Puisi Hope – Emily Dickinson – Terjemahan dan Analisisnya

Courtesy of Dewi Nasution
Di bawah ini adalah terjemahan puisi Hope karya Emily Dickinson, yang diterjemahkan oleh dua sastrawan asal Malang, yaitu Abdul Mukhid dan Wawan Eko Yulianto.

Hope     
 Hope is the thing with feathers
That perches in the soul,
And sings the tune–without the words,
And never stops at all,
Asa
 Asa itu bagaikan burung dan sayapnya
yang bersemayam di jiwa,
dendangkan irama
tiada putusnya.
Harap
Harap ialah sesuatu bersayap
yang bertengger di jiwa,
dan berdendang tanpa kata,
dan tanpa putus-putusnya,
 And sweetest in the gale is heard;
And sore must be the storm
That could abash the little bird
That kept so many warm.
 Dalam terpaan angin kencang kukecap merdunya
Dalam amukan badai serasa perihnya
namun si burung mungil tetap setia
tiada henti sebar hangatnya.
dan terdengar merdu di deru topan;
dan badai sungguhlah ganas
jika sampai mengusir burung kecil itu,
burung yang sebarkan hangat.
 I’ve heard it in the chillest land,
And on the strangest sea;
Yet, never, in extremity,
It asked a crumb of me.


 Kudengar suaranya di negeri paling gigil
dan di samudera paling musykil
namun tak sedikit pun dariku
ia pinta walau hanya secuil,
walau hanya secuil.
(Terjemahan oleh Abdul Mukhid)
Pernah kulihat ia di sedingin-dinginnya daratan,
juga di seasing-asingnya lautan;
tapi, biar cuaca seganas apa, tak pernah
mulut menadah padaku, meski demi seremah.
(terjemahan oleh Wawan Eko Yulianto)

Puisi di atas kukutip dari jurnal JLT dari Polinema Malang yang ditulis oleh Pak Sugeng Hariyanto (2014). Puisi hope karya Emily Dickinson tersebut bercerita tentang harapan.


Puisi ini menggunakan sajak abcb. Perlu diketahui, sebagaimana dulu saya diajari, bahwa rima ditentukan oleh bunyi, bukan oleh bentuk fisik sebuah kata. Dalam sistem metrum, puisi ini menggunakan iambic pentameter. Apa itu iambic pentameter? Nah, kebetulan itu aku lupa.

Puisi ini menggunakan metafora untuk menjelaskan pesannya. Harapan disamakan dengan burung. Mungkin kecenderungan puisi pada masa-masa itu adalah menggunakan alam sebagai metafora untuk menyampaikan maksudnya. Lihat misalnya puisi Robert Frost di sini. Dalam Minor Bird, Robert Frost juga mengangkat tema tentang burung.

Ada juga kemungkinan pemilihan tema ini dipengaruhi oleh kehidupan penulisnya. Emily jarang sekali keluar rumah, dan jarang bertemu dengan orang lain. Hanya sedikit orang yang bertamu ke rumahnya. Meskipun begitu, dia masih berkorespondensi guna mempertahankan hubungan sosialnya. Mirip Kartini ya, meskipun Emily sendiri pada tahun 1830-an. Seratus tahun lebih jarak waktunya dengan Kartini.

Seperti halnya Kartini yang menebarkan harapan bagi kaumnya, Emily juga sama. Harapan baginya serupa burung. Bertengger di jiwa, lalu berkicau, meskipun tanpa kata-kata. Harapan, seperti halnya burung, terus saja terbang, bersinggasana, lalu berkicau, dan tidak pernah berhenti.

Dan meskipun dalam terpaan angin yang dahsyat, dan badai yang mengganas, yang akhirnya bisa mengusir burung kecil yang terus menebar hangat itu, dia akan tetap berkicau. Tetap bersinggasana di jiwa, dan terus bersuara dalam lirihnya upaya.

Dan burung itu terus berkicau di daratan paling beku, atau lautan paling wagu, sebagaimana disebutkan di stanza atau bait ketiga. Dalam kondisi terburuk pun, harapan itu tidak pernah meminta apa-apa. Tak pernah menengadah meminta remah-remah.

Sedikit mirip dengan salah satu adegan antara Harry Potter dan Dementor. Rasa putus asa dan kesedihan akan terusir, apabila kita masih memiliki harapan dan kenangan, yang bertengger dan berkicau indah di dalam jiwa. Cahaya lantas muncul bersamaan dengan mantra expecto patronum (harapan yang menyinari) dan kibasan tongkat sihir, yang akan mengenyahkan kesedihan dan keputusasaan yang merongrong jiwa.


Nah, itulah dia analisis yang sedikit ngalor-ngidul tentang puisi Hope karya Emily Dickinson. “Terus berharap dan teruslah menebar harapan, meskipun hidup sedang dirundung duka, dan sedang ditimpa petaka” itulah mungkin kesimpulan dari puisi ini.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »