Sonya, dan Potret Keberingasan Kita

Diambil dari: http://bit.ly/23e4Tsf
Itu hari Rabu yang biasa sebenarnya. Tak ada yang istimewa bagi sebagian besar orang. Pekerja kantoran sibuk menatap layar komputer yang seakan menjadi kawan akrabnya sehari-hari. Para polisi berkeliling berpatroli. Para petugas kebersihan melaksanakan rutinitas yang sama setiap harinya. Menyapu dan memunguti sampah.

Tapi tak begitu yang dirasakan sebagian besar siswa kelas XII SMA, yang baru saja keluar dari ruang ujian nasional yang pastinya pengap, menghimpit, dan menyiksa.

Lega luar biasa.

Lantas, sebagian siswa kelas XII di Medan berkonvoi keliling kota. Dengan mobil dan motor, mereka meluapkan kelegaannya. Dan di antara rombongan konvoi itu, ada mobil Brio yang ugal-ugalan.


Itulah mobil yang digunakan Sonya Depari bersama teman-temannya. Di kemudian waktu, seperti yang sudah kita tahu, dia lantas dicegat seorang Polantas.

“Aku tidak main-main, aku tandai Ibu. Aku anak Arman Depari” sergahnya lantang. Jari telunjuknya diacungkan. Matanya melotot tajam.

Sang Polwan hanya berucap oke, oke, sembari meletakkan jari telunjuknya di bibir.

Rekaman itu lantas diunggah ke dunia maya. Tra la la, video itu menjadi viral dalam sekejap. Tak perlu seribu purnama. Di twitter, Facebook, instagram, media online, dan media sosial lain, kecaman, makian, dan kata serampah langsung bertaburan. Kata yang bahkan tabu digunakan di kebun binatang berseliweran di lini masa.

Dari sini saja, balasannya sudah tidak setimpal. Sekali Sonya mengancam, jutaan kata cercaan dan makian menghantam. Tidak dari ibu Polwan atau teman sebaya, tetapi justru dari orang-orang yang tidak mengenal dan menyaksikannya langsung.

Lantas, kejadian itu dicerabut dari konteks, lalu diadili beramai-ramai.

Para pengamat turun gunung. “Itulah potret kegagalan pendidikan” ucap salah seorang pengamat pendidikan. “Itulah warisan orde baru, yang memanfaatkan jabatan orang tua untuk menegaskan relasi kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasan orang tua” ucap mantan aktivis 98, yang dari nada bicaranya seakan memiliki dendam kesumat terhadap orde baru.

Cara berucapnya begitu percaya diri, seakan-akan pada era reformasi ini, tidak ada pejabat yang mengirim anaknya ke Amerika untuk menjalani “hukuman percobaan”, setelah menghilangkan nyawa beberapa orang dalam tabrakan. Seakan-akan tidak ada orang tua yang mendirikan yayasan, hanya demi menghindarkan anaknya, yang menabrak beberapa orang hingga meregang nyawa, dari dinginnya jeruji penjara.
Dan kita sebagai pengguna media sosial merasa sebagai hakim yang paling pantas. Paling layak. Kita merasa menyandang kriteria: (1) tak pernah sekali pun melakukan kenakalan remaja, (2) langsung dikirim Tuhan dari surga untuk menjadi pengadil kelakuan orang lain di media sosial dan (3) dengan kekuasaan tak terbatas, berhak mengomentari, berbagi, dan menyinyiri perilaku orang lain.

Dan tentu sebagai hakim, kita sudah dzolim. Kita bahkan tidak pernah bertanya kepada Sonya. Apakah ujian nasional yang membuatnya begitu? Apakah dia frustrasi setelah dididik bertahun-tahun hanya untuk menyelesaikan soal selama tiga hari itu? Apa motivasinya sebenarnya?

Dan terlepas dari jawabannya, Sonya sudah mendapatkan balasannya. Beribu kali lebih perih. Ayahnya meninggal. Konon, sakit jantung karena tak kuat menerima cercaan masyarakat. Sonya akan merasa bersalah seumur hidup. Bagaimana dia akan memaafkan dirinya sendiri setelah semua itu?

Trauma yang dalam serta ketakutan luar biasa pasti tak bisa dihindarkan.

Dan di sisi lain kita sampai detik ini tetap suci. Tetap tak bersalah. Tetap tak terjamah. Sekarang waktunya kita beralih, mengomentari, menyinyiri Barca, Ahok, sumber waras, “salam pramuka”, dan La Nyala.


Itulah enaknya jadi hakim. Hmmm

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »