Dulu, saya pernah aktif menulis di berbagai koran yang berkenan menerbitkan tulisan sederhana. Salah satu tulisan pertama saya yang berhasil diterbitkan adalah tulisan di bawah.
Tulisan ini satu dari sekian banyak tulisan yang saya kirimkan ke Jawa Pos edisi Minggu pagi. Dan uniknya, tulisan ini terbit pada hari pertunangan saya.
Distorsi dan Korupsi Buku Terjemahan
Geliat terjemahan buku-buku asing ke Bahasa Indonesia semakin menggelora, semakin menunjukkan nafas kehidupan dalam dunia perbukuan Indonesia. Kran informasi yang begitu terbuka membawa kemungkinan pertukaran informasi, pengetahuan, dan budaya yang sangat luas antar semua negara. Dan terjemahan ternyata berfungsi sebagai jembatan yang nir-batas.
Dulu saya sempat bertanya pada diri sendiri dan termenung memikirkan pesona memukau di balik proses terjemahan. Apa sebenarnya yang membuat pemikir sekaliber Marthin Luther menjebloskan dirinya ke dalam rimba terjemahan? Apa juga yang menyebabkan Goenawan Muhammad menerjemahkan puisi-puisi asing ke dalam bahasa Indonesia? Apa sebenarnya yang membuat kisah Mahabarata begitu membumi, sehingga orang Jawa menganggap Arjuna Wiwaha sebagai orang Jawa?
Saya kemudian tersadar bahwa ternyata penerjemahan memungkinkan dinamisasi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, wawasan dan budaya, karena terjemahan memungkinkan mereka yang tidak bisa bahasa asing mengakses ilmu pengetahuan. Terjemahan pulalah yang memungkinkan kisah orang lain menjadi kisah kita sendiri, kita rasakan karakternya dan memilikinya secara keseluruhan. Terjemahan pulalah yang membawa zaman keemasan bagi Islam, sehingga orang Islam dapat mengembangkan peradaban yang gilang-gemilang beberapa abad yang lalu. Terjemahan pula yang menyumbangkan banyak perbendaharaan kata baru ke repertoire bahasa Indonesia.
Di tengah-tengah keterperangahan itu, saya tersentak saat membaca beberapa buku terjemahan, terutama buku ilmiah. Terdapat banyak buku terjemahan yang saat dibaca terkesan sukar baik bahasa maupun isinya. Bukan hanya segi bahasa yang supertinggi sehingga pembaca kesulitan memahami dan tidak dapat enjoy membaca, tetapi juga segi isi yang sudah banyak terdistorsi. Ternyata korupsi juga terjadi di dunia penerjemahan.
Proses pemahaman dan keinginan untuk menikmati buku akhirnya digagalkan (gagal), karena jangankan menikmati buku terjemahan, para pembaca kadang bingung menangkap isi dan makna yang ingin disampaikan penerjemah. Masalah ini mencapai klimaksnya saat pembaca sudah tidak lagi percaya pada buku terjemahan tertentu, karena rendahnya tingkat keterbacaan (readibility) dan keterpahaman (understandibility) karya bersangkutan. Tentu kita tidak ingin para pembaca telantar gara-gara membaca buku terjemahan yang tidak jelas jeluntrung-nya.
Para praktisi terjemahan jelas memiliki gaya dan pendekatan yang tidak sama satu dengan yang lain. Perbedaan gaya menerjemahkan merupakan sebuah keniscayaan, agar terjadi proses dinamisasi dan perkembangan karya terjemahan itu sendiri. Kendati demikian, perlu kiranya diusahakan standarisasi mutu agar pembaca tidak dirugikan saat membeli karya terjemahan. Kriteria standar ini dikemukakan oleh Larson (1984). Kriteria tersebut antara lain, ketepatan (accuracy), kejelasan (clarity), dan kewajaran (naturalness). Ketiganya sering disingkat dengan ACN.
Pertama, ketepatan mengacu pada tepat atau melencengnya makna teks asli saat diterjemahkan ke bahasa sumber. Varian pertama ini merupakan syarat utama karya terjemahan yang terterima di masyarakat. Bila karya terjemahan sudah tidak dapat membawa makna orisinal sebuah karya, maka karya terjemahan yang demikian akan mendistorsi makna yang ingin disampaikan oleh penulis asli. Oleh karena itulah, pesan yang ingin disampaikan terhambat karena hasil terjemahan kurang bisa mencerminkan isi yang sebenarnya.
Kedua, kejelasan merujuk pada mudah atau sukarnya pembaca teks terjemahan dalam memahami karya tersebut. Kriteria ini merupakan penentu bagaimana karya terjemahan dapat terterima dalam reading society, karena kita cukup jarang mendapati buku terjemahan yang mudah dipahami tetapi isinya tidak terdistorsi. Proses pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa) tentunya bukan merupakan kerja membalikkan telapak tangan, tetapi kerja semacam itu tentu harus menghasilkan karya yang terterima dan mudah dipahami oleh pembaca.
Ketiga, kewajaran mengacu kelaziman sruktur dan diksi yang dipilih dalam keseluruhan karya terjemahan. Maksudnya, struktur kalimat yang digunakan merupakan ragam yang lazim dipakai dalam bahasa sasaran. Tidak jarang kita temui sebuah karya terjemahan yang terlalu setia pada bahasa sumber. Selain itu, struktur kalimatnya seringkali merupakan ragam yang tidak lazim dalam bahasa sasaran.
Terjemahan menghadirkan kemungkinan yang tak terhingga bagi kemajuan pembangunan sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Meningkatkan jumlah karya terjemahan merupakan kerja tak berkesudahan yang harus terus dilakukan, sehingga SDM Indonesia terus dapat dipacu.
Standar buku terjemahan tentunya harus terus dipantau terutama oleh para penerbit dan balai bahasa, sehingga proses pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan dapat berjalan dengan lancar tanpa distorsi. Bila hal ini terus dipertahankan, saya yakin karya terjemahan akan mengobati malnutrisi ilmu pengetahuan yang selama ini menggejala. Pertumbuhan karya terjemahan akan memberikan angin segar bagi pemasyarakatan budaya unggul sebagaimana yang dicita-citakan bersama. []
Oleh: Anton Haryadi, penerjemah lepas FKIP Unisma Malang.