Anak bungsuku meminta untuk dibelikan balon. Merengek.
Kubalas dengan tatapan saja. Diulanginya lagi. Terus dan hanya kubalas dengan
tatapan. Dia terus merengek. Setelah tahu aku kalis dari rengekan dan suara
manjanya, dia lalu menggunakan jurus pamungkas: meminta digendong. Dipegangnya
kepalaku, dan giliran dia yang menatapku lamat-lamat.
“Aku……mau……balon” ucapnya lantang dengan
intonasi yang dipelan-pelankan dan tegas. Ekspresi wajahnya menegang sebentar. Kalah
diplomasi, kucium keningnya. Dia pun tertawa. Mungkin di dalam hatinya dia
girang. Ayahnya takluk dan akan menuruti permintaannya. Aku lalu pamit kepada
beberapa saudara dari tempat resepsi, dan langsung menuju satu-satunya penjual
balon. Sudah tidak asing lagi, di lokasi pernikahan di desaku, akan ada penjual
mainan dan balon, selain penjual bakso dan kacang rebus.
“Beli
balon Pak” ujarku pada sosok bapak berusia sekitar lima puluh tahunan. Kulitnya
gelap. Mungkin karena sering tersengat sinar matahari. Keriput di wajahnya juga
sangat kentara.
“Yang mana mas?” jawabnya sambil menatapku
sekilas. Dia tersenyum sedikit. Tatapannya pun beralih ke balon aneka warna yang
dijualnya. Ada balon yang berbentuk karakter burung, kartun, dan film. Keena,
anak ragilku itu, tanpa diperintah langsung memilih jenis balon yang
diinginkannya. Dia memilih balon berbentuk burung.
“Saya tambahi angin dulu Mas” lanjutnya sambil
mengambil balon berbentuk burung itu. Dibukanya lubang angin di balon.
“Saya sebenarnya males bawa tangki sebanyak
ini Mas.” Diliriknya sebentar empat tangki yang sudah berwarna cokelat karena
karatan. Pandanganku pun otomatis mengarah ke sana. Empat tangki yang mungkin
berdiameter 50 cm diangkut dengan Honda Star tahun 90-an. Di sekelilingnya ada
banyak selang dan tali-temali yang ruwetnya bukan main. Di sisi kanan tabung-tabung itu, ada
mainan lain yang berjuntai tak teratur. Sepertinya, memang susah untuk mengangkutnya.
“Ya, berat kayaknya memang Pak”
“Ya. Tapi kasihan yang beli. Balonnya tidak
bisa terbang lama kalo nggak
ditambahi angin. Uang sekarang susah nyarinya.” Ucapnya sambil menambahi angin. Beberapa detik kemudian, dia sudah selesai menambahi angin dan
mengikat balon yang sudah lebih berisi itu dengan benang yang lebih panjang.
Dia lalu menyerahkan balon itu padaku. Sebagai
gantinya, kuserahkan uang sepuluh ribuan sesuai harga balon itu. Terima kasih
tak lupa diucapkannya. Tidak hanya dengan kata, tetapi dengan tatapan sendu
dari kedua mata yang memerah.
Keena lalu mengambilnya dari tanganku. Dia senang
bukan kepalang. Sebab, dia akirnya mendapatkan balon yang diinginkannya. Bapak
itu senang, balonnya laku untuk kesekian kali. Dan aku tak kalah bahagia dan
tersentuh dengan ajarannya tentang pelayanan kelas tingginya. Pelajaran yang
jarang aku dapatkan dari buku-buku.
Pelajaran itu ialah “memberikan lebih banyak
secara lebih baik dan lebih tulus demi menghargai orang yang berkenan membeli
produk kita. Karena mungkin, uang yang dikeluarkan orang untuk membayar kita
itu tidak gampang diperoleh”.
Itulah prinsip dan pelajaran pelayanan yang aku
pelajari dari tukang balon itu. Sederhana, tetapi mengubah sudut pandangku.