My Coming-Out Story: Living with Endometriosis (Bukan menggalang simpati tapi ingin berbagi informasi)

Sumber: http://bit.ly/1Orns0f
Catatan berikut ditulis oleh ibu guruku, Evi Eliyanah. Catatan di bawah merevisi total cara pandangku tentang rasa sakit yang didera perempuan saat haid. Betapa bagaimana pun kita perlu mencoba menghargai dan menghormati sosok perempuan. Catatan ini disalin-rekat seizin beliau, setelah aku sempatkan menulis catatan sederhana tentang peran beliau dalam kehidupanku (Klik di sini).

---

Maafkan… kali ini saya menulis cerita horor otobiografis.. hahaha… libur dulu nulis tentang film dan gender. Perhatian saya minggu ini ada pada kengerian yang lain yang menghinggapi saya seminggu terakhir ini, dan saya hampir yakin mungkin beberapa dari Anda yang membaca blog post ini juga mengalami hal yang sama, baik seluruhnya atau sebagian. Ini tentang endometriosis.


I have been wanting to write this but keep holding it back because I don’t want pity. But after a while, I realised that if I want to start a conversation and raise awareness, I have to have a case. The illness has long been seen as normal and natural part of womanhood. The pain accompanying period cramps and ovulation have been like the bread and butter of becoming a female human being. The normalization and naturalization of the pain can turn into a bio-power to make women who complain about these as being weak and whining. Thus, despite this illness may have reportedly affected about 10% of women in the world, this may just be a tip of iceberg. I believe there are more women out there who think that they overreact to such ‘normal pain’. Other people, including some health practitioners, might advise these women to just suck it up. I tell you what… NO. Thus, the story of women with endometriosis to me like a coming-out story. Although I don’t wish to equate it with our dear LGBT friends’ coming out stories, I find there are elements, which are often private, that a woman has to openly admit publicly; and the people who read this kind of story might not sympathise with the woman’s plight. Like.. who does not feel pain before or during period? Some women also feel pain before or during ovulation. 

Now.. here is my coming out story: living with endometriosis. Yes.. I finally have a name for all the pain I have around my period and ovulation, dyspareunia, fatigue, diarrhea, lower back pain, and mostly my 12-year infertility. Since I can’t use other people’s cases to illustrate my point, so why not using my own.

https://www.youtube.com/watch?v=dq03TyziL58  

Sebenarnya apa sih endometriosis? Secara medis ini didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh tumbuhnya jaringan endometrium di luar rongga rahim. Apa jaringan endometrium? Jaringan endometrium adalah jaringan yang melapisi rongga rahim. Dia bisa tumbuh menebal dan jika tidak terjadi kehamilan dia akan berkontraksi dan meluruh menjadi darah menstruasi. Jika jaringan ini tumbuh di luar rongga rahim, dia disebut endometriosis. Karena sifatnya yang bisa tumbuh, menebal, dan meluruh, jaringan endometriosis yang di luar rahim ini dapat menyebabkan rasa sakit yang amat sangat. Endometrium yang tumbuh di dalam ovarium disebut endometrioma. Kalau yang berada di dinding rahim itu disebut adenomyosis. Selain itu biasanya disebut secara general dengan istilah endometriosis. Untuk mengetahui lebih lanjut bisa mempelajarinya di sini atau untuk situs yang berbahasa Indonesia di sini.

Apa penyebabnya? Belum ada study yang konklusif mengenai penyebab endometriosis. Yang paling sering dikatakan adalah bahwa ada darah haid yang tumpah ke rongga perut dan akhirnya menempel dan tumbuh di organ lain. Ini masih bersifat dugaan. Apakah ini berkaitan dengan hormon? Ya dan tidak. Ya karena memang pertumbuhan sel endometrium kan dipengaruhi oleh hormone estrogen. Tapi bukan karena kebanyakan estrogen kemudian menyebabkan endometriosis. Makanya jika ditanya apakah ada diet khusus yang harus dilakukan agar endometriosis tidak tumbuh. Jawaban dokter (setidaknya di Australia) hampir selalu “Tidak ada.” Pola makan sehat itu penting untuk kesehatan. Tidak hanya untuk menghindari endometriosis. 

Bagaimana mendeteksi endometriosis? Sampai saat ini, satu-satunya metode yang akurat hanya melalui laparoscopy atau key-hole surgery. Informasinya bisa dibaca di link di atas. Jaringan endometriosis tidak bisa dideteksi melalui USG baik external atau intravaginal. Hanya ada beberapa dokter yang sangat ahli yang bisa dan berani mengambil keputusan diagnosa melalui intravaginal ultrasound. Di Canberra, misalnya hanya ada satu dokter spesialis yang melakukannya. Karena ini butuh ketelitian tingkat tinggi. Biasanya deteksi dilakukan melalui personal health history. Misalnya mengukur derajat sakit (relative), waktu terjadinya sakit, dimana letak sakitnya, apakah sakitnya tajam atau tumpul, apakah mengalami diare, apakah mengalami gangguan fertilitas, dll. 

Bagaimana mengobatinya? Sayang sampai saat ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan endometriosis. Yang ada adalah manajemen rasa sakit melalui obat penghilang rasa sakit, atau supresi estrogen (tapi ini berdampak pada regularitas menstruasi. Karena penebalan endometrium dicegah sehingga tidak meluruh atau berkontraksi). Atau prosedur yang invasive dengan laparoscopy atau key-hole surgery.

Sekarang cerita saya. Dulu waktu masih muda.. (sekarang juga masih muda sih.. Cuma dulu pernah menjadi lebih muda).. di usia belasan saya merasakan sakit ketika menstruasi. Ya.. jauh sebelum mengenal endometriosis. Orangtua saya juga merasa itu normal-normal saja. Saya tidak pernah mengalami pendarahan berlebihan atau sampai pingsan ketika mens. Tapi sejak saat itu saya mulai bersahabat dengan obat penghilang rasa sakit kala haid. Kalian yang di Indonesia pasti tau merek yang paling sering dipakai perempuan Indonesia dan paling sering diiklankan di majalah wanita hehehe… Itu berlanjut sampai saya lulus kuliah, bekerja, dan menikah. Ketika saya sexually active setelah menikah di umur 23 tahun, saya mulai merasakan ada perubahan. Pada masa subur, saya mengalami pendarahan. Meskipun tidak sebanyak darah menstruasi, tapi pendarahan itu membuat saya panik. Saya berkonsultasi pada seorang praktisi kesehatan dan saya ingat dia mengatakan saya tidak perlu khawatir karena itu masih dalam batas normal. Ada beberapa perempuan yang mengalami sakit atau pendarahan saat ovulasi dan itu bukan sesuatu yang peculiar. Ya beginilah bahkan mungkin niatnya baik bahwa saya tidak perlu khawatir berlebihan. Tapi sikap ini yang menutup informasi bahwa ada kemungkinan terburuk dari kondisi medis ini juga membuat saya tidak mendapatkan informasi yang utuh yang menjadi hak saya sebagai pasien, dan pada level tertentu menjadi sebuah bio-power yang akhirnya berpengaruh pada cara saya melihat diri saya. Saya menjadi malu mengeluh tentang sesuatu yang dianggap normal. Saya malu terlihat lemah dan manja hanya karena sakit yang sudah semestinya saya terima saja. Apalagi kalau menghadapi komentar, “Perempuan lain juga sakit kalau mens, tapi ga gitu-gitu amat kayak kamu.”

Kemudian ketika pernikahan kami sudah berusia lima tahun, saya masih tetap memiliki mild ovulation pain dan occasional ovulation bleeding. Plus sakit pada saat menstruasi yang menurut saya semakin parah. Waktu itu kami sudah berada di Melbourne. Dan saya belum pernah hamil sama sekali. Saya akhirnya memberanikan ke dokter dengan alasan sakit mens yang tidak tertahankan. Dokter saya tidak bisa tidak menghubungkan sakit itu dengan infertilitas saya. Kemudian saya menjalani serangkaian tes. Tes darah, xray tuba fallopi (HSG), USG external dan intravaginal. Suami saya juga menjalani tes (yang ini ga ada urusan dengan endometriosis ya…). Semua tes itu bertujuan gada untuk mengetahui penyebab rasa sakit dan juga infertilitas kami. Siklus menstruasi saya tergolong ajeg dan normal. Yang ga normal sakitnya dan ovulasinya. Dokter spesialis di Women’s Hospital yang ahli fertilitas hampir yakin saya memiliki endomestriosis karena tidak keanehan dari hasil tes. Kadang meskipun mild, dia tetap bisa mengakibatkan rasa sakit yang hebat dan menyebabkan infertilitas.

Waktu itu, akhir 2008 dan saya disarankan untuk laparoscpy untuk diagnosa lebih lanjut. Saya tidak melakukannya. Pada dasarnya, saya tidak terima saja kenapa penyakitnya kok ga bisa dideteksi bahkan via intravaginal USG. Apalagi menjalani operasi hanya untuk diagnosis itu menurut saya lebih tidak masuk akal lagi. Akhirnya dengan alasan saya harus segera pulang ke Malang, saya opted out dari daftar tunggu operasi di Melbourne.

Kami kembali ke Malang di akhir tahun 2008. Setelah begitu lelahnya settling back in dan masih repot-repotnya menyiapkan tempat tinggal, Januari 2009 saya dinyatakan hamil. Ga usah ditanya.. bahagia tak terkira… saya langsung lupa dengan segala penyakit itu dan mulai membayangkan persiapan untuk memiliki anak. Sama sekali tidak ada kecurigaan atau ketakutan. Ternyata pada minggu ke-tujuh kehamilan saya mulai bermasalah. Kantong janinnya berkembang tapi janinnya tidak. Sampai akhirnya saya kontraksi dan pendarahan hebat pada minggu ke-sembilan. Pada saat itu, kami mengambil keputusan yang sangat berat yaitu curette karena janinnya sudah tidak lagi berkembang dan lepas dari dinding rahim. Kami kehilangan jabang bayi yang kami beri nama Sora (Bahasa Jepang yang artinya langit). Saya cukup tertekan dengan kehilangan itu. Alhamdulillah suami saya adalah orang yang hebat dan punya stok sabar tak terbatas (untuk urusan dengan saya ya… hehehe). Dia selalu menguatkan. Maybe we would be lucky next time.

Sejak menjalani curette, sakit menstruasi saya berkurang, tapi sakit ovulasi saya bertambah. Itu bukan sebab akibat ya.. itu hanya penanda waktu. Saya pindah dokter kandungan. Ketika saya konsultasi, jawaban beliau adalah nyeri ovulasi itu biasa dan bisa jadi karena sakit lambung saya sehingga menyebabkannya lebih sakit. Saya memang memiliki sakit lambung yang kambuhan. Jadi lagi-lagi keluhan saya dianggap “Normal” bahkan tidak ada saran misalnya jika saya mau pemeriksaan lebih lanjut atau semacamnya. Sakit it uterus saya alami. Tapi ya gimana lagi. I said to myself to suck it up. Ga ada hal yang bisa dilakukan juga. Terus selalu dianggap saya mengeluhkan hal yang biasa-biasa saja. Pernah saya ngobrol dengan seorang teman yang jauh lebih senior tentang hal ini. Tanggapannya, “Kan enak ada penanda ovulasi, jadi kamu bisa merencanakan keluarga.” Trust me, dengan sakit pada masa ovulasi, merencanakan keluarga adalah hal terakhir yang ingin Anda lakukan.

Pada saat itu, pertanyaan dan saran-saran tentang reproduksi mulai datang bertubi-tubi tanpa diundang… ya iyalah ya… Dari yang bernada joke sampai serius. Saya mulai males dengan pertanyaan, “Kapan nih mau bikin Kriwul Junior?” atau suami saya yang ditanya temannya, “Lho.. kok durung duwe anak? Tak uruk i a?” Kami hanya bisa tersenyum dan berterimakasih terhadap perhatian itu meskipun pada dasarnya kami pengen nonjok. Ada juga yang memberi saran pengobatan alternative atau bahkan orang tua yang menyodorkan berbagai ramuan kepada saya. Saya juga pernah diberikan secarik majalah dakwah oleh seorang teman yang menyarankan saya meminta maaf kepada Ibu saya karena infertilitas ini bisa jadi adalah buah kekurangajaran saya kepada orang tua. Orang lain mempercayai bahwa saya kena tulahnya mantan pacar suami yang menyumbat saluran telur saya, dan lain-lain. Tekanan sosial terasa semakin berat karena saya memang saat itu tidak memiliki jawaban atas kondisi saya. Saya tidak bisa bilang itu endometriosis karena memang belum ada diagnosa yang meyakinkan bahwa saya memang menderita itu.

Sampai akhirnya kami pindah ke Canberra. Karena umur yang sudah mendekati 35, batas psikologis dan biologis saya untuk memikirkan rencana memiliki anak. Saya mulai rajin mencatat hal-hal terkait kesehatan reproduksi saya. Saya merasa sakit ovulasi saya juga makin meningkat, disertai dengan dyspareunia. Rasa sakit ini bisa bertahan 2-3 hari disekitar menstruasi dan ovulasi. Saya ke dokter dan dirujuk ke seorang spesialis di awal 2014. Dokter umum yang selalu menangani saya mengatakan hal yang persis sama dengan dokter umum di Melbourne waktu itu. Ini pasti ada hubungannya antara chronic fatigue, sakit pada masa menstruasi, ovulasi dan infertilitas. Sekali lagi saya dan suami menjalani tes infertilitas. Mengulang lagi proses yang pernah kami alami sekitar enam tahun lalu. Lagi-lagi tidak ditemukan sebab yang jelas, selain dugaan ada endometriosis. Saya juga mulai mencari tahu tentang endmetriosis dan mengunjungi klinik endometriosis di Canberra Hospital.

Setelah triangulasi kepada dua dokter spesialis kandungan dan kebidanan, salah satunya memang ahli tentang endometriosis, dugaan semakin menguat. Dokter memberi saya pilihan untuk melakukan tindakan operasi atau menekan estrogen dengan pil KB. Karena saya dan suami juga ingin lebih serius untuk program kehamilan dan mepet usia ya, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil pilihan operasi. Ternyata memutuskan itu juga tidak mudah karena once again, laparoscopy itu tujuan utamanya adalah diagnosis. Saya bilang ke suami saya, “Semacam ga masuk akal ya, untuk diagnosa saja aku harus dioperasi. Nanti kalau ga ketemu sakitnya, operasi itu percuma donk.” Ya itu juga sebagian karena biaya operasi saya tidak sepenuhnya ditanggung oleh asuransi. Dan mondar mandir ke spesialis serta menjalankan berbagai tes sudah cukup membuat kantong kami kedodoran. Selain juga efek fear of the unknown.

Saya akhirnya masuk dalam daftar tunggu. Kalau di Canberra, dan Australia pada umumnya, elective surgery di rumah sakit umum harus masuk waiting list dulu. Bisa berbulan-bulan. Selama menunggu saya bertanya dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang endometriosis dan laparoscopy. Yang saya tahu, laparoscopy tidak menyembuhkan endometriosis, tapi bisa meringankan karena jaringan endometrium itu disayat. 

Apakah laparoscopy termasuk operasi besar? Tidak, tapi efeknya tidak boleh diremehkan. Dalam prosedur ini, dokter akan menyayat pada tiga bagian, satu di bawah pusar untuk memasukkan gas agar perut menggelembung sehingga dokter bisa melihat rongga perut dengan lebih jelas. Satu lagi di pusar, dan satu lainnya disamping kiri atau kanan untuk kamera dan tindakan. Dokter akan memasukkan alat seperti pulpen yang ujungnya memiliki kamera dan satunya berujung pisau. Jadi dokter akan melihat apakah ada jaringan endometrium di rongga perut. Kalau nemu, ya langsung sayat. Untuk dokter yang ahli banget, mereka bisa melakukan eksisi jaringan endometriosis yang berada di balik rahim atau yang biasa disebut rectovaginal endometriosis.

Menurut informasi yang saya dapat, pasien hanya perlu day-admission atau tidak perlu menginap untuk operasi ini. Kemudian, rata-rata perempuan perlu satu atau dua minggu istirahat total setelah operasi kemudian sudah bisa kembali beraktifitas, kecuali mengangkat yang berat-berat. Selain itu, dua siklus pertama setelah laparoscopy, pasien biasanya merasakan sakit menstruasi atau ovulasi yang teramat sangat, bahkan melebihi sakit pra-operasi. Ini yang membuat saya ngeri. Selalu saja ada pertanyaan if it would be worth the cost, the pain, the time, etc. Sampai akhirnya saya mendapatkan panggilan untuk operasi setelah ngantri selama tujuh bulan. Well ya.. oke… saya cuti selama seminggu karena saya pikir itu cukup untuk pemulihan. Operasi kecil ini… lagi-lagi saya meremehkan. Pada hari operasi itu, 25 Januari 2016, saya masuk rumah sakit pagi pukul 9.00. Tapi antrinya panjang… baru masuk teater operasi jam 1 siang. Dan saya baru dipindahkan ke meja operasi jam 2.30 siang. Saya menyerah pada obat bius. Begitu keluar ternyata sudah pukul 5.45 sore. Gosh.. ternyata operasinya memakan waktu tiga jam. Karena kondisi yang lemah saya akhirnya overnight. Keesokan harinya saya baru boleh pulang. Saya juga langsung berjalan menuju apotik untuk mengambil obat. Ga kerasa… begitu masuk mobil, sakit menyerang. Begitu sampai rumah, saya menangis sejadi-jadinya karena saya tidak bisa meletakkan tubuh saya dalam posisi apapun karena sakit. Untung dokter memberi saya bekal Codapane Forte dan Endone untuk mengelola rasa sakit yang amat sangat ini.

Saya juga diberi tahu bahwa endometriosis saya tergolong parah. Dokter mengatakan jika ada skala 0-6, maka endometriosis saya itu skala 4.5. Pada saat itu saya merasa validated. Oh.. ternyata apa ayng saya rasakan itu memang benar endometriosis. Tapi shocked juga karena saya yang merasa sakitnya ga sampai pingsan-pingsan aja skala parahnya bisa sampai segitu. Berarti yang sampai pingsan-pingsan itu skalanya berapa? Jadi jangan remehkan rasa sakit (baik di perut atau anggota badan lainnya misalnya pinggang, panggul, pangkal paha, punggung bawah) pada saat menstruasi dan ovulasi. Jika menurut Anda sudah tidak tertahankan, ga perlu nunggu sampai pingsan-pingsan ya, segera carilah pertolongan dan informasi sebanyak-banyaknya. Endometriosis saya jenisnya rectovaginal, dan juga ada yang endometrioma. Saya juga punya adenomyosis tapi dokter tidak menyayat untuk yang ini. Ovarium saya nyangkut diantara tuba fallopi dan rahim bagian belakang, ya keduanya. Endometrioma dan obliterated ovaries ini yang membuat saya kesakitan ketika ovulasi. Rectovaginal endometriosis ini yang bertanggung jawab atas sakit yang tak tertahankan di bagian bawah punggung dan pingang. Saya masih dalam masa pemulihan, bahkan sampai tiga bulan setelah operasi. Tapi bukan berarti saya harus bedrest terus. Tapi saya harus aware ada episode-episode sakit yang menggila pada masa ini.

Seminggu setelah laparoscopy saya praktis hanya bedrest dan kalau perlu ke kamar mandi saya memerlukan bantuan. Suami dan teman-teman bergantian menjaga. Seminggu berikutnya saya sudah lebih bisa bergerak dan mandiri, meskipun masih minimal. Saya tidak keluar rumah sama sekali selama dua minggu. Arrgh… disini mulai muncul rasa menyesal karena saya kehilangan waktu. Saya mulai menyalahkan diri sendiri karena sakit. Minggu ketiga, saya pikir saya sudah sembuh. Saya beraktifitas seperti biasa di kampus. Saya berjalan sejauh 1km dari universitas ke stop bis di kota. Malamnya saya menuai badai. Sakit yang tak tertahankan. Dari situ saya mengetahui kalau informasi tentang laparoscopy yang saya terima kurang lengkap. Pada minggu ketiga dan keempat saya hanya kuat bekerja setengah hari. Saya juga sangat cepat lelah. Praktis sebulan hilang begitu saja. Pada minggu-minggu berikutnya saya mulai bisa bekerja dengan normal kecuali pada saat menstruasi dan ovulasi. Sakit sekali. Selain itu yang saya amati adalah ketika menstruasi pasca laparoscopy ini, volumenya lebih banyak. Hari kedua dan ketiga, saya bisa menghabiskan sekitar enam atau tujuh pads ukuran maxi. Hari pertama bisa menghabiskan tiga pads, hari ke-empat dan lima bisa empat pads. Kulakan deh kalau pas mau mens. Dengan keadaan begitu, saya harus memperhatikan iron intake dan juga konsumsi air saya harus ditambah. Jangan sampai lemes. Ternyata masa pemulihan itu sangat beragam diantara para perempuan. Mungkin saya termasuk yang lama. Saya tidak pernah lupa membawa parasetamol dan ibuprofen di tas saya, demi kesejahteraan.. hahaha…

Menderita endometriosis bagi saya, tidak hanya sakit fisiknya.. tapi beban psikologisnya juga. Seperti yang sekilas saya ceritakan di atas. Kebayang ga sih ketika merasa kesakitan terus dokter atau teman-teman yang tidak memahaminya (dan itu banyak, seperti yang saya ceritakan di atas) melihat saya seperti anak manja yang ga tahan sakit. Like say.. semua perempuan juga sakit kalau pas datang bulan. Atau sakit ketika ovulasi itu biasa. Itu bahkan bagus bisa mengenali masa subur – bagus kan untuk merencanakan keluarga. Menormalkan rasa sakit ini yang menyakitkan. Ini membuat saya berfikir bahwa saya memang manja, ga tahan sakit, malas bekerja, dan suka melebih-lebihkan sesuatu yang normal dan mungkin remeh. Seiring dengan itu, saya membangun keterampilan unutk menyembunyikan rasa sakit dan meningkatkan toleransi saya pada rasa sakit. Saya selalu menyemangati diri saya agar bisa melawan rasa sakit tanpa obat. Saya tidak mau terlihat lemah dan manja. Sehingga saya sering menyalahkan diri sendiri untuk deadline yang tidak terpenuhi, untuk berada di atas tempat tidur dan memeluk botol berisi air panas selama beberapa hari, untuk hilangnya waktu bersama teman-teman, dan banyak hal. 

Bulan ini misalnya, saya menjanjikan diri sendiri untuk menyelesaikan dua tulisan, eh tiba-tiba sakit ovulasi teramat sangat menyerang sejak hari ke 11 siklus saya. Dan skala sakitnya semakin meningkat sampai memuncak pada hari ke 13-15. Saya tidak bisa mencari dokter tanpa membuat janji terlebih dahulu. Mana akhir pekan pula. Dan saya agak malu kalau ke departemen gawat darurat di rumah sakit “hanya untuk sakit ovulasi” dan mendapatkan parasetamol. Sebegitu hebatnya pertahanan saya terhadap rasa sakit. Painkiller sudah tidak mempan lagi. Saya kesakitan dan kurang tidur. Hari Sabtu saya tidak bisa mengucapkan salam perpisahan kepada sahabat yang akan pindah ke luar negeri. Hari minggu untungnya saya masih sempat menemui sahabat yang akan pindah keluar kota. Hari Senin, saya bangun dengan rasa sakit teramat sangat. Antara mau ke rumah sakit tapi hesitant to call it an emergency case, tapi sakit banget sampe ga bisa berdiri atau duduk. Suami saya yang siap melakukan apa saja yang saya minta ikut bingung melihat kondisi saya. Apalagi mengingat saya baru tiga bulan lalu menjalani laparoscopy untuk mengambil endometriosis nya. Banyak sekali pertanyaan dalam benak kami.. apakah endo nya sudah tumbuh lagi? Karena memang penyakit ini ga ada obatnya, dan laparoscopy pun belum tentu bisa menghilangkan keseluruhan endomestriosisnya. Saya percaya dokter saya telah melakukan yang terbaik. Tapi mungkin ada jaringan endo yang tidak terjangkau atau terdeteksi olehnya ketika melakukan operasi. So I need to take another test. Tapi… once again.. beban psikologis nya itu bener-bener sesuatu.. saya menangis hari itu karena saya ingat ada dua tulisan yang harus saya selesaikan akhir bulan ini. They are major. Saya marah dan kalut karena saya menjadi lemah dan menyerah pada sakit. Saya marah karena merasa laparoscopy yang saya jalani tidak banyak membantu. Saya bisa saja salah.. karena pada umumnya perempuan yang menjalani laparoscopy akan mengalami sakit yang teramat sangat pada dua siklus sesudahnya. Dua siklus saya setelah laparoscopy memang sakit. Tapi menurut pengamatan suami saya, tidak melebihi yang sebelum laparoscopy. Jika dikatakan excruciating pain, dua itu belum sampai pada level itu. Kali ini sakitnya menurut skala saya 8 atau 9 dari 10. Senin siang, itu mungkin 10/10. Saya minta diantar ke walk-in center untuk minta nasehat apakah saya harus ke rumah sakit. Perawat melakukan tes urin untuk mengetahui ada tau tidaknya infeksi. Hasilnya negative. Dan akhirnya ya apalagi kalau bukan endo… Dan sampai saat ini, hari ke 20, saya masih merasakan sakit itu, meskipun derajatnya berkurang. Tapi saya sudah kehilangan setidaknya seminggu waktu aktif saya.

Saya bertekad untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang apa yang saya alami. Saya memulainya dengan menemui dokter umum saya Selasa depan. Sambil berdoa semoga ini tidak serius. Oh iya.. pasti sebagian dari Anda penasaran, apakah laparoscopy bisa meningkatkan potensi untuk kehamilan bagi penderita endometriosis. Jawabannya iya dan tidak. Iya, jika endometriosisnya letaknya tidak di tempat-tempat strategis seperti tuba fallopi. Tidak jika endometriosisnya cepet tumbuh lagi.. hehehe… Beberapa teman dan keluarga juga menanyakan apakah setelah laparoscopy ini saya memiliki potensi untuk hamil. Another bomb was dropped setelah operasi, dokter menyatakan bahwa tuba fallopi saya tersumbat sehingga sel telur tidak pernah mencapai tuba fallopi, apalagi rahim. Dokter menyatakan saya memiliki 0% kesempatan untuk hamil secara alamiah. This is another level of life drama. Tapi saya bersyukur saya bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk membuat berbagai keputusan atas tubuh saya. Suami saya juga sangat mendukung upaya-upaya saya untuk sehat, meskipun dia juga kadang bingung harus ngapain ketika saya kesakitan. Dia dengan sabar mengganti air di botol air panas saya dan mengantar saya kemanapun saya perlu pergi untuk berobat. Setelah melewati beberapa krisis, khususnya saya, kami juga berdamai dengan kondisi kesehatan reproduksi saya. Saya bilang kepadanya bahwa secara hukum perkawinan di Indonesia, dia bisa mendapatkan license to take another wife (dasar hukumnya sangat patriarkis). Untungnya dia bukan tipe yang dengan senang hati mengambil patriarchal dividend itu. As we have vowed to grow old together. If it turns out to be just the two of us, then we are not less happy than other couples who are blessed with children.  Jadi sekarang ga usah nanya-nanya kapan kami punya anak ya… doakan saja terjadi keajaiban. Sambil kami juga akan berusaha yang sesuai dengan kemampuan dan keyakinan kami. Kami akan minta nasehat jika kami rasa perlu. What I can assure you, insyaAllah kami berdua tetap bahagia dan akan berusaha membuat hidup kami bermanfaat.

Maaf curhat coming out nya panjang sekali.


Canberra, 08 Mei 2016



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »