Generasi Penuh Luka

source: wikipedia.
Dalam novel Sepatu Dahlan yang ditulis apik oleh Khrisna Pabichara, ada satu adegan yang menurut saya selalu relevan untuk kita jadikan refleksi. Seusai salat Jumat pada 17 September 1948, Kiai Mursjid yang saat itu menjadi pimpinan Ponpes Sabilil Muttaqien sekaligus imam Tareqat Syatariyah, ditangkap oleh Laskar Merah yang terafiliasi langsung Front Demokrasi Rakyat. FDR ini adalah aliansi yang dibangun oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin setelah kejatuhannya. Pada kemudian waktu, Muso salah satu tokoh PKI bergabung.

Tak rela sang Imam ditawan sendirian, Imam Paham salah satu muridnya meminta izin untuk diperbolehkan mendampingi pemimpinnya. Sejak saat itu, Kiai muda berkharisma bersama muridnya itu tidak pernah pulang lagi ke pesantren. Hilang misterius.


Begitu pula anggota dari keluarga lain yang menjadi korban keganasan Laskar Merah. Konon, para korban ini disiksa dan akhirnya dimasukkan dan ditimbun di dalam sumur-sumur tua.

Belakangan, para anggota Laskar Merah tak kalah menderitanya. Perlakuan yang mereka terima sama-sama kejamnya. Disuruhnya mereka menggali lubang kuburan dengan tangannya sendiri, lalu ditimbun setelah sebelumnya ditikam bayonet oleh tentara.

Korban dan pelaku mengalami kengerian yang sama. Derita yang sama. Jadi, penderitaan yang diterima setara, meskipun tidak sama persis.

Jadi,  “waktunya kita berhenti merawat luka” seru Ustaz Hamim, tokoh yang diangkat dalam cerita oleh Khrisna berpesan. Seruan yang tidak hanya relevan bagi para korban-korban kejahatan keji, tetapi juga kekhilafan-kekhilafan kecil yang mungkin dilakukan oleh orang-orang terdekat saya, Anda, atau kita semua.

Waktunya bagi kita untuk berhenti meratapi segala kesedihan dan merekonstruksi ulang jalannya sejarah, seberapa pun perihnya. Kegetiran dan luka menganga yang tak kunjung kering itu tidak perlu kita tutupi. Perlulah kita buka sejenak agar dia bisa mengering. Bolehlah kita lihat apakah luka itu terkena infeksi.

Dengan tahu kondisi luka dan apa penyebabnya, siapa tahu luka akibat salah satu tragedi terkelam di sepanjang sejarah republik ini bisa sembuh. Demikian juga dengan luka di jiwa kita. Dan dengan begitu kita bisa mulai belajar memetik hikmah. Memetik pelajaran.

Betapa banyak korban salah tangkap, korban salah buang, dan korban salah bunuh akibat pembelokan sejarah yang dibesar-besarkan orde baru itu. Betapa banyak orang yang tidak bisa pulang lagi ke negaranya, ke rumahnya, serta ke keluarganya akibat pelarangan yang dilakukan secara sistematis. Dan mereka divonis tanpa proses pengadilan, dan tanpa pembelaan.

Berapa perih luka yang juga dialami oleh anak-anak pelaku. Orang tua mereka sudah mendapatkan balasannya. Para pelaku dihukum sama beratnya. Mereka juga diperlakukan tidak adil. KTP berbeda, tidak mendapatkan hak sebagaimana warga negara biasanya, dikucilkan, didiskriminasi, dan di-bully habis-habisan.

Perlu diakui memang, sejarah bagi kita bangsa Indonesia selalu menghadirkan luka. Sebab itu, kita tidak pernah berani menghadapinya. Kita hidup dilingkupi rasa takut. Rasa takut untuk menghadapi ketakutan dan kecemasan kita sendiri.

Apakah dengan memaafkan dan meminta maaf atas tragedi memilukan itu menjadikan kita komunis? Tidak sama sekali. Memaafkan penjahat tidak menjadikan kita penjahat. Meminta maaf kepada penjahat karena kita lalai tidak memberikan sedekah bisa jadi malah membuat penjahat tersebut insyaf. Memaafkan dan meminta maaf menjadikan kita bangsa yang besar, serta bebas dari jerat dan beban masa lalu, sehingga kita bisa maju dengan mantap.

Saatnya kita tidak lagi membiasakan “melupakan” masa lalu. Memang, cara paling mudah menghilangkan keperihan adalah melupakan. Tetapi melupakan tidak menyembuhkan. Tindakan itu tidak menghilangkan jejak-jejak yang terukir abadi di lubuk tidak sadar (inconscious) dan sub-sadar (sub-conscious) kita.

Jadi, waktunya bagi generasi ini tidak lagi menjadi generasi perawat luka. Waktunya kita membuka mata dan menyingkap hati untuk melihat kembali segalanya secara utuh. Adegan sepotong-potong hanya membuat kita berprasangka dan berpraduga, tanpa pernah mencari tahu di mana letak kesalahan sebenarnya.

Boleh jadi, kita tidak akan memaafkan. Luka kita tambah perih dan sakitnya menjadi-jadi. Tak apa. Yang penting kita tahu seutuhnya, agar sejarah bukan lagi menjadi luka dan penjerat langkah kita menuju masa depan.

Atau mungkin siapa tahu kita akan berubah pikiran. Segala hal berubah, demikian juga kita. Bila mereka hidup di zaman kita, saya yakin segalanya berbeda. Kemiskinan dan kebodohan sering mendorong orang melakukan sesuatu di luar nalar. Kita juga tidak tahu konteks dan pendalaman masyarakat saat itu seperti apa.

Dan mungkin setelah itu semua kita akan memaklumi, menerima, dan merangkul mereka sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini. Bangsa besar selalu berisi orang-orang berjiwa besar. Memaafkan dan meminta maaf bukan tanda kekerdilan jiwa, tetapi kebesarannya. Bukankah ajaran agama-agama juga mengajarkan permaafan ini?

Masihkah kita saat ini mau menjadi generasi perawat luka? Generasi yang hingga saat ini belum bisa membaca sejarahnya secara baik, belum bisa memaafkan, dan belum bisa meminta maaf.


Entahlah

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »