Signifikansi Definisi Nyinyir, Perlunya Apa?

Screenshot dari situs jonru.com
Pertarungan Pilpres setahun lalu menyisakan kegetiran yang masih belum tuntas. Cercaan, hinaan, komentar pedas, dan sindiran tajam berseliweran tanpa henti, baik di dunia nyata apalagi di dunia maya. Mungkin lebih dahsyat dari terpaan gelombang Laut Selatan (seakan-akan saya sudah pernah ke sana).

Parahnya, kedua belah pihak seakan makin tajam-tajamnya mengasah kelihaian mengolah kata. Pendukung presiden terpilih, yang sering disebut Jokowers, mencerca balik para haters dengan sindiran yang memang tak setajam silet tetapi mungkin setara belati. Tidak tajam betul, tetapi menyanyat dan tahan lama.


Dan para penolak presiden, yang dikomandani Jonru di media sosial, tidak kurang pedasnya. Apa pun objeknya, Pak Jokowi sasaran empuknya. Bukan hanya karena asap dari kebakaran hutan yang semakin hari tak menunjukkan tanda padam di bumi nusantara, tetapi bahkan crane jatuh pun dikait-kaitkan dengan presiden. Itu pun jatuhnya di areal Masjidil Haram. Beribu kilometer di timur tengah sana.

Semua salah Jokowi, begitu salah satu status die-hard Pak Jokowi, menyindir balik para haters. Belakangan, para penyokong ini memberi julukan baru pada haters: kaum nyinyir. Dan para pendukung memberi titah “plonga-plongo mana lagi yang kaudustakan” sambil menyebutkan data keberhasilan Jokowi.

Si penolak Pak Jokowi tidak kalah sengitnya. Kalian juga sama nyinyirnya. Salah pilih kok nggak insyaf-insyaf, kata mereka. Pembawa sial. Sesekalinya mengadakan acara resepsi, penarik becak meninggal, bukankah ini pertanda...., begitu teorinya. Kalian bilang kami nyinyir, padahal yang nyinyirin kami tuh kalian.

Tapi kalian yang mulai duluan, kata si pendukung. Berarti yang nyinyir itu kalian, lanjutnya.

Tetapi anehnya saling berbalas “nyinyir” itu tidak berlangsung secara dialogis. Arena pertarungannya ya di wall atau TL masing-masing orang. Kasarnya, si hater berbicara di dinding tembok Facebook-nya sendiri, dengan dirinya sendiri, komunitasnya sendiri, ya semacam pertunjukan monolog begitu, dan demikian juga si Jokower.

Dan begitulah awal dan akhir perdebatan antara dua orang pecinta gila, yang satu berubah menjadi pecinta buta, yang terus-terusan memuja-muji pujaannya dan satunya lagi menjadi pembenci kesumat karena pujaannya gagal naik tahta. Kesimpulannya: Keduanya nyinyir. Siapa pemenangnya? Twitter dan Facebook. Dengan giatnya aktivitas perpostingan di wall-wall masing-masing kedua belah pihak ini, pendapatan iklan pun naik. Bukankah keduanya dimiliki orang asing dan aseng, yang konon beragama .... Ah, sudahlah nanti saya jadi SARA.

Lalu mengapa mereka tidak tuntas-tuntas berdebatnya? Masalahnya di mana? Masalahnya, kita semua belum sepakat: nyinyir itu sebenarnya makhluk macam apa? Apabila dia kata, maknanya apa? Siapa yang membuatnya? Asbabun nuzulnya seperti apa?

Penting bagimu membahasnya Mas? tanya salah satu teman kantor. Penting, sebab seiring meningkatnya frekuensi penggunaan kata nyinyir, kata nyinyir pun mampir di dunia nyata, ya dunia kami: dunia makan siang bersama di kantor.

Ketika misalnya, saya bertanya mengapa salah seorang teman rajin sekali berbagi berbagai halaman yang tak terkait satu dengan lainnya, mulai Harry Potter, Taylor Swift, Masterchef Australia hingga cara membuat kue kacang, teman-teman menoleh, dan menjuluki saya si tukang “Nyinyir”. Bahkan teman-teman yang pada akhirnya ikut-ikutan nyinyir itu berencana membuat grup “Nyinyirers”.

Nah, sebagai calon tunggal ketua (cie cie) grup tersebut, saya menyatakan ketidaksetujuan. Sebab, belum ada konvensi dasar tentang apa yang dimaksud nyinyir, asal-usul kata tersebut, tingkat keberterimaan kata tersebut di masyarakat, dan lain-lain sebagainya. Aduh kok jadi beribet begini.

Bisa-bisa kami terjebak dalam kekeliruan masa kini. Para politisi berdebat tentang korupsi secara berapi-api, tetapi setelah ditanya apa yang dimaksud korupsi menurut undang-undang KPK yang bersifat lex specialis derogat legi generalis, mereka tidak tahu (macam saya tahu saja lagaknya).

Atau mungkin saja kita terjebak pada kekhilafan masa lalu. Sampai sekarang bahkan penerjemah macam saya pun masih bingung: siapa sebenarnya pencetus bahasa Indonesia? Apakah Raden Minke atau Raden Tirto Adhi Soerjo sebagaimana dikisahkan secara apik oleh Mbah Pramoedya? Ataukah SDI atau SI? Ataukah Budi Utomo? Atau ujug-ujung diakui sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda tanpa upaya rintisan sebelumnya? Jadi, bahasa Indonesia itu sebenarnya apa?

Jadi, nyinyir itu apa? Mengingat sudah berbusa-busa penjelasan di atas, lebih eloknya definisi lengkapnya saya bahas di tulisan edisi berikutnya, hehe...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »