Jangan Kau Terus Pertahankan Lukamu

Source: ridhaintifadha.wordpress.com
Tergeragap di malam itu meyakinkanku. Baris-baris percakapan itu harus aku kunjungi lagi. Ya, serupa mengunjungi masa lalu. Harus aku baca lagi secara menyeluruh. Kerapuhan-kerapuhan yang menjadi bingkai tipis yang membungkus hati biarlah aku buka pada segala kemungkinan.

Hidup sudah mengajarkan: Keberanian adalah pintu gerbang menuju setiap kemungkinan. Sebagaimana halnya hari kemarin, kemungkinan paling buruklah yang paling menakutkan. Namun, bila kita berani menghadapinya, kita tidak akan bisa membuka mata, hati, dan diri pada kemungkinan paling baik: Penyembuhan dan kesembuhan diri.


Sakit hatiku, sakit hatimu, dan sakit hati kita semua mungkin diawali dari barisan keterkejutan, kekhawatiran, lantas menggelembung menjadi ketakutan. Ketakutan yang terus dipelihara itu lantas merasuk ke dalam alam sub-sadar, lantas menyatu bersama aliran darah. Bersemayam tenang di sana, dan lantas menjadi luka. Dan seperti halnya makhluk jahat yang terus hidup di hati, dia terus menghadirkan ketakutan-ketakutan, yang bergentayangan di sudut-sudut malam yang sepi.

Maka, kuyakinkan hati untuk kali ini berani mengunjungi luka itu. Mungkin benar seperti yang dikatakannya dalam mimpi pencerah itu, bisa jadi kali ini luka itu akan tambah menganga. Separuh saja sudah mengambrukkanku. Apalagi seluruhnya.

Tapi ya hidup adalah tentang mengambil risiko-risiko untuk meraih kemungkinan lainnya, agar hidup terus berjalan di lintasan-lintasan yang semestinya. Maka, dengan pertimbangan-pertimbangan itu, kuucap selamat datang keberanian, dan selamat tinggal ketakutan.

Bismillah, ucapku di dalam hati.

Kubaca baris-baris pertama. Trauma itu muncul lagi. Diseretnya aku ke kejadian tiga tahun lalu. Terbayang sejenak seseorang yang menangis. Badannya kurus. Kurus sekali. Dihembus angin timur barang lima menit, aku yakin dia pasti ambruk. Dia membelakangiku, yang melihatnya dari belakang. Mungkin benar kata seorang teman: Air mata bisa membasuh luka, meski tak bisa menyembuhkannya. Mungkin itu juga yang ada di pikirannya.

Kuenyahkan bayangan itu. Baris demi baris kupaksa baca perlahan lagi. Hatiku semakin teriris. Robek pelan. Dan kutahu tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati saudaramu sendiri.

Dia menunduk, dan hatiku pun ikut kelu.

Ah, dia terdiam sejenak, seperti berhenti di tengah. Sepertinya dia tak kuat membaca semuanya. Dia lalu menangis tersedu-sedan.

Kubiarkan tangis itu, dan terus kubaca, sebaris demi sebaris. Tangisnya kian pecah. Mengisi ruang tengah sebuah rumah. Kesedihannya membuncah hingga penuh sesak rasanya. Kupaksakan untuk terus membaca. Menetralkan hati, menguatkan diri.

Sejenak setelah selesai kubaca, dia lalu menoleh. Kulihat dia terdiam. Wajahnya seperti aku dulu. Kurus dan rapuh. Tangisnya mengubah duniaku menjadi gelap gulita. Pendar-pendar cahaya perlahan menghilang, dan kegelapan menguasaiku.

Tak tahu kapan aku kemudian tersadar. Yang kutahu hanya hatiku terisi kelegaan. Mungkin. Aku sudah menerima semuanya. Memaafkan orang yang sudah membuatku terluka tiga tahun lalu itu. Aku yakin dia juga merasakan luka, dan merasakan derita. Karma pasti akan dia terima, dan dia pasti mendapatkan balasan setimpal.

Dan kusadar, tak lagi boleh kuterus menerus mempertahankan luka itu. Waktunya kubiarkan luka itu mengering dihapus waktu, meskipun ya perlahan.


Terkesiap lagi bayangan itu. Dia tersenyum, dan berujar “Karena hidup harus diteruskan, dan luka tak perlu terus menerus dipertahankan” dan dia pun menghilang menjadi gelembung putih, lalu menuju, dan menyatu bersama diriku.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »