Di antara berbagai dialog yang terdapat di dalam
al-Quran, salah satu yang terkenal adalah dialog antara para malaikat dengan
Allah Swt tentang penciptaan Nabi
Adam as. Dialog ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30 sampai 33.
Singkat cerita, sebelum menciptakan Nabi Adam
as dan menetapkannya khalifah-Nya di bumi, Allah Swt mengabarkan masalah yang
sangat penting ini kepada para malaikat. Dalam firman-Nya, Allah ingin
menciptakan makhluk sebagai wakil dan khalifah-Nya di bumi. Makhluk ini akan menguasai
segala sesuatu dan memiliki potensi berkembang dan menjadi khalifah Allah. Setelah
mendengar kabar ini, para malaikat berkata dengan intonasi penuh protes.
![]() |
sumber: pixabay.com |
“Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” (QS. 2: 30)
Ringkasnya, para malaikat seakan
bertanya-tanya “mengapa kedudukan ini diberikan kepada manusia yang sering
membuat kerusakan dan menumpahkan darah? Bukan kepada kami (kaum malaikat) yang
suci dan maksum?”
Allah lalu berfirman sebagai jawaban atas
“protes itu,” yang termaktub dalam surat Al Baqarah, surat 30 “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Jelaslah dua hal: pertama kita memang
cenderung melakukan kerusakan dan menumpahkan darah (sebagaimana diramalkan
malaikat), dan yang kedua kita juga ditakdirkan sebagai khalifah yang yang salah satu tugasnya menjaga
dan memelihara bumi.
Tugas kita menjaga dan
merawat, bukan menebang dan melenyapkan hutan. Memang,
dalam kapasitas dan kondisi sekarang, kita tidak secara langsung membabat dan membakar hutan demi
tanaman sawit dan hutan tanaman industri. Sebagian besar kita tidak dilahirkan
dalam keluarga konglomerasi, yang dengan gampang membabat hutan sebagaimana
membabat rumput taman di belakang rumah.
Tapi mungkin saja, saya dan sebagian besar
kita turut menjadi alasan lenyapnya hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi dan Papua. Sebagian besar kita menggunakan kayu untuk meubeler, minyak
goreng, solar, serta tisu.
Ayo sekarang kita bahas masalah yang terakhir ini, tisu.
Sebagaimana yang mungkin tidak pernah kita ketahui, bahan baku utama tisu adalah pulp atau bahasa
Indonesianya bubur kertas. Bubur kertas ini berasal dari kayu akasia atau eucalyptus. Asal kayu ini ya tentu saja
hasil penebangan dari hutan-hutan kita.
Untuk membuat 1 kotak tisu yang isinya 20 lembar,
diperlukan satu batang pohon. Konon
begitu. Satu batang pohon untuk satu kotak tisu yang
isinya hanya 20 lembar saja. Bayangkan berapa kotak tisu yang kita habiskan
dalam satu bulan?
Lalu apa kaitannya penggunaan tisu dengan
penyusutan hutan alam di Indonesia?
Koesnadi, yang menjabat sebagai Sekjen Sarekat
Hijau Indonesia (SHI ), memberikan
hitungan sederhana:
“Jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
setiap satu harinya 1 orang menggunakan ½ gulung kertas tisu, artinya
penggunaan kertas tisu bisa mencapai 100 juta gulung tisu per hari. Per bulannya,
pemakaian tisu di Indonesia mencapai 3 miliar gulung. Bila berat kertas tisu per
gulung mencapai ¼ kg, dihasilkan angka kira-kira 750.000.000 kg setara dengan
750.000 ton. Bila diperlukan 5 m3 kayu bulat untuk menghasilkan 1 ton pulp,
dengan asumsi kayu bulat 120 m3 per hektar (diameter 10 ke atas), maka sudah
bisa ditebak penggunaan hutan untuk urusan kebersihan mencapai ratusan ribu
hektar setiap bulannya”. (Sumber: dari sini)
Berapa fantastisnya tingkat kerusakan yang
hanya diakibatkan keinginan kita membersihkan diri selepas menunaikan hajat di
kamar mandi. Membersihkan
sisa-sisa makanan dan minuman, atau membersihkan make-up setelah berhias diri.
Entahlah apa
kita bisa menunaikan dan mengemban takdir kita sebagai khalifah yang salah satu deskripsi tugasnya adalah
menjaga alam semesta beserta isinya, sebagaimana digurat dalam garis
tangan dan terpatri di hati nurani kita? Atau kita hanya menjadi alasan
kerusakannya?
Belum telat bagi kita, bagi saya terutama.
Mungkin dengan sedikit mengurangi laju penggunaan tisu, lalu beralih ke sapu
tangan, kita sudah menggerakkan roda gigi kecil kelestarian alam.
Hanya dengan menggunakan sapu tangan, kita
bisa menjadi sang penjaga kelestarian
alam. Ayo kita galakkan kembali generasi sapu tangan.
“Ayo mas, katanya mau
beli sapu tangan. Kok belum beli-beli sih” sahut teman saya. Ternyata, saya
juga belum punya sapu tangan hingga sekarang. Ealah dalah…