![]() |
Source: |
Sore itu
berbondong-bondong para undangan menuju acara walimatul
arsy. Kami berkelompok-kelompok kecil, lalu menuju sebuah tenda biru, yang
didirikan dengan pipa-pipa yang sambungan lasnya kurang mulus. Warna keemasan
akibat karat terlihat jelas.
Sebelum
mengambil tempat di alas
terpal yang dihamparkan di atas tanah, kami bersalaman dengan sekompi penerima
tamu. Tuan rumah menjadi salah satu di antaranya.
Usiaku
saat itu masih sekira 15 tahunan. Ayah tidak bisa datang, sehingga mengutusku.
Mungkin ayah hendak mengajariku bersosialisasi. Berdamai dengan keramaian. Atau
memang ayah harus ke sawah, memeriksa air seperti yang biasanya dia lakukan.
Di antara
semua kebetulan yang mestinya tidak diharapkan oleh pemuda sepertiku, duduk di
sebelahku seorang peranakan Arab. Dia bersarung hijau. Usianya kira-kira 40
tahunan. Kurang lebihnya paling dua tahunan.
Gampang
mengenali seorang peranakan Arab di tempatku. Hidungnya lebih mancung. Mungkin
karena dalam sebagian besar kasus orang Arab menikah dengan Arab,
kemancungannya terjaga. Dan tradisi itu membuat kemancungan itu tidak tersebar
ke kalangan orang-orang Jawa, Madura, asli sepertiku.
Aku diam
di sepanjang acara walimatul
arsy itu. Tak tahu hendak berbicara apa. Konon
orang Arab di tempatku kebanyakan keturunan Rasul, sehingga menimbulkan wibawa
dan kecemasan tersendiri berbicara dengan mereka.
Untungnya Yek, begitu kami memanggil mereka, juga tak
banyak bicara. Bingung juga mungkin bersebelahan dengan anak kecil, dengan
pengalaman hidup secuil dan pengetahuan tak kalah sedikitnya. Apa yang hendak
dibicarakan dengan anak kecil kecuali basa-basi, anaknya siapa, dan sekolahnya
di mana.
Sebuah
keberuntungan yang tersimpan di balik keluguan tentu.
Seiring
tuntasnya acara walimah, tibalah pada acara yang paling ditunggu. Makan-makan,
begitu sederhananya. Inilah waktu ketika iring-iringan piring berjejer rapi
dari tangan ke tangan hingga menuju ujung akhir.
“Itu
habiskan semuanya lho ya” katanya memecah kebuntuan. Kulihat wajahnya yang
serius sambil melirik piringku yang masih berisi sebagian nasi, lauk, dan
kerupuk udang.
“Iya”
“Di
bulir-bulir terakhir itu biasanya terdapat berkah. Dan biasanya bulir-bulir
nasi yang terakhir itu yang mendoakan kita tiada henti, agar Allah memberikan
kita rezeki tanpa henti.”
“Oh
begitu”.
“Selain
itu, kalau nggak dihabiskan, kamu sudah mengecewakan pencuci piring. Dia pasti
ngeluh dan bertanya-tanya siapa yang tega-teganya tidak menghabiskan makanan
itu. Kamu juga menghapus kebahagiaan orang yang sudah susah-susah memasak.
Bayangkan jam berapa mereka mulai memasak.” ujarnya panjang lebar. Aku heran
sebenarnya bagaimana dia tahu tentang apa yang dibicarakan orang-orang di
dapur. Tapi sebagai anak desa yang dididik secara tidak tertulis bahwa orang
Arab di desaku merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad saw, apa yang
mereka katakan setara kebenaran itu sendiri. Tak ada bantahan.
“Jadi”
sambungnya, kali ini dengan senyum yang tertutup kumis tebal yang sampai
menutupi bibir “kalau kamu ingin kaya dan banyak rezeki, kamu harus
menghabiskan nasi itu. Sisa-sisa itulah yang akan mendoakanmu”.
Aku
bernapas panjang sejenak, lalu mengambil sendok yang sebelumnya sudah aku
letakkan. Terpaksa sebenarnya. Perut rasanya sudah hampir meledak. Tapi aku tak
hendak dikutuk oleh tukang cuci piring, tukang masak, dan penghidang yang sudah
susah-susah menangani semua tugas. Terbayang di otakku bahwa saat itu mereka
semua tersenyum bahagia. Di antara tumpukan piring, ada satu piring yang bersih
tak bersisa.
Dan aku
terbebas dari kutukan bulir-bulir nasi yang aku telantarkan, itu pula yang juga
penting.
Kebiasaan
itu membekas hingga saat ini. Apa pun yang kumakan harus dihabiskan, seberapa
pun susahnya. Seberapa pun perut sudah menolaknya. Itulah pentingnya mengukur
dari awal seberapa banyak nasi yang boleh aku ambil agar dia habis tanpa sisa.
Yang kumulai harus kutuntaskan. Sebab, sisa-sisa itu bisa saja mengutukku,
membatalkan anugerah berikutnya yang sudah lama mengantre.
Kupetik
pelajaran penting dari ceramah singkat si Yek itu. Anugerah sebagaimana halnya
amanah harus dituntaskan, harus diselesaikan, meskipun penuh keterpaksaan pada
awalnya. Tujuannya ya agar antrean anugerah itu berjalan. Berputar. Dan roda
takdir berputar sesuai semestinya. Tidak kita ganjal, dengan ketidaktuntasan
dalam menyelesaikan anugerah atau amanah.
“Aku kok
selalu gagal move on ya” ucap salah satu teman pada suatu
waktu “Tetap saja aku tak bisa berhenti menyayangi dan mencintainya. Tetap saja
aku mengintip pelan-pelan foto-fotonya di Facebook dan Instagram, seberapa
besar pun aku sudah mencoba untuk tidak melakukannya.”
“Rezekiku
kok nggak lancar seperti orang lain ya” keluh teman yang lain. “Gajiku seakan
tidak pernah cukup. Dan kebutuhan terus mengejar. Seperti bayangan mantan
saja.”
Ingin aku
sampaikan jawaban sederhananya, tetapi aku tak hendak menggurui. “Mungkin ada
bulir-bulir nasi yang tidak kau habiskan, kawan. Agar bulir-bulir nasi
mendoakanmu, ya habiskan.”