Foto diambil dari FB beliau (Evi Eliyanah) |
Semilir angin menerpa wajah. Semburat cahaya
matahari melewati pelepah palem yang masih lengkap dengan dedaunan hijau yang
melambai cepat. Di bawah kerindangan dahan palem yang berjejer simetris di
taman depan kampus Unisma, kami duduk-duduk lemas. Terdiam dalam lamunan
masing-masing. Gundah.
“Sepertinya kita memang harus undur diri dari
kelas Intro to Literature” ujar Enik memecah sunyi. Suaranya mantap, dan tatap
matanya tajam. Wajahnya terlihat menegang. Tak ada gurat senyum.
“Ya, betul. Kita harus mundur” ujar Dian.
“Wajah-wajah kakak kelas agak mengintimidasi. Mereka sepertinya tidak suka kita
ikut kelas mereka. Belum nanti pas kita presentasi, bisa saja kita malah
dibantai.”
“Apa nggak kita coba sekali dulu” usulku.
“Semua kelompok, kalo ada orang baru, pasti akan merasa terganggu. Jadi, nggak
masalah lah kita coba dulu.”
“Nggak bisa Ton” tukas Enik menimpali. Nada
suaranya meninggi. “Kita hanya akan jadi bulan-bulanan pas presentasi.
Pengetahuan Bahasa Inggris kita belum cukup untuk ikut kelas kakak tingkat.”
“Ya, kelasnya beda. Metodenya presentasi dan
diskusi. Bukan ceramah dan mendengarkan tok. Kalo cuman ceramah dan
mendengarkan, kita sih enak. Nggak perlu unjuk diri. Lah ini, harus presentasi.
Make Bahasa Inggris. Di depan kakak tingkat” seru Dian tak kalah bersemangat.
“Ya, sudah kalo sudah bulat keputusannya.
Nanti kita bicara ke Bu Evi. Kita pamit baik-baik” usulku yang lantas disambut
lega tiga orang teman lain.
Masalahku juga sama. Tak siap mental.
Mengikuti kelas semester 5 sementara masih di semester 3 seperti misi bunuh
diri. Kemampuan kami belum cukup. Bila dipaksakan, mungkin benar, seperti kata
Enik, kami hanya akan menjadi bulan-bulanan kakak tingkat.
Kami lantas menunggu Bu Evi di pelataran
gedung B. Bila cukup beruntung, kami dapat mencegatnya sebelum ke kantor. Dan
ya sesuai harapan, beliau lewat sejenak kemudian. Aku yang diminta jadi
perwakilan lantas meminta waktu beliau. Dengan nada suara berat, kusampaikan
kegundahan serta kecemasan, dan keputusan bulat kami untuk undur diri dari
kelas Intro to Literature.
“Ya nggak apa-apa” ujarnya kemudian, lalu
tersenyum. “Saya paham dan maklum. Memang tidak mudah.”
Kami tersenyum lega. Ketegangan yang sempat merundung
perlahan sirna. Kami berempat saling pandang, lalu tersenyum tipis. Kami
kaget sekali beliau akan begitu mudahnya memaklumi keputusan kami. Yang kami
kenal, beliau tegas, dan tanpa kompromi. Pernah pada suatu waktu, beliau
mendatangi segerombolan anak Teknik yang membuat kegaduhan di samping kelas.
Beliau meminta mereka diam. Beliau sedang mengampu mata kuliah tertentu. Dan,
anak-anak Teknik itu diam, lantas bubar dengan sendiri.
“Tapi eman lho” lanjutnya kemudian. “Kalian
sebenarnya mampu. Mata kuliah Intro itu gampang. Hanya mata kuliah perkenalan
saja. Pas presentasi pun mudah. Bisa-bisa kalian lebih pintar daripada kakak
tingkat kalian.”
Beliau lantas tersenyum. Senyum tulus nan hangat yang, entahlah, sepertinya
memiliki daya magis. Daya yang bisa mempengaruhi pikiran. Lantas, kami pun
meragukan keputusan awal. Kami yang sudah memiliki ketetapan hati untuk undur
diri seperti diundang kembali untuk berjuang. Untuk tidak menyerah sebelum
melangkah.
“Kalian pikirkan lagi. Saran saya, coba masuk
sekali lagi. Kalo memang kalian pada akhirnya undur diri ya tidak apa-apa”
usulnya, setelah melihat kami terdiam lama. “Tapi coba sekali lagi.”
Setelah Bu Evi pamit, kami berempat
berbincang. Berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan. Membahas tentang peluang
kami di kelas tersebut. Tentang kepercayaan yang sudah diberikan Bu Evi. Dan
benar saja, berbekal kepercayaan itu, seminggu kemudian kami kembali masuk ke
kelasnya.
Ada satu puisi yang begitu indah beliau
bacakan di kelas hari itu, yang seakan-akan mendorong kami untuk terus lanjut
di kelas itu. Puisi itu berjudul “Hope” karya Emily Dickinson.
Hope is the thing with feathers
that perches in the soul,
and sings the tune without the words,
and never stops at all,
Puisi itu dan dorongan beliau membuat kami terus
mengikuti kuliah hingga akhir semester. Pada akhirnya dari kami berempat, hanya satu yang mendapatkan nilai B. Lainnya A. Dan satu orang dari kami meraih salah satu nilai tertinggi di kelas.
Dan begitulah Bu Evi yang kami kenal. Yang
kukenal. Sosok tegas nan hangat yang tak pernah letih berjuang demi kebaikan
orang lain dan dirinya. Mendorong maju tanpa banyak membanjiri dengan nasihat
yang tak perlu.
Dan tanggal 7 Mei kemarin, melalui catatannya
di FB, terkejut sekali kudengar beliau didera endometriosis (Catatan tersebut ada di sini).
Namun, di dalam catatan itu, ada sedikit kelegaan yang tergurat di hati. Dari
uraiannya yang begitu runtut dan kadang diselingi tawa kecil, terlihat jelas
beliau siap berjuang. Tidak menyerah. Persis seperti tiga belas tahun aku
bertemu beliau pertama kali. Beliau datang dengan misi. Beliau tidak menyerah
atas kami.
Dan saat ini aku tak hendak menasehati beliau
untuk terus bersabar dan terus berjuang. Itu seperti menggarami lautan
rasa-rasanya. “Bersabar” dan “berjuang” sudah menjadi kata-kata wajib di kamus
beliau, kutahu. Aku yakin bila saat ini kami para muridnya ini datang dengan
tangis, beliaulah yang akan menyekanya. Bila kami datang dengan wajah sedih dan
murung, beliau akan tersenyum, lalu menghibur.
Beliaulah sosok pejuang bagiku dan bagi kami,
yang terus menginspirasi. Dalam sedikit ucapnya
dan dalam banyak teladan serta karyanya, kami akan selalu kagum, dan
menyebutnya dalam doa.
Dan seberapa pun banyaknya doa kami
panjatkan, takkan pernah terbalas semua jasa-jasa beliau. Dan semoga—seperti
halnya yang selalu dikisahkan dalam kitab-kitab—rahmat, kebaikan, keberkahan,
dan keajaiban selalu melingkupi beliau dan keluarga, yang tak pernah lelah
berjuang, bersabar, dan bermunajat kepada-Nya.
Teruslah menebar inspirasi dan harapan, ibu
guruku, ibu guru kami…
2 comments
commentsWell said Anton, I'm so into every single words you said. ����
ReplyAnd I'm so so sad to hear with whatever happened to miss Evi.
Send little prayer for her����
Ya Rid. Beliaunya kuat, dan tak banyak orang yang seperti itu.
Reply