source: wikipedia. |
Tak rela sang Imam ditawan sendirian, Imam
Paham salah satu muridnya meminta izin untuk diperbolehkan mendampingi
pemimpinnya. Sejak saat itu, Kiai muda berkharisma bersama muridnya itu tidak
pernah pulang lagi ke pesantren. Hilang misterius.
Begitu pula anggota dari keluarga lain yang
menjadi korban keganasan Laskar Merah. Konon, para korban ini disiksa dan akhirnya
dimasukkan dan ditimbun di dalam sumur-sumur tua.
Belakangan, para anggota Laskar Merah tak kalah
menderitanya. Perlakuan yang mereka terima sama-sama kejamnya. Disuruhnya
mereka menggali lubang kuburan dengan tangannya sendiri, lalu ditimbun setelah
sebelumnya ditikam bayonet oleh tentara.
Korban dan pelaku mengalami kengerian yang
sama. Derita yang sama. Jadi, penderitaan yang diterima setara, meskipun tidak
sama persis.
Jadi, “waktunya kita berhenti merawat luka” seru Ustaz
Hamim, tokoh yang diangkat dalam cerita oleh Khrisna berpesan. Seruan yang
tidak hanya relevan bagi para korban-korban kejahatan keji, tetapi juga
kekhilafan-kekhilafan kecil yang mungkin dilakukan oleh orang-orang terdekat saya,
Anda, atau kita semua.
Waktunya bagi kita untuk berhenti meratapi
segala kesedihan dan merekonstruksi ulang jalannya sejarah, seberapa pun
perihnya. Kegetiran dan luka menganga yang tak kunjung kering itu tidak perlu
kita tutupi. Perlulah kita buka sejenak agar dia bisa mengering. Bolehlah kita
lihat apakah luka itu terkena infeksi.
Dengan tahu kondisi luka dan apa penyebabnya,
siapa tahu luka akibat salah satu tragedi terkelam di sepanjang sejarah
republik ini bisa sembuh. Demikian juga dengan luka di jiwa kita. Dan dengan
begitu kita bisa mulai belajar memetik hikmah. Memetik pelajaran.
Betapa banyak korban salah tangkap, korban
salah buang, dan korban salah bunuh akibat pembelokan sejarah yang
dibesar-besarkan orde baru itu. Betapa banyak orang yang tidak bisa pulang lagi
ke negaranya, ke rumahnya, serta ke keluarganya akibat pelarangan yang
dilakukan secara sistematis. Dan mereka divonis tanpa proses pengadilan, dan
tanpa pembelaan.
Berapa perih luka yang juga dialami oleh
anak-anak pelaku. Orang tua mereka sudah mendapatkan balasannya. Para pelaku
dihukum sama beratnya. Mereka juga diperlakukan tidak adil. KTP berbeda, tidak
mendapatkan hak sebagaimana warga negara biasanya, dikucilkan, didiskriminasi,
dan di-bully habis-habisan.
Perlu diakui memang, sejarah bagi kita bangsa
Indonesia selalu menghadirkan luka. Sebab itu, kita tidak pernah berani
menghadapinya. Kita hidup dilingkupi rasa takut. Rasa takut untuk menghadapi
ketakutan dan kecemasan kita sendiri.
Apakah dengan memaafkan dan meminta maaf atas
tragedi memilukan itu menjadikan kita komunis? Tidak sama sekali. Memaafkan
penjahat tidak menjadikan kita penjahat. Meminta maaf kepada penjahat karena
kita lalai tidak memberikan sedekah bisa jadi malah membuat penjahat tersebut
insyaf. Memaafkan dan meminta maaf menjadikan kita bangsa yang besar, serta
bebas dari jerat dan beban masa lalu, sehingga kita bisa maju dengan mantap.
Saatnya kita tidak lagi membiasakan
“melupakan” masa lalu. Memang, cara paling mudah menghilangkan keperihan adalah
melupakan. Tetapi melupakan tidak menyembuhkan. Tindakan itu tidak
menghilangkan jejak-jejak yang terukir abadi di lubuk tidak sadar (inconscious)
dan sub-sadar (sub-conscious) kita.
Jadi, waktunya bagi generasi ini tidak lagi
menjadi generasi perawat luka. Waktunya kita membuka mata dan menyingkap hati
untuk melihat kembali segalanya secara utuh. Adegan sepotong-potong hanya
membuat kita berprasangka dan berpraduga, tanpa pernah mencari tahu di mana
letak kesalahan sebenarnya.
Boleh jadi, kita tidak akan memaafkan. Luka
kita tambah perih dan sakitnya menjadi-jadi. Tak apa. Yang penting kita tahu
seutuhnya, agar sejarah bukan lagi menjadi luka dan penjerat langkah kita
menuju masa depan.
Atau mungkin siapa tahu kita akan berubah
pikiran. Segala hal berubah, demikian juga kita. Bila mereka hidup di zaman
kita, saya yakin segalanya berbeda. Kemiskinan dan kebodohan sering mendorong
orang melakukan sesuatu di luar nalar. Kita juga tidak tahu konteks dan
pendalaman masyarakat saat itu seperti apa.
Dan mungkin setelah itu semua kita akan
memaklumi, menerima, dan merangkul mereka sebagai bagian dari sejarah perjalanan
bangsa ini. Bangsa besar selalu berisi orang-orang berjiwa besar. Memaafkan dan
meminta maaf bukan tanda kekerdilan jiwa, tetapi kebesarannya. Bukankah ajaran
agama-agama juga mengajarkan permaafan ini?
Masihkah kita saat ini mau menjadi generasi
perawat luka? Generasi yang hingga saat ini belum bisa membaca sejarahnya
secara baik, belum bisa memaafkan, dan belum bisa meminta maaf.
Entahlah