![]() |
Source: http://conq.me/ |
Kurang afdhol
rasanya membahas makna dan arti suatu kata, tanpa terlebih dahulu mengutip
KBBI. Nah, menurut KBBI sendiri “nyinyir” masuk dalam rumpun adjektiva atau
kata sifat, yang artinya: mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh;
cerewet.
Jadi, kalau sudut pandang kita hanya dari
KBBI, ya kita salah memilih kata. Kalau panduan kita hanya KBBI, kita ternyata
salah memilih kata nyinyir itu. Titik.
Lalu apa kata yang pas?
Beberapa orang menyarankan “sindir”. Menurut
KBBI lagi, sindir sebagai kata kerja atau verba memiliki makna “mengkritik
(mencela, mengejek, dan sebagainya) seseorang secara tidak langsung atau tidak
terus terang.” Ini lebih pas nih. Ketika asap makin pekat dan merunyamkan tata
hidup masyarakat Kalimantan, Sumatra, dan kini Papua, banyak orang mencela
Presiden, tetapi tidak ditujukan langsung. Arahnya lebih kepada para
pendukungnya.
Tetapi kata ini sedikit kurang pas. “Sindir”
lebih merupakan tindakan, yang disadari oleh si pelaku. Dia sudah diniatkan.
Sementara nyinyir, ah ini sepertinya lebih ke gaya dan sikap hidup, ya sikap
hidup nyinyir. Jadi, dia tidak hanya berupa tindakan (menyindir), tetapi bisa
berupa aktivitas “share artikel dan komentar” serta “menyukai” halaman si
empunya sikap nyinyir. Nah, lho.
Ada yang menyarankan cibir. Cibir menurut KBBI
(hah KBBI lagi??? Lha gimana lagi, punya cuman itu) adalah 1. menganjurkan
bibir bawah ke depan; mencebikkan; 2 mencemooh; mengejekkan; menistakan. Kalau
arti pertama dan kedua disatukan, cibir berarti ya mencemooh sambil
memonyongkan bibir. Lumayan tepat.
Kata ini memadukan aktivitas keluarnya suara
(cemooh) dan sikap diri (monyong tadi). Lebih pas kan? Tindakan (mencemooh)
bersatu dengan sikap (memonyongkan bibir bawah ke depan).
Tetapi setelah dipikir-pikir kurang pas lagi.
Kalo seseorang update status di FB atau Twitter, mana kita tahu dia monyong
atau nggak. Kita nggak pernah tahu apakah si peng-update meniru pose dan
derajat kemiringan bibir Feni Rose saat membawa acara Silat (Eh Silet dulu itu
ya).
Masih kurang pas jadinya. Apa ya yang lebih
pas?
Saya pribadi, sebagai pemuda Indonesia yang
berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia, lebih suka tetap memilih “nyinyir”
tetapi maknanya diluaskan. Perluasan makna bukan lagi fenomena ganjil. Kata
“Bapak” misalnya. Dari awalnya bermakna “orang tua laki-laki; ayah”, kini
beralih dan meluas menjadi panggilan kepada orang yang lebih tua, dan kepada
tokoh yang menjadi pelindung. Dan bahkan kini menjadi bahan ejekan guna menyudutkan
laki-laki muda usia tetapi wajahnya lebih dewasa daripada aslinya.
Jadi dalam pada itu, “nyinyir” bisa kita
sepakati definisinya sebagai “sikap atau tindakan NYINdir serta mencibir dengan
nada sumir dan bau anYIR.”
Apa perlu kita bikin petisi untuk memasukkan kata
“nyinyir” sebagai salah satu lema di KBBI? Atau dibuatkan hari, semacam Hari
Nyinyir Nasional? Hehe siapa tahu sudah mendesak.
*Sumbangan
kecil seorang penyinyir bagi sesamanya.