Sekilas kumencintaimu - Part 13


Semburat fajar pagi menyambutku. Seakan tahu, aku selalu suka semburat sinarnya yang menerobos gagah melewati gumpalan awan di ufuk timur. Sinar kemerahannya menyiratkan harapan. Optimisme tumbuh, pesimisme sirna. Harapan membentang, mimpi buruk melayang. Aku selalu suka fajar. Kuhirup udara pagi, sambil memejamkan mata. Lalu aku berdoa agar hari yang aku jalani hari ini indah. Hari yang penuh harapan.

Ketika kembali menuju rumah, kulihat sepucuk surat di bawah pintu. Kusobek amplopnya, dan ya ampun surat itu panjang. Panjang sekali untuk ukuran Ria yang menurut pengakuannya jarang menulis. Kertasnya putih, dan wangi. Wangi parfumnya. Persis parfum favoritnya. Ini pertama kalinya dia mengirimiku surat. Cara yang menurutku sangat konvensional. Awalnya ingin kurobek saja surat itu. Tetapi demi kemanusiaan dan momen-momen ajaib yang sudah dia hadirkan, dan demi waktu yang sudah dia luangkan untuk menuliskannya, kumantapkan hati untuk membacanya.

Kukira itu akan menjadi surat penjelasan dan pembelaan diri. Pledoi. Ternyata bukan. Ini curahan hati.

Andi, sahabatku,
Sudah sepuluh hari berlalu, sejak kita terlibat dalam perselisihan itu. Siang terik yang tidak hanya membuat kita gerah kepanasan, tetapi mengubah kita. Mengubahku. Mengubahmu. Dan mengubah dunia sekitar kita. Semuanya tak lagi sama.

Hatiku bergemuruh dahsyat. Pikiranku buntu. Perasaanku tak karuan. Rasa bersalah karena menyakitimu langsung menyakitiku. Seperti yang kau tahu, aku langsung minta maaf saat itu. Permintaan maaf sederhana, yang takkan pernah setara dengan rasa sakit yang sudah aku timbulkan.

Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Aku bahkan tidak tahu apa saja yang sudah aku sampaikan. Semuanya terlepas begitu saja seperti anak panah, yang menerobos cepat, yang tak pernah terpikir untuk kembali ke busur. Itulah gambaran emosiku. Yang kutahu kemudian, anak panah itu bergerak liar tanpa kendali. Menusuk apa saja yang ada di depannya. Menembus jantung salah sekian orang.

Yang kulakukan itu bukan sekadar merisak, tetapi sudah merusak. Kerusakan seperti halnya rubuhnya bangunan tak bisa disusun ulang dengan permohonan maaf semata. Aku paham. Perlu waktu bagimu untuk menata kembali hati. Menata kembali diri. Menyusun sekeping demi sekeping hingga menjadi satu bentuk utuh. Dan bentuk utuh itu tidak akan sama seperti sebelumnya yang kita tahu.

Ada yang berbisik kepadaku di tengah rasa bersalah itu.

Bukankah dari awal kita hanya juga kepingan-kepingan yang berserakan? Lalu kita menyusunnya perlahan. Dengan segala harapan. Seiring waktu, susunan itu akan kembali berserakan. Pecah dan tercecer. Entah oleh pujian. Entah oleh harapan yang dikais perlahan lalu tiba-tiba balik menghantam. Entah oleh pengkhianatan dan perselisihan. Dan bukan kerusakan itu yang membuat indah pribadimu, ucapnya perlahan sambil menatap lamat-lamat mataku. Tetapi pada tekadmu untuk menyusunnya lagi. Susunan itu akan menjadi lebih indah. Lebih kokoh. Dan lebih menawan.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi nasihatnya itu.

Seperti halnya dirimu yang mengais keping-keping berserakan itu, aku juga begitu. Kumulai menilai diri, menilai seluruh tindak-tanduk. Kumulai tertunduk lesu. Rasa bersalah menjalar, lalu merubuhkan kesadaran. Perlahan setelah kuresapi, ada dua pilihan yang bisa kupilih.

Pertama, menyalahkanmu. Dan itu jalan dan cara yang mudah. Mudah sekali. Bila kau runut sejak awal, kaulah yang yang menyemai semua bibit-bibit pertikaian. Dari bully yang sering kau sampaikan. Dari ocehan tak penting yang kadang mengusik hari. Atau candaan menyakitkan yang berulang. Kedua, menyalahkanku. Bagaimana pun semua bibit yang tersemai itu sudah mati. Aku yang harusnya bisa menahan diri. Tidak menyuburkan benih perselisihan itu. Bukan melepaskan kendali. Jangan-jangan aku juga yang menyemai semua benih pertikaian, hanya aku tidak menyadarinya.

Kupilih opsi yang kedua. Itu semua salahku. Kan kutanggung semua tanggung jawab. Seperti yang kau tahu, kumulai memperbaiki diri. Jarak mulai kujaga, agar kau tetap merasa nyaman. Doa sedari awal terus kupanjatkan agar kau tetap kuat. Tetap bertahan menahan gempuran amarah, rasa kesal, dan kebencian yang bergemuruh.

Dan permintaan maaf tidak bisa segera mengusir kemarahan itu, aku tahu. Aku hendak berhenti meminta maaf, sebelum kuputuskan untuk meminta maaf lagi. Untuk kesekian kalinya, kuhaturkan lagi permohonan lirih ini. Ini adalah permintaan maaf pamungkas. Bukan untuk membela diriku. Bukan pula untuk merisakmu. Tetapi untuk memastikan kepada dirimu dan diriku sendiri bahwa aku sudah melakukan segala upaya maksimal yang perlu untuk menebus kesalahan itu. Kesalahanku.

Sekarang waktunya memberimu waktu. Jarak. Dan ketenangan yang mungkin kau perlukan untuk menata segalanya dari awal. Dan aku akan menunggu kata bahwa kamu memaafkanku. Selama menunggu, aku akan belajar, membaca, menulis, dan memperbaiki diri.

Bila di akhir waktu kau sudah memaafkan, kau akan melihat diriku yang berbeda. Mudah-mudahan yang lebih baik. Seperti halnya saat kulihat dirimu saat itu.

Kuberdoa selalu. Mudah-mudahan di akhir waktu kita akan berada di persimpangan yang sama. Saat itu, kita jadi tahu bahwa hidup kadang adalah menanti, setelah kita lelah berjuang keras. Dan bila penantian itu tak kunjung tiba, kita harus memilih salah satu jalan di persimpangan. Setelah mengikuti jalan itu, kita harus merelakan semua jejak itu terhapus angin. Dan ditimpa jejak-jejak orang lain.

Sebelum kita sampai pada persimpangan jalan itu, izinkan aku untuk kesekian kalinya meminta maaf dari hatiku yang terdalam, dengan setulus-tulus permintaan maaf.

Salam takzim,
Sahabatmu


Kulipat kembali surat itu. Lalu, perlahan kumasukkan ke dalam amplop. Hatiku berdegup kencang. Mataku sedikit berkunang-kunang. Bagaimana pun aku juga salah mendiamkannya. Mengabaikannya. Pengabaian adalah hukuman terburuk. Tak ada lagi perlakuan yang lebih buruk daripada itu. Kemarahan dan tumpahan kata serapah lebih baik daripada orang yang marah tetapi diam dan mengabaikan. Dan aku sudah memberikan hukuman itu. Hukuman yang menyiksanya.

Part 1: Lirih

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »