Tips Parenting Penuh Ketegaran dan Kesabaran – Resensi Buku Tumbuh di Tengah Badai karya Herniwatty Moechiam

Membesarkan dan mendidik anak yang normal-normal saja sulitnya bukan main. Mulai dari kesehatan fisik hingga kesehatan mental perlu mendapatkan perhatian. Kita tidak lagi bisa membiarkan lingkungan dan alam menentukan arah tumbuh kembang anak kita. Lingkungan sekitar anak sudah tidak seramah saat kita hidup di era tahun 1980-1990-an.

Dunia sekitar kini makin kejam, dan siap memangsa anak-anak yang tidak dilindungi orang tuanya. Pornografi, penyalahgunaan obat, dan predator siap menjadikan anak kita sebagai korban.

Bayangkan bagaimana kesulitan itu akan bertambah berkali-kali lipatnya bila anak kita terlahir spesial. Atau dalam istilah sehari-sehari, berkebutuhan khusus. Itulah yang dialami penulis buku Tumbuh di Tengah Badai, yaitu Herniwatty Moechiam.

Anak spesialnya itu bernama Catra, atau nama panjangnya Catur Putra. Catra sebenarnya anak keempat, namun karena anak pertama pasangan ini meninggal, jadilah Catra anak ketiga yang hidup.

Tak ada yang aneh dari anak yang betah di dalam kandungan hingga hampir 10 bulan ini. Namun, semua cerita dan harapan indah berubah suram ketika usia Catra menjelang lima bulan. Dia mulai sering sakit-sakitan, yang disusul sesak napas. Bulan-bulan berikutnya lalu diisi dengan kunjungan rutin ke dokter spesialis anak. Namun, dokter spesialis anak yang menanganinya tidak memberikan diagnosis yang aneh-aneh.

Perkembangan fisik Catra tidak mengalami masalah. Yang bermasalah adalah kemampuan bicaranya. Saat usianya menginjak satu setengah tahun, dia belum bisa berbicara layaknya anak seusianya. Kemampuannya lalu disalip anak yang usianya lebih muda.
Anehnya, anak yang tumbuh dengan menyukai semua hal terkait Islam ini tidak pernah tertarik untuk memainkan mainan. Fokus dan perhatiannya juga tidak bisa bertahan lama, kecuali pada kipas atau roda mainan yang berputar.

Telatnya perkembangan kemampuan bicara dan sosial Catra membuat panik dan kelimpungan sang bunda. Sementara itu, sang ayah seakan tak mau peduli. Tak mau tahu. Rasa malu seakan menyeretnya ke dalam diam tak bertepi dan membuatnya tidak lagi peduli.

Jadilah, sang bunda seakan menjadi single fighter. Dia harus mengurus dua anaknya yang lain. Rasa lelah dan tidak adanya sokongan membuatnya hampir putus asa.

Kondisi perkembangan Catra yang tidak positif, tidak adanya sokongan dari suami, kondisi keluarga yang berantakan karena sang ayah perlahan menjauh sejauh-jauhnya dan berubah kasar membuat kondisi sang bunda berantakan. Badannya kurus tidak karuan. Pikirannya ruwet. Jalan keluar mulai dari berkonsultasi dengan psikolog, penasihat perkawinan, berkonsultasi dengan LBH, dan lain-lain tidak jua membuahkan hasil.

Di tengah kecamuk masalah yang menggunung, sang bunda bahkan sempat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, di titik ketika dia hendak menenggak “racun”, Tuhan menyelamatkannya. Dia jadi tersadar betapa anak-anaknya akan sangat menderita seandainya dia benar-benar meregang nyawa.

Itulah titik balik yang menjadikan daya juangnya membesar. Titik balik itu mirip dengan peribahasa “apa yang tak bisa membunuhmu akan membuatmu lebih kuat”. Daya juang, kepasrahan, dan cinta seorang ibu kepada anak-anaknya membuat daya juangnya meningkat pesat. Membuatnya mampu menepis segala deru angin yang mencoba merubuhkannya.

Apakah perjuangannya berhenti di situ? Tidak. Banyak cerita-cerita lain yang akan membuat kita hanyut. Menyeret kita untuk ikut merasakan kegetiran, kekecewaan, keteguhan, ketegaran, dan cinta kasih dari seorang ibu kepada anaknya.

Di akhir cerita, sang anak yang menderita sindroma autis tersebut sukses masuk ke perguruan tinggi negeri terkemuka di Jogja. Selain, beberapa waktu sebelumnya sang anak berhasil tampil di pertunjukan biola.

Akhirnya yang indah. Hebatnya, Ibu Herniwatty Moechiam tidak menggunakan istilah-istilah yang menyeramkan ketika menjelaskan kejadian-kejadian yang menimpanya. Metafor-metafor ringan dan fresh membuat buku ini mudah dipahami, dan kadang akan membuat kita tersenyum simpul saat membacanya.

Buku ini membuka mata saya yang juga seorang ayah dua anak, betapa menjadi ibu tidak mudah. Betapa menjadi orang tua bukan pekerjaan gampang. Apalagi, anak kita termasuk golongan anak-anak spesial. Bu Herniwatty Moechiam melalui buku ini menyadarkan saya betapa kecil sekali perjuangan saya dalam mendidik anak-anak bila dibandingkan upaya dan perjuangannya.

Buku cocok untuk dibaca siapa saja. Bukan hanya orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Ayah perlu membacanya agar tak meremehkan peran seorang ibu. Seorang ibu juga layak menjadikannya panduan, betapa sukses tidaknya seorang anak sangat tergantung pada peran ibunya. Dan anak juga layak membacanya sehingga tahu betapa berat dan pelik perjuangan seorang ibu untuk mengantarkan anaknya menjadi pribadi saat ini. Dan betapa kita lalu sering lupa berterima kasih.


Data buku:
Judul: Tumbuh di Tengah Badai
Penulis: Herniwatty Moechiam
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: April 2009

Tebal: 236 Halaman

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »