Kala Generasi Sapu Tangan Berganti Generasi Tisu

Source: iqmaltahir.files.wordpress.com
Masih kuingat wajahnya yang berkeriput sebab menua. Juntaian rambut putih keluar sedikit dari kerudungnya yang tak tertutup sempurna. Tatapan matanya yang sayu selalu meneduhkanku. Senyumnya mengembang perlahan, tetapi menawan. Menyihirku hingga waktu yang lama.

Masih terekam jelas di benakku, saat dia mengeluarkan sapu tangan, lalu sejenak kemudian mengusap lembut ingus yang keluar dari hidung. Atau sesekali menyeka kotoran yang menempel di pelipis kanan.

Itulah nenekku, salah satu generasi pengguna sapu tangan terakhir yang masih kuingat. Mungkin semenjak generasinya menua, manusia Indonesia yang perlahan menuju generasi tisu tak lagi menjadikan sapu tangan sebagai bekal. Di saku-sakunya, tak lagi tersisip sapu tangan. Berganti dengan tisu-tisu, hape keluaran terbaru, headset, iPod, dan segenap peralatan canggih lain.


Padahal sapu tangan selalu menciptakan ceritanya sendiri. Romantikanya sendiri. Saat nenek mencucinya, menunggunya dengan sabar hingga mengering, melipatnya sempurna hingga rapi, lalu memasukkan ke dalam saku. Saat ingus atau kotoran menempel, sapu tangan itu lalu dikeluarkan pelan. Seusai acara makan, sapu tangan itu pun keluar. Ketika kotor, siklus mencuci pun kembali dimulai.

Bayangkan seberapa jauh jalan yang sudah ditempuh oleh sapu tangan bersama nenek yang perlahan menua itu. Sapu tangan itu selalu setia menemani, meskipun tujuan hidupnya ya hanya melengkapi. Dia tidak berkeinginan memiliki. Mungkin, sekadar mencintai saja. Tanpa tuntutan apa-apa.

Bayangkan bahagia hati si sapu tangan saat si pemilik, nenek saya itu, berkenan mencucinya, menunggunya kering, lalu melipatnya rapi, dan sejenak kemudian memasukkannya ke dalam saku baju. Dan kemudian, seperti yang selalu ditunggu oleh si sapu tangan itu, dia akan mendengarkan degup jantung pemiliknya sepanjang hari.

Sapu tangan mengajari saya tentang arti kesetiaan. Makna melengkapi dan mencintai tanpa harus menuntut macam-macam. Sapu tangan selamanya ditakdirkan jadi sapu tangan. Tetapi dia tidak sekali pakai. Dia digunakan, lalu dicuci, ditunggu hingga kering, dilipat rapi, lalu dimasukkan kembali. Memang tak masuk ke dalam hati dan jantung, tetapi toh dia mendengarkan degup jantung pemiliknya, nenek saya. Meskipun hanya begitu, dia sudah senang dan bersyukur.

Nenek saya dan sapu tangannya seakan ditakdirkan bersatu, setia meski tak banyak berkata. Sapu tangan hanya melengkapi hingga perlahan keduanya menua bersama. Lalu, bersama-sama merasakan kerapuhan-kerapuhan itu. Si sapu tangan sadar diri. Apabila dia sudah robek dan rapuh, dia mungkin dibuang. Tetapi dia sudah siap, dan sudah bersyukur pernah melengkapi dan mengisi hidup seseorang, yang dicintainya setulus hati.

Entah apa yang akan dikatakan tisu, yang setelah kita gunakan langsung kita campakkan ke tempat sampah. Apa dia mengutuk kita? Entahlah. Dia hanya tahu bila boleh memilih dia tidak ingin jadi tisu.

Untuk jadi tisu, dia awalnya pohon rindang. Setiap pagi dia menatap mentari pagi yang memberinya energi, lalu bersyukur pada Allah atas hidup, atas karbondioksida yang bisa dihirup, sehingga dia pun ikhlas menghasilkan oksigen yang bisa dihirup manusia. Ya, demi cintanya serta pengabdiannya.

Dia lalu ditebang, dipisahkan dari keluarga, dan teman-teman yang sudah sekian lama bersamanya. Dia dipisahkan dari rumput yang tak pernah berkeluh kesah, dari angin yang mengelus daunnya lembut setiap hari, dan dari burung-burung yang selalu menyanyikannya lagu merdu saat matahari beranjak dari peraduannya.

Dia lalu dipotong kecil-kecil, lalu diputar-putar dengan keras sekali di dalam pabrik pengolah. Setelah jadi tisu, hanya sekali kita menggunakannya, lalu kita buang. Entah bagaimana harus melukiskan betapa menderita hidup si tisu itu. Entah bagaimana. Sekali dipakai, lalu dibuang serta dicampakkan.

Demi nenek moyang, demi pohon, demi sapu tangan, mungkin baiknya kita mengurangi penggunaan tisu. Mari kita gunakan sapu tangan kembali, dan kita rajut kisah kesetiaan, rasa bersyukur, dan mencintai tanpa syarat. Ya, seperti nenek saya dan sapu tangannya.

Mungkin dengan begitu, para tuan tanah yang serakah tak akan banyak membuka lahan untuk menebang kayu. Tak akan banyak membakar hutan sehingga menimbulkan asap demi tanaman hutan industri yang melenyapkan keragaman hayati itu. Tak akan banyak kayu yang menyesal karena hanya menjadi tisu sekali pakai.

Kita harus lebih bertanggung jawab. Tisu tidak serta-merta lenyap setelah kita buang. Dia menjadi sampah, yang juga tidak begitu mudah diurai.

Ayo kita galakkan kembali penggunaan sapu tangan. Meskipun tak mampu melenyapkan asap di langit saudara-saudara kita, setidaknya kita tidak ikut-ikutan menjadi alasan lenyapnya hutan-hutan kita.


Ayo kita galakkan kembali, #generasisaputangan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »