Agar Bulir-bulir Nasi Mendoakanmu


Source: kulitkupat.blogspot.com
Sore itu berbondong-bondong para undangan menuju acara walimatul arsy. Kami berkelompok-kelompok kecil, lalu menuju sebuah tenda biru, yang didirikan dengan pipa-pipa yang sambungan lasnya kurang mulus. Warna keemasan akibat karat terlihat jelas.

Sebelum mengambil tempat  di alas terpal yang dihamparkan di atas tanah, kami bersalaman dengan sekompi penerima tamu. Tuan rumah menjadi salah satu di antaranya.

Usiaku saat itu masih sekira 15 tahunan. Ayah tidak bisa datang, sehingga mengutusku. Mungkin ayah hendak mengajariku bersosialisasi. Berdamai dengan keramaian. Atau memang ayah harus ke sawah, memeriksa air seperti yang biasanya dia lakukan.

Di antara semua kebetulan yang mestinya tidak diharapkan oleh pemuda sepertiku, duduk di sebelahku seorang peranakan Arab. Dia bersarung hijau. Usianya kira-kira 40 tahunan. Kurang lebihnya paling dua tahunan.

Gampang mengenali seorang peranakan Arab di tempatku. Hidungnya lebih mancung. Mungkin karena dalam sebagian besar kasus orang Arab menikah dengan Arab, kemancungannya terjaga. Dan tradisi itu membuat kemancungan itu tidak tersebar ke kalangan orang-orang Jawa, Madura, asli sepertiku.

Aku diam di sepanjang acara walimatul arsy itu. Tak tahu hendak berbicara apa. Konon orang Arab di tempatku kebanyakan keturunan Rasul, sehingga menimbulkan wibawa dan kecemasan tersendiri berbicara dengan mereka.

Untungnya Yek, begitu kami memanggil mereka, juga tak banyak bicara. Bingung juga mungkin bersebelahan dengan anak kecil, dengan pengalaman hidup secuil dan pengetahuan tak kalah sedikitnya. Apa yang hendak dibicarakan dengan anak kecil kecuali basa-basi, anaknya siapa, dan sekolahnya di mana.

Sebuah keberuntungan yang tersimpan di balik keluguan tentu.

Seiring tuntasnya acara walimah, tibalah pada acara yang paling ditunggu. Makan-makan, begitu sederhananya. Inilah waktu ketika iring-iringan piring berjejer rapi dari tangan ke tangan hingga menuju ujung akhir.

“Itu habiskan semuanya lho ya” katanya memecah kebuntuan. Kulihat wajahnya yang serius sambil melirik piringku yang masih berisi sebagian nasi, lauk, dan kerupuk udang.

“Iya”

“Di bulir-bulir terakhir itu biasanya terdapat berkah. Dan biasanya bulir-bulir nasi yang terakhir itu yang mendoakan kita tiada henti, agar Allah memberikan kita rezeki tanpa henti.”

“Oh begitu”.

“Selain itu, kalau nggak dihabiskan, kamu sudah mengecewakan pencuci piring. Dia pasti ngeluh dan bertanya-tanya siapa yang tega-teganya tidak menghabiskan makanan itu. Kamu juga menghapus kebahagiaan orang yang sudah susah-susah memasak. Bayangkan jam berapa mereka mulai memasak.” ujarnya panjang lebar. Aku heran sebenarnya bagaimana dia tahu tentang apa yang dibicarakan orang-orang di dapur. Tapi sebagai anak desa yang dididik secara tidak tertulis bahwa orang Arab di desaku merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad saw, apa yang mereka katakan setara kebenaran itu sendiri. Tak ada bantahan.

 “Jadi” sambungnya, kali ini dengan senyum yang tertutup kumis tebal yang sampai menutupi bibir “kalau kamu ingin kaya dan banyak rezeki, kamu harus menghabiskan nasi itu. Sisa-sisa itulah yang akan mendoakanmu”.

Aku bernapas panjang sejenak, lalu mengambil sendok yang sebelumnya sudah aku letakkan. Terpaksa sebenarnya. Perut rasanya sudah hampir meledak. Tapi aku tak hendak dikutuk oleh tukang cuci piring, tukang masak, dan penghidang yang sudah susah-susah menangani semua tugas. Terbayang di otakku bahwa saat itu mereka semua tersenyum bahagia. Di antara tumpukan piring, ada satu piring yang bersih tak bersisa.

Dan aku terbebas dari kutukan bulir-bulir nasi yang aku telantarkan, itu pula yang juga penting.

Kebiasaan itu membekas hingga saat ini. Apa pun yang kumakan harus dihabiskan, seberapa pun susahnya. Seberapa pun perut sudah menolaknya. Itulah pentingnya mengukur dari awal seberapa banyak nasi yang boleh aku ambil agar dia habis tanpa sisa. Yang kumulai harus kutuntaskan. Sebab, sisa-sisa itu bisa saja mengutukku, membatalkan anugerah berikutnya yang sudah lama mengantre.

Kupetik pelajaran penting dari ceramah singkat si Yek itu. Anugerah sebagaimana halnya amanah harus dituntaskan, harus diselesaikan, meskipun penuh keterpaksaan pada awalnya. Tujuannya ya agar antrean anugerah itu berjalan. Berputar. Dan roda takdir berputar sesuai semestinya. Tidak kita ganjal, dengan ketidaktuntasan dalam menyelesaikan anugerah atau amanah.

“Aku kok selalu gagal move on ya” ucap salah satu teman pada suatu waktu “Tetap saja aku tak bisa berhenti menyayangi dan mencintainya. Tetap saja aku mengintip pelan-pelan foto-fotonya di Facebook dan Instagram, seberapa besar pun aku sudah mencoba untuk tidak melakukannya.”

“Rezekiku kok nggak lancar seperti orang lain ya” keluh teman yang lain. “Gajiku seakan tidak pernah cukup. Dan kebutuhan terus mengejar. Seperti bayangan mantan saja.”

Ingin aku sampaikan jawaban sederhananya, tetapi aku tak hendak menggurui. “Mungkin ada bulir-bulir nasi yang tidak kau habiskan, kawan. Agar bulir-bulir nasi mendoakanmu, ya habiskan.”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »