Yuk kita simak puisi serta terjemahannya.
I met a traveler from an antique land
Who said: “Two vast and trunkless legs
of
stone
Stand in the desert... Near them, on
the
sand,
Half sunk, a shattered visage lies,
whose
frown,
And wrinkled lip, and sneer of cold
command,
Tell that its sculptor well those
passions
read
Which yet survive, stamped on these
lifeless
things,
The hand that mocked them, and the
heart
that fed:
Aku
bertemu pengembara dari daratan kuno
Yang berkata:
“Sepasang kaki batu besar tanpa
badan
Berdiri di
padang pasir... Di dekatnya, di atas
pasir,
Terbenam separuh, wajah hancur terbentang, yang bibirnya berkerut
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,
Bilang
pemahatnya, hasrat itu terbaca dengan baik
Masih bertahan, melekat erat pada benda
tak bernyawa ini,
Tangan yang mencemooh, dan hati yang menyuapi:
And on the pedestal these words appear:
‘My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and
despair!’
Nothing beside remains. Round the decay
Of that colossal wreck, boundless and
bare
The lone and level sands stretch far
away.”
Dan di tumpuannya
kata-kata ini muncul:
‘Namaku adalah
Ozymandias, raja dari segala raja
Lihat karyaku, wahai Yang Perkasa, dan putus asa!’
Tidak ada yang
tersisa. Di sekeliling reruntuhan
Kehancuran besar, tak terbatas, dan hampa
Hanya hamparan pasir
sejauh mata memandang.”
Puisi ini termasuk sonnet atau soneta, dengan metrik iambic pentameter. Menurut keterangan di Wikipedia, Shelley menulis puisi ini pada tahun 1817, setelah munculnya pengumuman tentang patung yang berhasil diperoleh oleh British Museum. Patung ini sendiri adalah patung penguasa Mesir alias Firaun yang bernama Ramesses II. Dia sendiri adalah Raja Mesir yang memerintah mulai 1279 sebelum Masehi hingga 1213 sebelum masehi.
Puisi ini sebenarnya memiliki kembaran, yang ditulis oleh Horace Smith. Judulnya pun sama. Mungkin muncul pertanyaan, kok puisi bisa punya kembaran?
Sebab, puisi ini ditulis oleh Shelley sebagai ajakan untuk berkompetisi. Yang diajak untuk berkompetisi siapa lagi kalo bukan sahabatnya yang bernama Horace Smith. Asyik juga ya. Berteman, tetapi bersaing dalam karya. Ya, mirip dengan proses kreatif puisi Road Not Travelled karya Robert Frost.
Apa sih isi dari puisi ini?
Puisi bercerita tentang pertemuannya dengan seorang petualang yang baru datang dari Mesir. Si petualang lalu bercerita tentang patung manusia. Ada dua kaki namun badannya sudah tidak ada. Wajahnya tersungkur dan terbenam separuh. Dari kriteria wajah:
Terbenam separuh, wajah hancur terbentang, yang bibirnya berkerut
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,
Bisa disimpulkan bahwa wajahnya menyiratkan wajah seorang raja. Seorang penguasa. Dan pemahat patung raksasa itu berhasil menyampaikan maksud sang raja. Si raja itu sendiri memiliki dua sifat yang saling bertentangan. Buruk di mulut, tetapi hatinya mulia. Tangan yang mengejek, dan hati yang memberi makan:
Di tumpuan patung itu terdapat sebuah prasasti, yang bertuliskan:
‘My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and despair!’
Namun, itu bertentangan dengan yang sekarang tersisa. Sebab, tak ada lagi sisa kejayaan. Yang ada hanya reruntuhan. Sisa kehancuran maha besar, yang tak terbatas, dan terlihat hampa. Tak ada lagi kerajaan. Tak ada lagi karya, sebagaimana terpahat pada tumpuan yang menjadi prasasti tersebut. Dan karya yang tersisa kini hanyalah hamparan pasir yang membentang sejauh mata memandang.
Bagi saya, puisi ini mengingatkan pembacanya untuk tidak terlalu sombong. Seberapa pun besar dan megah karya yang kita hasilkan, bisa-bisa waktu akan merusaknya. Menghancurkannya perlahan. Akhirnya, karya kita hanya terpendam ke dalam tumpukan pasir. Pada akhirnya, kesombongan akan memakan karya kita menjadi omong kosong semata.
Namun, itu bertentangan dengan yang sekarang tersisa. Sebab, tak ada lagi sisa kejayaan. Yang ada hanya reruntuhan. Sisa kehancuran maha besar, yang tak terbatas, dan terlihat hampa. Tak ada lagi kerajaan. Tak ada lagi karya, sebagaimana terpahat pada tumpuan yang menjadi prasasti tersebut. Dan karya yang tersisa kini hanyalah hamparan pasir yang membentang sejauh mata memandang.
Bagi saya, puisi ini mengingatkan pembacanya untuk tidak terlalu sombong. Seberapa pun besar dan megah karya yang kita hasilkan, bisa-bisa waktu akan merusaknya. Menghancurkannya perlahan. Akhirnya, karya kita hanya terpendam ke dalam tumpukan pasir. Pada akhirnya, kesombongan akan memakan karya kita menjadi omong kosong semata.
Cukup klik untuk baca juga: Puisi Love's Philosophy - Percy Bysshe Shelley - Terjemahan dan Analisisnya
5 comments
commentsTerima kasih banyak :)
ReplyThanks about your information, so really important to learn about literature and historical.
ReplySangat membantu 👍
ReplyAll hail for ozy, not allowed to "GILGAMESH" get in here
ReplyTerima kasih banyak tulisannya
Reply