Sahabat dalam Sulit Sahabat Segala-galanya

Sore tua nan dingin pada bulan Agustus itu berjalan lambat. Seakan malas diajak bergerak. Ratusan mahasiswa berjalan ke sana kemari, seperti tanpa tujuan. Ada yang wajahnya sumringah dengan baju putih dan celana hitam kusut dan menenteng jas almamater hijau. Ada yang kuyu, kelelahan. Ada yang berbicara lantang. Ada yang diam sendirian. Terseret lamunan.

Sementara, taman tengah kampus terlihat kering kerontang. Rerumputannya hendak menjemput ajal. Terlihat semakin melas saja ditindas musim kemarau yang masih lama beranjak, dan derap kaki ratusan orang.


Di depan gedung E, dua bilah daun palem menggantung. Berwarna kemuning tua. Jajaran tempat duduk pagar pelindung tanaman bercat hijau muda membatasi tanaman merambat dan menjajah jalur pedestrian.

“Dari mana Mas?” sapaku sambil mengajak bersalaman salah seorang mahasiswa yang berteduh di gazebo samping gedung E, di samping palem kelima dari kanan.

“Kediri Mas” balasnya. Senyum lebar disunggingkannya, sambil menatapku. Kulitnya sawo matang, tingginya sekira 160-an meter. Rambutnya ikal bergelombang. Wajahnya memanjang dan pipinya tirus.

“Pare berarti?” tanyaku melanjutkan percakapan basa-basi.

“Ya” jawabnya singkat. Pare entah mengapa selalu memantik rasa penasaranku. Tempat itu seakan begitu misterius. Itulah desa, seperti kata salah seorang kenalanku yang lain, di mana semua orang berbahasa Inggris. Bahkan pelayan warung, kisahnya.

Percakapan lalu bergulir, dan percakapan kami terus berlanjut. Tak susah membangun percakapan dengan orang sepertinya. Dia akan mencurahkan perhatiannya, dengan bertanya dan menyimak. Dicondongkannya wajah agak ke depan tanda dia memperhatikan.

“Jadi, sampeyan kos di mana?” tanyaku kemudian.

“Belum tahu. Tidur di mana nanti malam juga belum tahu.” Dia lalu menoleh ke menara masjid Ainul Yaqin berwarna biru yang menjulang tinggi di seberang jalan. “Mungkin di masjid” ujarnya menyimpulkan dengan santai.

“Kalo sampeyan di mana?”

“Di kos sodara. Sekitar perumahan Landungsari. Nggak enak juga sih numpang lama-lama di situ. Meski dia nggak pernah keberatan. Sungkan aku” mataku lalu mengarah ke bawah. Ke paving yang beberapa bagiannya terangkat dan warna merahnya berubah menjadi sedikit kehitaman. “Ayo wes, aku juga tidur di masjid” usulku, yang lantas diiyakannya.

Kami lantas menuju masjid Ainul Yaqin sejenak berlalu. Berwudlu, lalu menunggu adzan maghrib. Seusai maghrib, kami lantas mencari kebutuhan perlengkapan untuk acara ospek esok hari. Ke sana kemari dengan sepatu yang sama. Baju yang sama seperti pagi harinya.

Sepanjang jalan, kami banyak bercerita. Bertukar kisah. Dan berbincang apa saja. Seakan kawan lama yang sudah lama tak berjumpa, padahal kami bersua beberapa jam sebelumnya.

Seusai perlengkapan kami dapati, kami kembali ke Masjid yang berwarna hijau kusam itu. Lama belum dicat ulang, mungkin. Kami duduk di sisi kiri masjid yang dekat dengan kamar mandi.

Seusai isya, kami lantas menggunting, melipat, dan menyiapkan perlengkapan keesokan hari lainnya di depan gedung perpustakaan yang tak jauh dari masjid. Tak lupa kami sempatkan makan nasi goreng dari rombong penjual yang biasa mangkal di jalan Tata Surya.

Tak sadar jam beranjak cepat, dan kami belum sempat minta izin dari takmir.

Badan sudah tak dapat diajak berkompromi. Ditimpa lelah yang luar biasa, terseretlah kami dalam dunia antah berantah. Posisi tidur kami: di bagian dalam, di sisi kiri masjid, kepala di barat, dan kaki di sebelah timur. Aku masih ingat saat tas kami jadikan bantal. Jas almamater sedari kemarin secara alami dijadikan kemul dan jaket. Hawa dingin bulan Agustus tak pernah membuat perkecualian pada orang baru seperti kami.

“Mas bangun-bangun” suara itu mengagetkanku, beberapa jam berselang. Kubuka mata pelan. Wajahnya bersinar. Songkok putihnya berpadu pas dengan baju koko berwarna putih. Wajahnya menyejukkan. Sesungging senyum diguratnya dengan tulus. Itulah wajah ahli ibadah, ucapku di dalam hati.

“Ayo mas bangun, sudah subuh” ujarnya lagi. Kali ini lebih keras. Oh, takmir masjid ternyata. Sempat kukira aku sedang bertemu kiai di dalam mimpi.

Melihatku agak sulit bangun, dia lalu berbincang dengan temanku satunya. Menyarankan agar malam berikutnya kami tidur di ruang TPA saja, yang berada di lantai dua di atas kamar mandi.

Kuingat kami melewati tiga malam di areal kompleks masjid Ainul Yaqin. Menahan dingin yang menusuk tulang. Pasrah menghadapi serbuan nyamuk-nyamuk besar yang gesit dan tak kenal kata ampun. Dan beradaptasi dengan jam tutup buka masjid yang dulunya dibangun oleh Yayasan milik Presiden itu.

Dan begitulah Tuhan mempertemukan kami. Membuat kami menjalin persahabatan yang tak lekang oleh waktu, sejak 14 tahun lalu. Dia tahu semua baikku, dan mendorongku terus meningkatkannya. Dia paham seluruh burukku, dan menjaganya seakan rahasianya sendiri.

Dia berulang tahun 31 Mei lalu. Nur Abidin namanya. Selamat ulang tahun, kawan. Semoga usiamu berkah, dan engkau semakin menjadi manusia yang bermanfaat. Gemilang di dunia, dan sukses di akhirat.

Dia memberiku banyak. Mengajariku tak kalah banyaknya. Benar memang kata orang, bila Tuhan menyayangimu, Dia akan mengirimimu sahabat. Yang menjagamu dan membuatmu tumbuh dan berkembang.


Kata pepatah, sahabat dalam sulit adalah sahabat dalam segalanya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »