Kala Laki-laki Belajar Membaca Perempuan

Sumber: begundalmilitia88.blogspot.com
“Apa respons Bu Evi setelah saya menulis ucapan terima kasih?” tanya salah seorang teman, yang juga mahasiswa beliau di UM.

“Beliau berucap terima kasih” jelasku di YM. “Indah sekali. Saya sangat tersanjung. Semoga apa yang kita pelajari jadi ilmu bermanfaat dan bekal kita di akhirat. Amin, terima kasih” begitu lengkapnya.

Jujur, akulah yang harus berterima kasih. Baik sebagai murid, atau sebagai pembaca postingan seorang “teman” FB. Catatan my-coming-out story yang ditulis dari sudut pandang orang perempuan pertama membuka mataku. Tidak hanya tentang penyakit endeometrosis yang menjadi titik fokus catatan itu, tetapi rasa sakit atau nyeri pra, saat, atau pasca haid yang dialami perempuan secara personal. Setiap perempuan pastinya merasakan nyeri secara berbeda-beda, karena setiap nyeri memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Dan setiap perempuan memiliki dukanya sendiri-sendiri.

 Bila pada suatu titik kulihat teman kantor yang kesakitan dan bawaannya emosional saja sebelum dan saat menstruasi, aku akan belajar memakluminya. Membantu meringankan bila perlu. Atau mungkin aku perlu mengangkat topi sebagai tanda penghargaan. Mereka merasakan nyeri setiap bulan. Dan karenanya harus menjadi konsumen setia minuman yang namanya saja sudah patriarkal (mengapa juga mereknya juga KIranti, bukan NYIranti kan?). Dan tak sedikit pun mereka ingin pensiun menjadi perempuan.

 “Cewek kok cengeng dan manja!” ujarku menyimpulkan pada suatu waktu.

Berengsek sekali kedengarannya kan? Merasakan nyeri serta sakit juga nggak. Dan entah bagaimana caranya, aku seakan-akan tahu rasa sakit yang mereka alami. Aku menggunakan kacamata orang yang tidak pernah merasakan nyeri dan sakit untuk melihat nyeri dan sakit yang dirasakan orang lain.

Atau kita menggunakan kacamata orang tua kita misalnya. “Ibuku tidak pernah secengeng dan semanja itu, meskipun beliau juga mengalami nyeri sebelum dan saat haid” ujar kita. Kita, utamanya diriku ini, tak pernah mau tahu. Nyeri dan sakit bersifat personal. Setiap orang memiliki rasa sakit sendiri-sendiri. Ataupun bila pun sama, ketahanan setiap orang pastinya berbeda. Ya, orang tua kita tidak hidup di era Facebook. Ketahanan tubuh mereka lebih baik. Bukan karena mereka jarang selfie, tetapi karena mereka tidak pernah mendapatkan asupan “beracun” dari fast food, snack ber-MSG, dan aneka ‘racun’ lain yang dihadirkan kehidupan modern.

Dan tulisan coming-out story membukakan mataku bahwa setiap perempuan itu unik. Demikian halnya lelaki. Dan sejak saat itu, kuberjanji akan mencoba menghindar dari menggeneralisir sesuatu berdasarkan asumsi. Ada baiknya aku selalu mendengar dan menyimak. Membuka mata dan melepaskan tutup telinga. Membaca dan memaklumi. Berkenan bersimpati dan berempati. Dan terakhir, belajar menjadi manusia. 

Mungkin itu yang diharapkan Bu Evi, yang juga sedang menyelesaikan studi gender. Mungkin, meskipun aku tidak selalu setuju dengan feminisme, salah satu tujuan feminisme adalah menyadarkan kaum laki-laki agar berkenan mendengar herstory, sehingga kita tidak mudah berprasangka. Tidak men-judge tanpa mendengar pendapat. Serta tidak menjadikannya manusia kedua, yang tidak perlu dipertimbangkan perasaan dan pemikirannya.

Aku akan lebih memahami dan memaklumi istriku. Bila “bulan” sudah tiba di peraduan, artinya aku harus lebih bisa bersabar. Melipatgandakan kemampuan mendengar dan menahan emosi. Dan memijat kaki dan badannya yang pegal-pegal. Dan berhenti membandingkannya dengan ketangguhan ibuku. Ya, meskipun mungkin aku tidak sesabar Mas Fadli, seperti yang diceritakan Bu Evi dalam catatannya, aku akan berusaha keras untuk bersabar dan belajar sabar.

Benar memang ungkapan yang dibagikan di Facebook secara masif. Cara terbaik mencintai anak kita adalah mencintai dan memperlakukan ibunya dengan baik. Anak yang hidup di lingkungan orang tua yang saling mencintai, mengasihi, serta saling mendukung akan tumbuh menjadi anak yang juga menghargai orang lain. Mencintai pasangannya kelak dengan baik. Dan dengan kesadaran itu, aku akan berusaha keras mencintai ibu dari anak-anakku.

Dan ya meskipun hidup kita kini dipenuhi prasangka seksis “sein kiri belok kanan”, kita sebagai laki-laki harus berusaha menghargai perempuan di sekeliling kita. Tidak men-judge-nya secara serampangan bila mereka belum dikaruniai buah hati. Tidak menuduhnya macam-macam bila belum bersuami. Karena setiap perempuan unik, dan setiap perempuan memiliki ceritanya masing-masing.

Itulah sedikit yang kupelajari saat aku belajar membaca perempuan. Meskipun perlu kuakui, semua ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »