![]() |
Sumber: http://bit.ly/1OglyAO |
Belajar Menjadi Kuli - Hal paling sulit di dunia mungkin bekerja dengan tulus
ikhlas tanpa pengharapan di sepanjang perjalanan. Acap kali, kita akan tulus di
awal, selangkah berlalu hati bisa jadi bergejolak. Berganti arah, memutar, atau
bahkan berbalik. Ketulusan dan keikhlasan berubah menjadi sebentuk perasaan
yang benar-benar lain.
Demikian juga saat bekerja sebagai profesional atau relawan. Di awal mungkin
kita tulus ikhlas. Sejenak berganti, ketulusan dan keikhlasan itu bisa terkikis.
Dan ketika terkikis muncullah penguasa baru, ketamakan serta harapan akan imbal
hasil yang lebih besar.
Itu juga yang terjadi pada salah satu teman. Pada
suatu waktu, salah satu teman itu keluar dari pekerjaannya yang semula. Dia
memutuskan mengundurkan diri. Jalan kami sudah berbeda, ucapnya. Dan sesuai
dengan sudah aku perkirakan, dia menceritakan sejumlah daftar ketidakpuasan
dan kekecewaannya. Ketidakpuasannya mungkin bila
ditumpuk akan membumbung dan mencapai langit ketujuh. Di mana langit ketujuh itu?
Dan tak juga semenit telingaku beristirahat,
topik ketidakpuasan dan kekecewaan beralih. Jadilah sekarang dia berbicara
tentang jasa baiknya. Dia merasa, sesudah begitu besar jasanya terhadap
tempatnya bekerja, kini kepergiannya seakan tidak ditangisi. Dibiarkan begitu
saja. Dan mungkin disyukuri, pikirnya. Kecewa besar dia jadinya.
Tanpaku, perusahaan ini tidak akan besar dan
mungkin bangkrut, begitu kira-kira kesimpulan yang diambilnya sendiri dari
hasilnya merenungkan perasaan dan jasa-jasanya sendiri.
Kejadian itu mengingatkanku ketika dulu
mengundurkan diri dari salah satu tempat kerja. Aku juga kecewa. Kecewa dengan
perlakuan mereka yang ya begitu itu. Mengapa mereka dengan mudah melepaskan
orang berpotensi sepertiku, tanyaku tak henti. Baru kemudian aku tahu,
“berpotensi” ini sebenarnya hanya persepsiku saja. Mungkin saja bagi mereka aku benalu, tetapi aku merasa seperti pohon gaharu.
Selain itu, bisa jadi mereka juga kecewa
dengan caraku mengundurkan diri, dan pilihan-pilihanku. Dan kebetulan mereka
tidak memberitahukannya kepadaku, sebagaimana aku juga tidak memberi tahu
mereka tentang apa yang kurasakan.
Nah, agar rasa sesal itu tak berlarut-larut,
kuputuskan di dalam hati bahwa di pekerjaan sebelumnya itu aku hanya kuli.
Sekarang pun tetap kuli sebenarnya. Dan sebagaimana halnya kuli, setelah mendapatkan upah,
haknya atas hasil pekerjaan itu terhenti. Entah hasil pekerjaan itu akan
berwujud menjadi kastil indah atau menjadi reruntuhan, tidak ada lagi hak
seorang kuli atas hasil pekerjaannya. Selesai.
Memosisikan diri sebagai kuli mengajariku
untuk tidak menuntut macam-macam. Entah saat ini atau di masa depan. Aku hanya
harus bekerja, dan ketika sudah dibayar, urusan selesai.
Cara pikir seperti ini sebenarnya bisa
diterapkan dalam segala aspek hubungan, menurut hematku. Sebagai ayah misalnya. Seberapa
banyak pun tulang kita yang remuk akibat dibanting pada saat bekerja, kita pasti
segera mendapatkan upahnya. Ya, saat kita disambut oleh anak-anak kita, dan
kita bisa bercanda bersama mereka. Dan tentu upah itu juga terbayar lunas saat
Allah mengampuni dosa-dosa kita, karena kita bekerja demi mencukupi kebutuhan
keluarga.
So, kita tidak punya hak apa-apa atas
kehidupan, kesuksesan, dan keberhasilan anak-anak kita di masa depan. Sebab,
upah kita sudah terbayar. Dan urusan selesai. Masalah apakah anak-anak kita
akan menganggap kita berjasa, biarlah mereka yang memutuskannya dan
melaksanakannya. Bukan kita yang memintanya.
“Bagaimana kalau aku mencintai seseorang, yang
tidak balas mencintaiku? Kapan upahku akan dibayar?” tanya salah seorang teman,
yang hobinya selalu baper seakan membawa beban perasaan yang berat, lalu
tertawa untuk menghibur diri.
“Saat engkau bahagia melihat fotonya saat stalking” jawabku "mungkin lho ya".
Artikel terkait: kunci bahagia nomor 110: berhenti merasa berjasa