Menanti yang Pantas Dinanti - Resensi Buku Hujan oleh Tere Liye

Awalnya saya mengira novel ini akan berkisar masa-masa kelam, yang berbalut persahabatan, pengkhianatan, kesetiaan, kesedihan, dan waktu yang mengkhianati kedua pasang insan. Atau mungkin akan seputar cinta yang bertepuk sebelah tangan. Atau mungkin penantian yang berakhir penuh kekecewaan.

Ternyata saya keliru. Novel ini bukan tentang itu.

Novel Hujan ini berlatar dunia pada tahun 2040-2050-an. Dunia teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Seiring dengan kemajuan itu, muncul masalah-masalah genting akibat keserakahan manusia, yang akhirnya berdampak pada rusaknya lingkungan.

Cerita ini bermula dari Lail, yang ingin memusnahkan memorinya secara selektif. Dia ingin menghapus memori-memori gelapnya tentang hujan, yang selalu datang pada momen-momen penting dalam hidupnya. Terutama memori tentang Esok, sosok yang dicintainya dalam diam, dan ditunggunya hingga sekian tahun.

Dia lalu mendatangi Pusat Saraf Otak, yang membuatnya bertemu fasilitator terapi yang bernama Elijah di sebuah ruangan terapi. Ketika ditanya tentang apa yang ingin dihapusnya, Lail berkata mantap.

Hujan.

Namun, untuk menghapus ingatan itu, Lail harus bercerita secara detail tentang semua memorinya. Semua kisahnya. Semua kesedihannya.

Begitulah novel ini dimulai. Kita pun lalu diseret menuju masa lalu Lail, tepatnya delapan tahun sebelumnya. Tanggal 21 Mei 2042. Pada saat itu, lahirlah bayi kesepuluh miliar ke dunia. Bayangkan sepuluh miliar manusia.

Momen itu sebagaimana momen tonggak besar lain selalu mengejutkan banyak pihak. Masalah pertambahan penduduk yang seakan tak bisa dibendung, yang diikuti oleh kelangkaan sumber daya alam, serta keserakahan manusia lalu mendorong dunia mencari jalan keluar. Di tengah silang sengkarut perdebatan, alam menghadirkan solusinya sendiri.

Gunung purba meletus dahsyat. Suara letusannya terdengar hingga jarak 10.000 kilometer. Semburan material vulkaniknya mencapai 80 kilometer. Meluluhlantakkan apa saja dalam radius ratusan kilometer. Bukan letusannya yang menimbulkan masalah, tetapi efek lanjutannya. Tsunami, gempa, banjir, runtuhnya gedung-gedung pencakar langit, dan masih banyak lagi lainnya yang menyebabkan jatuhnya banyak korban. Hampir separuh bumi lumpuh. Hancur berkeping-keping.

Di antara para penyintas, ada Lail, tokoh utama dalam novel itu. Saat itu usianya menginjak tiga belas tahun. Dia hendak diantar ke sekolah oleh ibunya menggunakan kereta kapsul generasi terkini. Namun, naas hari itu ibunya menjadi salah satu korban meninggal.

Dia lalu mendadak sebatang kara dan kehilangan kedua orang tuanya. Tepat saat takdir merenggut kedua orang terkasihnya, Tuhan menghadirkan Esok. Bocah lelaki berusia lima belas tahun itu menyelamatkannya dari reruntuhan tangga kereta api bawah tanah.

Kelak, bocah laki-laki ramah, jenius luar biasa, dan baik itu akan menjadi sosok yang sangat penting dalam kisah hidupnya, serta hidup ribuan orang.

Demikian kisah dalam novel ini terus berlanjut. Berputar, lalu mengenalkan Lail pada Maryam, pada Ibu Suri, Claudia, Ibu Esok, dan banyak karakter lain.

Momen dari ruang bawah tanah di stasiun kereta api hingga momen ketika kapal raksasa bikinan Esok terbang meninggalkan bumi menciptakan peta ingatan yang bercampur, antara menyenangkan, netral, dan menyesakkan. Ingatan menyesakkan itulah yang membuat Lail nekat menuju Pusat Terapi Saraf. Tujuannya: menghapus ingatan, harapan, dan cinta yang dipendamnya begitu lamanya kepada Esok. Dan semua itu terjadi saat hujan.

Begitulah kisah penantian dan cinta yang tak terkatakan ini dibungkus dalam novel setebal 300-an halaman ini. Kisahnya berjalan dengan tempo lambat, tidak seperti negeri para bedebah misalnya. Tetapi tetap asyik diikuti. Istilah-istilah ilmiahnya juga tidak begitu sulit, sehingga pembaca dengan pengetahuan ilmiah pas-pasan seperti saya pun tidak mengalami kesulitan mencernanya.

Menurut saya yang juga mengikuti halaman Facebook penulis kondang ini, nilai moralnya adalah: penantian yang diisi dengan peningkatan kualitas diri, bukan kegalauan tanpa henti, akan memberikan hasil yang manis. Akhir yang bahagia.

Tak banyak kesalahan ketik di dalam novel bersampul biru dengan tetesan hujan ini. Mungkin hanya satu atau dua. Itu pun tidak dalam kategori mengganggu.

Yang mengganggu saya hanya: Benarkah kita tidak boleh jatuh cinta saat hujan?

Sumber: mynovotravel.blogspot.com
Data buku:
Judul: Hujan

Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Januari 2016
Tebal : 320 halaman
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Cover : Softcover

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »