
memiliki cukup kekuatan untuk meluluhlantakkan dunia.
Fire atau api di sini memiliki makna figuratif.
Di puisi ini, dia langsung memberikan makna langsungnya, yaitu desire. Makna
harfiahnya ya nafsu, hasrat, atau keinginan. Mungkin juga ketamakan. Bila
dipikir-pikir, benar juga ya. Bahkan hingga sekarang. Perang yang berkecamuk,
kelaparan yang terjadi di mana-mana, dan kerusakan lingkungan. Apalagi
sebabnya, bila bukan nafsu. Ya, nafsu untuk menguasai. Ya, nafsu untuk
memiliki.
Namun, ada juga yang berpendapat sebab musababnya
adalah es. Es di sini tentu bisa dipadankan dengan benci, iri, dengki, dendam, dll.
Sifat-sifat seperti ini juga membuat orang gelap mata. Mungkin inilah yang
dimaksud Pak Robert. Dan benar juga ya bila dipikir-pikir. Santai saja mikirnya.
Entahlah
bagaimana dunia akan berakhir nantinya. Yang jelas, “dunia belum berakhir.
Jangan kau putuskan aku”. Ah kok jadi nyanyi.
Cara
penulisan puisi Pak Robert Frost ini mirip dengan puisi sebelumnya, yang sudah saya bahas, yaitu
The Road Not Taken (klik di
sini). Dia menyodorkan dua pilihan. Dua opsi, lantas menjelaskan
keduanya. Dia juga menjelaskan pilihan apa yang dia ambil. Gaya berkomunikasinya
ya gaya persuasif. Tidak frontal, menyuruh orang melakukan sesuatu.
Puisi Fire and ice ini salah satu yang saya
sukai. Pilihan katanya. Ya kedalaman maknanya. Entahlah mengapa dia bisa
menggabungkan keduanya. Menjadi simfoni yang indah, sederhana, tetapi abadi.
Mungkin itulah ciri puisi zaman romantisme.
Indah di luar, menawan di dalam. Menurutmu
gimana?