Hentikan Mengasihani, Bangkitlah Berdiri

Subuh tadi aku terlambat. Sudah sering terlambat sebenarnya. Tapi pagi ini terlalu. Saat ruku rokaat kedua, aku baru sampai. Napas tersengal-sengal. Wajahnya memerah. Dada kembang kempis. Sebabnya, aku harus berlarian agar dapat mengikuti jamaah sholat subuh.

Saking terburu-burunya, aku lupa membawa uang. Padahal sehari sebelumnya aku berencana membeli sekadar kerupuk atau gorengan pada tukang sayur yang sudah mengajariku banyak pelajaran kehidupan itu. Setidaknya, rasa bersalahku akibat tidak ikut mengejar kucing bisa sedikit terobati. Tetapi apa mau dikata, aku lupa.

Setelah kupikir-pikir ini skenario Allah (bukan yang bagian aku telat sholat ya, tetapi yang bagian aku lupa membawa uang). Bagaimana pun si tukang sayur ini sudah kehilangan ayamnya, dan dia sudah tegar menerima kehilangan itu. Sudah mengikhlaskannya. Selesai. Dia pun sudah kembali bangkit dengan menjadi pribadi yang lebih baik (agak lebay juga sih bagian yang dibuat miring ini).

Setelah keluar dari masjid, dia tidak langsung berangkat jualan. Rupanya dia menunggu jamaah bapak-bapak dan ibu-ibu turun dulu. Beberapa di antaranya membeli kerupuk, sayur, atau lauk. Strategi dan cara yang baik menurutku.

Setelah mengaitkan tindakannya dengan uraian salah satu ustadz kondang, bukankah memang begitu umat Islam itu terdahulu. Masjid dan pasar adalah dua entitas yang berdekatan. Masjid membangun sisi keagamaan, budaya, politik, dan pendidikan, sementara pasar membangun lingkungan sosial dan meningkatkan perekonomian.

Selain itu, si tukang sayur ini juga terlihat tegar dan penuh senyum optimis. Bajunya kulihat rapi. Rambutnya yang bergelombang terlihat klimis. Tak kulihat sekalipun wajah lesu dan tatapan memelas.

Bagaimana aku bisa mengasihani orang sekuat itu? Setegar itu?
Aku lantas mengutuk diriku sendiri. Tindakanku. Asumsiku. Bukankah memang tidak patut mengasihani orang yang lebih kuat daripada diri kita? Menasihati sabar kepada orang yang lebih ikhlas daripada kita?

Mungkin juga ini bahasa universal atau bahasa pertanda yang Allah kirimkan kepadaku. Satu pelajaran penting lagi pagi ini, yaitu berhentilah mengasihani dan mengutuk diri sendiri. Kesalahan sudah terjadi. Badai sudah berlalu. Dan aku sudah mencoba memperbaikinya. Setelah maksimal, ikhlaskanlah. Terimalah. Dan berdirilah lebih kokoh. Lalu, tataplah matahari pagi dengan penuh semangat dan optimisme tinggi.

Kesalahan adalah pembelajaran, yang membuatku menyadari kelemahan, dan mulai belajar berdamai dengan diri. Menyitir kata Tere Liye, “Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.”


Belajar dari tukang sayur, bukankah ayam yang hilang tidak pernah membenci kucing garong? Dia membiarkan dirinya dicuri begitu saja, tanpa perlawanan dan tanpa paksaan J...


Part 1: Tukang Sayur yang Menceramahiku Subuh Tadi

Part 2: Mengikhlaskan Kehilangan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »