Aku cemas.
Kondisi ekonomi tak juga bergeliat. Indikator
sederhananya pembelian sepeda motor dan mobil menurun, yang konon angkanya
mencapai dua digit April dan Mei 2016
ini. Pelaku ekonomi mulai pesimis. Harga komoditas tak
juga beranjak. Ekonomi mengalami perlambatan. Sementara itu, harga bahan pokok
naik. Bawang merah naik. Telur naik. Beras diperkirakan akan naik. Dan yang
turun, ya ekonomi Indonesia. Aku,
si penerjemah junior minim pengalaman dan tanpa spesialisasi, ikut terpengaruh. Sebab,
aku adalah salah satu roda gigi dalam mesin besar ekonomi kapitalisme
global. Pekerjaan
jadi berkurang.
![]() |
Kerikil - Pixabay |
Sebelum itu salah satu teman share di WA.
Kodak yang dulu jaya mati ditelan perubahan zaman. Nokia juga salah satu nama.
BlackBerry merasakan perih yang serupa. Itulah yang akan terjadi pada kita,
bila kita telat beradaptasi mengikuti zaman yang terus berubah, tutupnya. Tanpa
inovasi dan kegesitan melangkah, kita akan habis. Keterampilan apa yang sudah
kamu miliki agar bisa survive di masa
depan? Tanyanya, yang langsung menohok di ulu hati di akhir pidato panjang hasil share WA itu.
Aku cemas pada pekerjaan. Potensi kekurangan yang akan menimpa di masa
depan. Akhirnya, aku melihat
segalanya serba suram. Masa kini gelap. Masa depan tak pasti. Akhirnya, gelas
pun terlihat sepenuhnya kosong, tidak lagi setengah kosong.
Di tengah pusaran
ketakutan dan kecemasan, kulindas kerikil yang tergeletak di tengah jalan saat
naik sepeda motor. Mengagetkan. Kerikil itu mengingatkanku pada satu puisi di
bawah.
Alangkah
Bahagia Kerikil Itu*
Alangkah bahagia kerikil itu
Tetap riang di jalan tanpa teman
Tak peduli jenjang pekerjaan
Dan tak cemas pada kekurangan -
Berselimut warna cokelat dasar
Dipasangkan semesta yang berkitar,
Dan mandiri bak mentari
Hangat bersahabat, atau gemilang tatkala sendiri.
Memenuhi ketetapan hakiki
Dalam sederhana tanpa basa-basi
Bahagia ya memang menjadi
kerikil. Tergeletak dan bermain riang meski sendirian di jalan. Dia tidak
pernah mengeluh, meski sesekali dilindas pengendara yang galau. Tidak peduli
pada jenjang karier. Tak cemas pada kekurangan.
Dia kadang mandiri,
dan tak tergantung pada teman. Dia bisa hangat bersahabat, dan ramah pada
kerikil lain. Bisa bekerja sama membentuk bangunan yang indah. Menjadi beton
yang kokoh. Namun tak masalah bila harus ditinggal sendirian. Tanpa sahabat,
tanpa teman. Dia tak tergantung pada keadaan. Pekerjaan. Atau kondisi eksternal
lainnya.
Kerikil hanya memenuhi
ketetapan hakikinya secara sederhana saja. Tidak neko-neko. Tidak lebay. Dia
hanya menjadi kerikil saja. Tidak berpura-pura menjadi bebatuan raksasa.
Mungkin itulah kunci
kebahagiaannya. Kunci yang belum aku miliki kini.
Pada akhirnya, kuyakin
semuanya akan kembali baik-baik saja bila aku jadi kerikil saja. Tak perlu
berpura-pura menjadi batu raksasa. Menjalani saja ketetapan hakiki sebagai
manusia. Bersahabat secara hangat tetapi tak tak sedih bila ditinggal sendiri. Harus
berusaha dan bekerja kertas. Tetapi juga, tak lupa untuk tetap bahagia. Itulah
bahagianya menjadi kerikil saja.
*Puisi ini adalah puisi karya pujangga kenamaan Amerika, Emily Dickinson. Untuk mengetahui puisi ini selengkapnya, klik di sini.