Semburat fajar pagi
menyambutku. Seakan tahu, aku selalu suka semburat sinarnya yang menerobos
gagah melewati gumpalan awan di ufuk timur. Sinar kemerahannya menyiratkan harapan.
Optimisme tumbuh, pesimisme sirna. Harapan membentang, mimpi buruk melayang.
Aku selalu suka fajar. Kuhirup udara pagi, sambil memejamkan mata. Lalu aku
berdoa agar hari yang aku jalani hari ini indah. Hari yang penuh harapan.
Ketika kembali menuju rumah, kulihat sepucuk surat di bawah pintu. Kusobek amplopnya, dan ya ampun surat itu panjang. Panjang
sekali untuk ukuran Ria yang menurut pengakuannya jarang menulis. Kertasnya putih, dan wangi. Wangi parfumnya. Persis parfum favoritnya. Ini
pertama kalinya dia mengirimiku surat. Cara yang menurutku sangat konvensional.
Awalnya ingin kurobek saja surat itu. Tetapi demi kemanusiaan dan momen-momen ajaib yang sudah dia hadirkan, dan demi waktu
yang sudah dia luangkan untuk menuliskannya, kumantapkan hati untuk membacanya.
Kukira
itu akan menjadi surat penjelasan dan pembelaan diri. Pledoi. Ternyata bukan.
Ini curahan hati.
Andi,
sahabatku,
Sudah sepuluh hari berlalu, sejak kita
terlibat dalam perselisihan itu. Siang terik yang tidak hanya membuat kita
gerah kepanasan, tetapi mengubah kita. Mengubahku. Mengubahmu. Dan mengubah
dunia sekitar kita. Semuanya tak lagi sama.
Hatiku bergemuruh dahsyat. Pikiranku
buntu. Perasaanku tak karuan. Rasa bersalah karena menyakitimu langsung
menyakitiku. Seperti yang kau tahu, aku langsung minta maaf saat itu.
Permintaan maaf sederhana, yang takkan pernah setara dengan rasa sakit yang
sudah aku timbulkan.
Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
Aku bahkan tidak tahu apa saja yang sudah aku sampaikan. Semuanya terlepas
begitu saja seperti anak panah, yang menerobos cepat, yang tak pernah terpikir
untuk kembali ke busur. Itulah gambaran emosiku. Yang kutahu kemudian, anak
panah itu bergerak liar tanpa kendali. Menusuk apa saja yang ada di depannya. Menembus
jantung salah sekian orang.
Yang kulakukan itu bukan sekadar
merisak, tetapi sudah merusak. Kerusakan seperti halnya rubuhnya bangunan tak
bisa disusun ulang dengan permohonan maaf semata. Aku paham. Perlu waktu bagimu
untuk menata kembali hati. Menata kembali diri. Menyusun sekeping demi sekeping
hingga menjadi satu bentuk utuh. Dan bentuk
utuh itu tidak akan sama seperti sebelumnya yang kita tahu.
Ada yang berbisik kepadaku di tengah rasa
bersalah itu.
Bukankah dari awal kita hanya juga
kepingan-kepingan yang berserakan? Lalu kita menyusunnya perlahan. Dengan
segala harapan. Seiring waktu, susunan itu akan kembali berserakan. Pecah dan
tercecer. Entah oleh pujian. Entah oleh harapan yang dikais perlahan lalu
tiba-tiba balik menghantam. Entah oleh pengkhianatan dan perselisihan. Dan
bukan kerusakan itu yang membuat indah pribadimu, ucapnya perlahan sambil
menatap lamat-lamat mataku. Tetapi pada tekadmu untuk menyusunnya lagi. Susunan
itu akan menjadi lebih indah. Lebih kokoh. Dan lebih menawan.
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku
tak tahu harus bagaimana menanggapi nasihatnya itu.
Seperti halnya dirimu yang mengais
keping-keping berserakan itu, aku juga begitu. Kumulai menilai diri, menilai
seluruh tindak-tanduk. Kumulai tertunduk lesu. Rasa bersalah menjalar, lalu
merubuhkan kesadaran. Perlahan setelah kuresapi, ada dua pilihan yang bisa
kupilih.
Pertama, menyalahkanmu. Dan itu jalan
dan cara yang mudah. Mudah sekali. Bila kau runut sejak awal, kaulah yang yang menyemai semua
bibit-bibit pertikaian. Dari bully yang sering kau sampaikan. Dari ocehan tak
penting yang kadang mengusik hari. Atau candaan menyakitkan yang berulang. Kedua,
menyalahkanku. Bagaimana pun semua bibit yang tersemai itu sudah mati. Aku yang
harusnya bisa menahan diri. Tidak menyuburkan benih perselisihan itu. Bukan
melepaskan kendali. Jangan-jangan aku juga yang menyemai semua benih
pertikaian, hanya aku tidak menyadarinya.
Kupilih opsi yang kedua. Itu semua
salahku. Kan kutanggung semua tanggung jawab. Seperti yang kau tahu, kumulai
memperbaiki diri. Jarak mulai kujaga, agar kau tetap merasa nyaman. Doa sedari
awal terus kupanjatkan agar kau tetap kuat. Tetap bertahan menahan gempuran
amarah, rasa kesal, dan kebencian yang bergemuruh.
Dan permintaan maaf tidak bisa segera
mengusir kemarahan itu, aku tahu. Aku hendak berhenti meminta maaf, sebelum
kuputuskan untuk meminta maaf lagi. Untuk kesekian kalinya, kuhaturkan lagi
permohonan lirih ini. Ini adalah permintaan maaf pamungkas. Bukan untuk membela
diriku. Bukan pula untuk merisakmu. Tetapi untuk memastikan kepada dirimu dan
diriku sendiri bahwa aku sudah melakukan segala upaya maksimal yang perlu untuk
menebus kesalahan itu. Kesalahanku.
Sekarang waktunya memberimu waktu. Jarak.
Dan ketenangan yang mungkin kau perlukan untuk menata segalanya dari awal. Dan
aku akan menunggu kata bahwa kamu memaafkanku. Selama menunggu, aku akan belajar, membaca,
menulis, dan memperbaiki diri.
Bila di akhir waktu kau sudah
memaafkan, kau akan melihat diriku yang berbeda. Mudah-mudahan yang lebih baik.
Seperti halnya saat kulihat dirimu saat itu.
Kuberdoa selalu. Mudah-mudahan di
akhir waktu kita akan berada di persimpangan yang sama. Saat itu, kita jadi
tahu bahwa hidup kadang adalah menanti, setelah kita lelah berjuang keras. Dan
bila penantian itu tak kunjung tiba, kita harus memilih salah satu jalan di
persimpangan. Setelah mengikuti jalan itu, kita harus merelakan semua jejak itu
terhapus angin. Dan ditimpa jejak-jejak orang lain.
Sebelum kita sampai pada persimpangan
jalan itu, izinkan aku untuk kesekian kalinya meminta maaf dari hatiku yang terdalam,
dengan setulus-tulus permintaan maaf.
Salam takzim,
Sahabatmu
Kulipat kembali surat
itu. Lalu, perlahan kumasukkan ke dalam amplop. Hatiku berdegup kencang. Mataku
sedikit berkunang-kunang. Bagaimana pun aku juga salah mendiamkannya.
Mengabaikannya. Pengabaian adalah hukuman terburuk. Tak ada lagi perlakuan yang
lebih buruk daripada itu. Kemarahan dan tumpahan kata serapah lebih baik
daripada orang yang marah tetapi diam dan mengabaikan. Dan aku sudah memberikan
hukuman itu. Hukuman yang menyiksanya.
Part 1: Lirih
Part 1: Lirih