Tak ada yang istimewa sebenarnya, malah
terlihat agak kurang pantas. Dia menggunakan celana jeans pensil. Berkaos
oblong, ditutup jaket tebal berwarna agak usang, dan bertopi rajut. Busana yang
lebih cocok dipakai mendaki gunung.
Kulitnya agak gelap. Tingginya mungkin sebelas
dua belas denganku. Atau mungkin lebih pendek. Senyumnya lebar bila kau mau
tahu. Dan dia selalu ada di depan masjid setiap subuh. Kadang dia merapikan dagangan
sayurnya. Kadang mengencangkan tali kerupuk yang dibungkus plastik. Ada saja
yang selalu dilakukannya terkait dagangannya itu.
Bila kuperhatikan dia buru-buru naik ke masjid
setelah alfatihah rokaat pertama selesai dibacakan. Sering seperti itu, dan itu sukses
membuatku bertanya-tanya.
Pagi ini aku menemukan jawabannya. Seusai
sholat subuh, pedagang sayur keliling langsung turun dari masjid.
Sejenak kemudian, aku juga keluar dari masjid.
Dia tampak terburu-buru memasang kaos kaki dan sepatunya yang berwarna hitam
pudar.
Brukk, ada kucing belang hitam-putih yang loncat dari sepedanya. Membawa satu
kantong ayam. Dia terkesiap, dan terlihat bingung. Dia melihatku sejenak, lalu
melihat dagangannya lagi. Tak perlu waktu lama, dia lantas mengejar kucing itu.
Derap larinya kencang.
Dia menuju sisi samping masjid. Lalu loncat menuju
arah lari kucing itu. Ke pematang sawah yang masih gelap dan basah oleh embun pagi.
Aku hanya terdiam. Mematung. Tak tahu juga apa yang harus kulakukan.
Aku lantas beringsut. Berjalan sendirian ke
rumah. Di sepanjang jalan, kusesali tindakanku tidak membantunya mengejar
kucing itu. Tidak membantunya mendapatkan kembali dagangannya.
Aku tersadar betapa banyak hal yang sudah
dikorbankannya untuk sholat subuh. Kemalasan yang dia kalahkan setiap hari.
Kesulitannya yang harus melepas dan memasang lagi kaos kaki dan sepatu, serta
atributnya yang lain. Dan dagangannya. Hartanya. Mungkin sepanjang sholat, dia
tidak khusyu. Dia memikirkan kucing-kucing liar yang mungkin memakan
dagangannya. Atau mungkin orang nakal, yang mencuri sayur dan lauk pauk yang
dia jajakan.
Tetapi dia mengenyahkan semua ketakutan itu. Dia tetap
sholat subuh setiap hari.
Sementara itu, tekad ibadahku, yang tidak
mengalami kesulitan sepelik itu, dikalahkan hangat bantal. Godaan mimpi. Mesra lamunan. Atau
setumpuk pekerjaan.
Tukang sayur itu betul-betul
sukses menceramahiku di subuh sedingin ini. Dan aku betul-betul malu dibuatnya.
Part 2: Mengikhlaskan Kehilangan
Part 3: Hentikan Mengasihani Bangkitlah Berdiri
Part 2: Mengikhlaskan Kehilangan
Part 3: Hentikan Mengasihani Bangkitlah Berdiri