![]() |
sumber gambar: kompas.com |
Charles Boycott begitu orang tuanya memberi
nama. Dia adalah agen pentanahan yang bekerja untuk sang tuan tanah Lord Erne,
yang tinggal di Lough Mask House di County Mayo, Irlandia.
Sekira tahun 1880, Lord Erne ditentang oleh
para penyewa lahannya karena hanya menawarkan diskon 10% dari biaya sewa. Tahun itu
hasil pertanian sedang buruk-buruknya. Para penyewa tak bisa menyewa lagi
apabila biaya sewanya tidak diturunkan. Tawaran 10% itu ditampik, dan para
penyewa pada bulan September tahun itu meminta diskon 25 %. Dan tentulah si
tuan tanah menolak angka itu.
Sebagai orang yang berkepentingan, Charles
Boycott turun gunung. Para penyewa lahan yang menolak hendak diusirnya dari
lahan. Para penyewa lahan semakin keras, seiring makin kerasnya perlakuan
Charles Boycott. Lama kelamaan, semua orang mengikuti sikap para penyewa lahan.
Seiring berjalannya waktu, para pekerja di perkebunan, peternakan, dan rumahnya
mogok bekerja. Charless Boycott pun terisolasi. Dia kesulitan mencari pekerja
yang mau bekerja padanya untuk panen, mengurus peternakan, dan mengurus rumah.
Berminggu-minggu kemudian, Boycott terkenal ke
mana-mana. Kata “boycott” akhirnya dijadikan istilah yang merujuk pada
aktivitas pengasingan sosial kepada tuan tanah serta kroni-kroninya. Pada 20 November 1880, New York
Times secara resmi memperkenalkan kata boycott ke dunia Internasional.
Dan begitulah boycott yang lalu diindonesiakan
menjadi kata boikot itu menemui takdirnya. Dia menjadi senjata kaum proletar,
kaum lemah, dan kaum pekerja guna melawan para penguasa. Tak pelak, melalui
corong media yang ditangkap para pemuda Indonesia pada masa pra-kemerdekaan,
konsep boikot masuk pula ke Indonesia.
Pada awal-awal tahun 1900, ketika penjajah Hollandia
atawa Belanda tidak memberikan hak-hak pekerja dan petani, para buruh pabrik mogok
kerja. Dan aktivitas pabrik pun lumpuh.
Dan demikian pula saat ini. Ketika tanah suci
Palestina dicaplok dan dijajah secara terang-terangan oleh Israel, aktivitas
boikot produk-produk yang ditengarai mengalirkan dana bagi penjajah Israel terus
digemakan di negara ini. Para pemerhati dan aktivis kemerdekaan Palestina menyuarakannya
setiap hari.
“Setiap teguk minuman C*ca C*la yang kau minum
berpotensi menjadi peluru yang membunuh saudara seiman kita di Palestina” ucap
salah satu teman di kantor. Tak tahu dia serius atau tidak, tapi nada bicara
dan sorot matanya serius. Mungkin dia berkaca-kaca.
Dan senjata itu pulalah yang digunakan Uni Eropa untuk
mengancam kita. Mereka menggunakan instrumen boikot untuk menolak produk CPO (crude palm oil) dari
Indonesia. Produsen produk CPO kita ditengarai tidak melaksanakan proses lestari (sustainable process). Contoh
sederhananya ya alih fungsi hutan alam menjadi hutan industri. Dan yang paling
fresh akhir-akhir ini, aktivitas membakar lahan untuk menanam sawit.
Sudah bukan rahasia, perusahaan perkebunan sawit
yang diduga membakar hutan-hutan kita. Akhirnya, kebakaran dan asap mengusir
serta membunuh satwa liar, dan kehidupan hayati lain. Keragaman hayati yang
konon paling kaya di dunia itu terancam hilang. Esok hari saat anak-anak kita
beranjak dewasa, mereka bisa saja tak akan lagi bisa melihat gajah Sumatra dan
orang utan, yang merupakan satwa endemik hutan Indonesia.
Dan konon, hutan-hutan kita itu adalah
paru-paru dunia. Bagaimana jadinya bila paru-paru dunia itu dibakar, dan asap meracuninya
sepanjang hari?
Dan apakah sampai saat ini kita masih akan
menutup mata? Saudara-saudara kita di Eropa sudah memperingatkan akan bahaya
tidak adanya proses lestari dalam pembukaan hutan untuk menanam sawit.
Saudara-saudara kita di Eropa yang sebagian besarnya tidak beragama Islam itu
seakan lebih peduli, lebih dapat menekan perusahaan-perusahaan sawit yang sudah
mengancam persediaan oksigen kita.
Lantas apa yang sudah kita lakukan saat ini
untuk melindungi diri kita sendiri, saudara-saudara kita serta hutan-hutan kita?
Mereka adalah saudara kita, bukan hanya seagama, tetapi juga sebangsa,
senegara, dan sebahasa.
Apa nyali kita sekadar menyindir dan mencela,
padahal mobil-mobil kita diisi solar yang 15%-nya adalah campuran minyak kelapa sawit?
Apa kita sekedar nyinyir tanpa makna padahal kita menggunakan tisu dengan
sebegitu borosnya? Tisu berasal dari kayu seusia 6-8 tahun yang ditebang dari
hutan industri.
Mungkin kita tidak dapat sepenuhnya memboikot,
tetapi mungkin kita dapat mengurangi, atau bahkan dapat mengganti. Mengganti
tisu dengan sapu tangan, serta mengganti solar dengan pertamina dex.
Saat teman saya yang berbicara tentang boikot
produk perusahaan sponsor Israel terpaku, ingin saya bilang “berliter-liter solar
yang kau beli mungkin menjadi seliter bensin yang digunakan untuk membakar
hutan-hutan di Sumatra, Kalimantan, Papua, dan Jawa.”