![]() |
Source: http://bit.ly/1PcqJEJ |
Sirat matanya tajam. Dia tak pernah sebersungguh-sungguh
ini, seingatku. Selama puluhan tahun aku mengenalnya, kupaham satu hal. Dia
berusaha keras untuk berdamai dengan masa lalu itu, yang menurutnya mengganggu
tidurnya setiap malam.
“Kau takkan takut menghadapi lukamu sendiri?” tanyaku.
Dia masih diam. Susah berbicara dengan orang yang terlalu serius memandang
hidup.
Dua tahun lalu, dia menangis tersedu-sedan.
Dia bercerita bahwa dia membaca cuplikan percakapan yang tersodor tepat di depan
matanya. Remuk redam badan yang seakan menghancurkan tubuh itu tak
diindahkannya. Seluruh perhatiannya tersedot oleh barisan percakapan itu.
Hatiku robek perlahan dan semakin lama,
semakin lebar saja, ucapnya. Air mata seakan tertahan kuat di pelupuk matanya.
Hendak ambrol rasanya. Dia mencoba bertahan saat itu. Dia bercerita, barisan
percakapan itu tak kuasa diselesaikannya. Baris-baris pertama saja, kontrol dan
kekuatan batinku tertembus. Apabila kupaksakan, aku takut akan ambruk, kisahnya.
“Aku akan mencoba lagi saat ini. Harus kuat
dan kokoh saat ini. Kebenaran itu harus kuketahui seutuhnya. Selengkapnya. Merekonstruksi
ulang semuanya. Dari awal. Toh akan ada hikmah di balik ini semua, seperti yang
sering kau ucapkan”
“Hanya kamu yang bisa menakar kekuatanmu
sendiri kan? Hanya kamu yang bisa menunjang kerapuhan itu, kalau-kalau kamu
rubuh” ucapku mengajaknya bercanda.
Dia menunduk. Matanya nanar. Bahkan sampai
titik ini luka itu masih kulihat belum kering benar. Dan dia ingin
mengunjunginya lagi? Hanya dia yang tahu manfaatnya. Juga bahayanya.
Mungkin seandainya dia dulu membaca
keseluruhan percakapan, dia tidak akan seterluka ini. Kadang mengetahui separuh
lebih sakit daripada mengetahui seluruhnya. Sebab, separuh sering kali tidak
menghadirkan diri secara utuh. Dan gambaran yang tidak utuh sering kali
menimbulkan prasangka dan praduga. Dan gambaran keduanya kadang lebih kejam
daripada kejadian aslinya.
Atau mungkin seandainya dia tahu keseluruhan,
lukanya akan lebih menganga. Lebih sulit untuk disembuhkan. Separuh saja sudah
mengambrukkan dirinya. Menghadirkan mimpi-mimpi menakutkan selama
bermalam-malam, begitu ujarnya. Tidurnya selalu diliputi kecemasan-kecemasan
yang seakan tanpa ujung. Dan mungkin ketakutan dan kecemasan itu berbentuk
lorong panjang. Semakin jauh kita berjalan mengikutinya, semakin dalam kita
terjebak. Dia mungkin saja mengalami itu.
“Doanya ya” ujarnya perlahan.
“Aku tidak pernah selesai mendoakanmu kawan.
Keselamatanmu. Kesehatanmu” jawabku. Ia hanya perlu dikuatkan, hanya perlu
dikonfirmasi. Seingatku, tindakan-tindakannya sudah berlandaskan pemikiran
mendalam. Bahkan untuk sekedar urusan melupakan, dia belajar tentang mekanisme
pertahanan diri.
“Kapan kau hendak melakukannya?” ujarku
memecah kebekuan.
Dia terdiam. Tampaknya dia berpikir. Dia
mungkin menguat-nguatkan jiwanya. Membangun kekuatan mentalnya.
“Nanti malam” ucapnya pelan.
“Hati-hati kawan. Aku tahu kau akan mampu. Toh
engkau pernah menemani seseorang menengok masa lalunya. Kadang lebih menakutkan
memang melihat masa lalumu sendiri. Tapi aku tahu engkau akan mampu.”
Dia tersenyum. Agak ragu, kulihat itu di raut
mukanya. Aku cemas sebenarnya apakah dia akan mampu menaklukkan dirinya. Tapi
tak ada yang bisa menjustifikasi kecemasanku. Dan untuk kesekian kalinya, aku
hanya bisa mendoakannya.
Kami berdua kemudian terjebak dalam kesunyian.
Kesunyian yang sama seperti tiga tahun lalu, saat dia menangis hebat, dan
ambruk semua kesadarannya. Kesunyian itu menyiksaku, menyiksanya.
Kesunyian ini membawaku pada kejadian tiga
tahun lalu itu. Tiba-tiba ada rasa sesak yang menusuk-nusuk kalbuku. Melihatnya
ambruk tak pernah menyenangkan. Anehnya, aku seakan merasakan apa yang
dirasakannya. Hatiku berubah kelu. Degup jantung menderu.
Tiba-tiba bayangannya mengabur. Hendak aku
kejar. Aku tak bisa membiarkannya sendiri saat ini. Dia selalu ada saat aku
membutuhkannya dulu. Dan sekarang bayangannya kian pudar.
Aku tergeragap. Keringat mengucur pelan dari
dahi. Perlahan kutata napas, dan kurenggut kesadaran itu kembali. Apa aku baru
saja berbicara dengan alterku sendiri?
Entahlah?