Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
|
Di antara pokok-pokok cladartis, jalan terpecah dua
sebagai pengembara, aku tak bisa mengambil keduanya
maaf jika aku terpaku lama memandangnya
kupandang begitu rupa salah satunya
sampai pada semak-semak di ujung sana
|
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
|
Kupandangi juga jalan yang satu lagi
sepertinya lebih menarik hati
rumputannya rapi, seperti gampang dilalui
bagi yang sudah pernah melewati
mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi
|
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
|
Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni
tak ada jejak-jejak kaki, rerumputan tegak bestari
Oh. Kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari
meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti
tak juga tahu apakah aku akan kembali
|
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
|
Barangkali aku harus bercerita dengan duka
suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
persimpangan seperti jalan bercabang dua
di mana aku telah berjalan pada salah satunya
jalan yang jarang sekali dilalui. Dan itulah beda kita.
|
Puisi ini bisa dibilang sebagai
puisi paling terpopuler karya Robert Frost. Mulai dari emak-emak, guru, dosen, motivator,
dan bahkan pemuda tanggung macam saya menukil puisi ini apabila menasehatkan
pilihan kepada orang. Ya, apabila ada orang susah memilih, suruh dia memilih
jalan yang jarang dilalui orang saja. Ya, macam yang ditulis si Robert ini.
Sebelum membahas panjang lebar
yang akhirnya sama dengan luas itu, mari kita lihat bentuk fisiknya dulu. Lha
kok fisik? Ya, isi bisa ditengok setelah fisik hehe. Puisi ini terdiri dari
empat bait, dan lima baris. Dia kemudian menggunakan rima ABAAB, yang tergolong
ketat. Bacaan akhir tiap silabel serupa. Robert Frost sangat perhatian terhadap bentuk puisi (cek juga puisinya
yang lain: klik A Minor Bird.)
Selesai dengan bentuk fisik, kita bahas isinya. Konon, si Robert menuliskan puisi
ini sebagai candaan pada temannya, Edward Thomas. Robert dan Edward jalan-jalan pada suatu sore pada musim gugur. Edward di depan. Ketika sampai di persimpangan jalan, Edward saat itu galau sekali
tentang jalan yang harus diambilnya. Dia mengeluhkan bahwa mereka harusnya mengambil
suatu jalan, tetapi pada akhirnya mengambil jalan lain. Setelah pulang, si Robert menulis puisi ini sebagai candaan atau sindiran. Atau mungkin nyinyiran?
Nah, seru sekali kan berteman dengan penyair, apa pun yang dirasakan bisa menjadi puisi. Mirip saat Sitor Situmorang yang hendak berkunjung ke rumah Pramoedya melihat kuburan pada bulan purnama. Jadilah puisi Malam Lebaran, yang laris dibedah di mana-mana itu.
Nah, seru sekali kan berteman dengan penyair, apa pun yang dirasakan bisa menjadi puisi. Mirip saat Sitor Situmorang yang hendak berkunjung ke rumah Pramoedya melihat kuburan pada bulan purnama. Jadilah puisi Malam Lebaran, yang laris dibedah di mana-mana itu.
Terlepas dari awalnya hanya
sekadar candaan, pada akhirnya puisi ini mendapatkan banyak penggemar. Saya
salah satunya. Ya, puisi ini semacam panduan bila kita dihadapkan pada pilihan.
Panduan yang menuntun kita memilih pilihan yang mungkin sama-sama baik tetapi
hanya boleh dipilih salah satu.
Diawali dari dilema, puisi ini
mirip seperti dongeng. Si pelaku disodori pilihan, lalu dia harus memilih. Kalau dari setting, puisi ini mengambil latar pada musim gugur, sehingga dedaunan meranggas dari ranting berwarna kemuning. Lalu, menutupi persimpangan jalan itu.
Si penulis lalu melihat, menimbang, dan memutuskan. Suatu jalan seperti masih
tidak banyak dilalui, sementara jalan satunya sudah lebih rapi, sudah banyak
dilewati orang. Pada akhirnya, si penulis memutuskan untuk mengikuti salah satu
jalan, jalan yang jarang dilewati.
Dia tak tahu seperti apa ujungnya.
Tapi toh dia juga tidak tahu seperti apa ujung jalan yang sudah dilewati banyak
orang itu. Mungkin dia akan bercerita dengan penuh duka. Penuh sesal. Tapi bila ada orang yang menanyainya, dia akan berkata, mungkin sedikit bangga, bahwa dia mengambil jalan yang jarang dilalui.
Dan itulah yang membedakannya dengan kebanyakan orang. Dia memilih jalan yang jarang dilalui.
Dan itulah yang membedakannya dengan kebanyakan orang. Dia memilih jalan yang jarang dilalui.
Puisi ini mendapatkan
tanggapan dari penyair senior Indonesia, Sapardi Djoko Damono, yang ditulis di
Kompas, seperti yang saya kutip dari blog Dedy Tri Riyadi .
-----
Memilih Jalan
: Robert Frost
/1/
Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya,
“Kenapa tadi kita tidak jadi mengambil jalan yang satunya?”
Tapi kenapa kau tidak bertanya, “Untunglah kita tidak
mengambil jalan itu tadi”?
Memang absurd, jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak
menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya
juga tidak perlu ada.
(Ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang
tampaknya memerlukan tanda tanya.)
/2/
Kita mungkin keliru memilih jalan tapi itu sama sekali bukan
salahmu.
Akulah yang mengajakmu mengambil jalan ini sebab kupikir
kota yang kita tuju terletak di ujung jalan yang kita lalui ini.
Hanya comberan bekas hujan.
Hanya bunyi-bunyian lirih sisa nyanyian yang seperti
memberi tahu bahwa dahulu nenek-moyang kita pernah
membuka hutan dan mendirikan kerajaan besar dengan bantuan
orang-orang dari seberang yang buru-buru pergi lagi begitu
terdengar kita dibelah oleh ribut-ribut memperebutkan tahta
kerajaan.
Hanya bekas comberan.
Sehabis hujan.
Hanya suara sopir taksi yang tak bosan-bosannya bertanya
alamat rumah ibadah kita persisnya di mana.
/3/
Jalan buntu ini kemarin tak ada.
“Ia muncul dari suara yang asing, dari hakikat malam yang
sangat pekat perangainya,” katamu ketika melihatku seperti
bertanya-tanya.
Ya, tetapi kenapa kemarin jalan buntu ini tak ada?
“Sebaiknya kautanyakan saja kenapa jalan buntu ini
sekarang ada.”
: Robert Frost
/1/
Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya,
“Kenapa tadi kita tidak jadi mengambil jalan yang satunya?”
Tapi kenapa kau tidak bertanya, “Untunglah kita tidak
mengambil jalan itu tadi”?
Memang absurd, jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak
menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya
juga tidak perlu ada.
(Ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang
tampaknya memerlukan tanda tanya.)
/2/
Kita mungkin keliru memilih jalan tapi itu sama sekali bukan
salahmu.
Akulah yang mengajakmu mengambil jalan ini sebab kupikir
kota yang kita tuju terletak di ujung jalan yang kita lalui ini.
Hanya comberan bekas hujan.
Hanya bunyi-bunyian lirih sisa nyanyian yang seperti
memberi tahu bahwa dahulu nenek-moyang kita pernah
membuka hutan dan mendirikan kerajaan besar dengan bantuan
orang-orang dari seberang yang buru-buru pergi lagi begitu
terdengar kita dibelah oleh ribut-ribut memperebutkan tahta
kerajaan.
Hanya bekas comberan.
Sehabis hujan.
Hanya suara sopir taksi yang tak bosan-bosannya bertanya
alamat rumah ibadah kita persisnya di mana.
/3/
Jalan buntu ini kemarin tak ada.
“Ia muncul dari suara yang asing, dari hakikat malam yang
sangat pekat perangainya,” katamu ketika melihatku seperti
bertanya-tanya.
Ya, tetapi kenapa kemarin jalan buntu ini tak ada?
“Sebaiknya kautanyakan saja kenapa jalan buntu ini
sekarang ada.”
-----
Itulah serba-serbi
sederhana tentang puisi The Road Not Taken. Puisi yang menurut saya sangat
serius ini ternyata berawal dari candaan.
Mengejutkan.
Mengejutkan.
1 comments:
commentsWah keren, kesini gara2 tugas. Btw makasih kak^^
Reply