Menua dengan Bahagia

Tua adalah niscaya. Dia tidak bisa dihindari, atau dielakkan, sekuat apa pun aku berusaha, dan sebesar apa pun anggaran yang aku keluarkan agar tampil awet muda. Sebenarnya, nggak ada anggaran khusus juga sih.

Aku masih ingat sekira delapan tahun lalu. Aku menggendong Aka ke sawah di sebelah rumah. Di sebuah gubuk yang dulu diresmikan Wakil Bupati itu, kami bermain. Lalu datang bapak tua, seorang petani, yang berbasa-basi.

“Main sama adiknya tah Mas” sapanya dalam bahasa Jawa sambil tersenyum.
source: hendricuswidiantoro.wordpress.com


“Iya Pak,” ucapku sambil tersenyum bungah. Tak kukira, meskipun sudah punya anak satu, dikiranya aku masih belum menikah. Aku tahu itu hanya basa-basi, tetapi kan tetap saja itu pengakuan. Dan kebahagiaan.

Dikira muda padahal sudah tua memicu sejenis hormon kebahagiaan tertentu. Endorfin nama ilmiahnya. Pokoknya, kebahagiaan semacam itu tak terukur. Ada senyum simpul yang merekah di ujung hati sepanjang hari. Susah menjelaskannya.

Hanya sekali itu? Tidak. Beberapa kali aku masih dianggap mahasiswa, padahal sudah lama lulus. Memiliki wajah muda namun tidak meyakinkan kadang kutukan, kadang anugerah. Dikira muda kali ini jadi anugerah.

Dan seperti halnya anugerah lain, dia memiliki tanggal kedaluwarsa. Sekarang semua orang memanggilku “Pak”. Di toko kelontong atau pun di mall, semuanya seragam memanggilku “Pak”.

Apa mereka berkonspirasi hendak menjatuhkan martabatku? Menghilangkan kebahagiaanku yang ehem masih merasa muda ini?

Tentu aku tak berpikir begitu. Teori konspirasi hanya bagi yang kehabisan alasan dan penjelasan.

Kesadaran menabrakku pada suatu waktu. Saat hendak berangkat ke kantor, kusisir rambut yang semrawut itu. Ada kilatan putih. Kukira itu semacam inspirasi. Semacam buah apel jatuh yang memicu teori gravitasi. Lalu, kunyalakan lampu, dan ternyata itu uban. Uban, saudara-saudara.

Ya, usia tua datang tepat pada waktunya, seperti ubanku itu, terlepas apakah aku siap atau tidak. Dan seperti halnya jalinan takdir lain dalam hidup, aku harus menerimanya. Merelakannya. Berat memang. Tak kukira, usia dan tua mengejutkan. Padahal, sudah lama aku mengantisipasinya. Tetap saja aku terkejut dibuatnya.

Hanya satu hal yang mengusik pikiran. Apa yang hingga kini sudah aku lakukan? Karya apa yang sudah aku hasilkan? Seberapa banyak yang sudah aku bahagiakan? Seberapa banyak yang sudah aku istimewakan?

Rasanya tak ada. Tak banyak yang aku lakukan, selain untuk diri sendiri. Menumpuk penyesalan saja.

Ah, sepertinya menua dengan bahagia hanya ilusi, bagiku terutama. Menua tanpa manfaat dan tanpa karya sejenis kutukan panjang. Begitu panjang hingga kuburan.

Atau mungkinkah “menua dengan bahagia” hanya bisa disimpulkan ketika wajah tersenyum saat malaikat maut datang menjemput?


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »