Subuh tadi rombong sayur itu berada di posisi
semula. Sepertinya tak beranjak. Seakan-akan
si tukang sayur tak menjajakan sayur dan lauk-pauk. Posisinya
mungkin hanya berbeda sekian derajat dari posisi malam kemarin.
Tebakanku ternyata salah. Kukira dia akan kapok sholat subuh
di masjid An Nur. Dia memilih masjid lain, yang populasi kucing liarnya tak
begitu banyak. Yang kucing-kucingnya sudah “hijrah” dan jadi lebih jinak.
Saat aku datang, si pedagang sayur sedang membenarkan
posisi berdirinya. Sementara itu, bacaan surat imam hampir habis, dia
mengangkat tangan, dan membaca takbir. Aku hampir telat, karena sibuk memperhatikan
si tukang sayur ini.
Sholat subuh kemudian berlalu, denganku yang
sepanjang sholat memikirkan dan mengagumi si tukang sayur (hah jadi ketahuan
kalo sholatnya nggak khusu’ banget).
Seusai salam dia bergegas. Demikian juga aku,
yang semenjak kemarin dilanda rasa penasaran tingkat dewa. Pakaiannya masih mirip
seperti sehari sebelumnya. Tak ada yang berubah. Tetapi dia lebih tenang saat
memasang kaos kaki dan sepatu. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Dan
sepengetahuanku memang tidak ada kucing lagi yang loncat dari rombongnya.
Aku jadi yakin. Ketika mengejar kucing yang
mencuri dagangannya kemarin, dia tak hendak mengejar dunia yang hilang. Dia
tidak cinta dunia secara berlebihan. Bila dia cinta dagangan atau cinta dunia secara
berlebihan, dia tidak akan sholat subuh di sini. Atau mungkin tidak sholat
subuh sama sekali. Tetapi dia kembali. Ke tempat semula. Ke posisi semula.
Seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Dia hanya mengupayakan yang terbaik. Berusaha
maksimal. Dia tidak mengejar kucing, tetapi dia berusaha menjaga rezeki dan
amanah. Dan ketika itu hilang, dia tenang dan bertawakal. Sebab, ikhtiarnya
sudah maksimal. Tidak lantas menyalahkan siapa-siapa. Tidak menyalahkan
pemerintah yang lalai menjaga kesejahteraan hewan. Tidak juga menyalahkan
takmir yang tidak menyediakan jasa keamanan.
Ah, dia mengajariku satu pelajaran lagi pagi
ini. Pelajaran hidup yang penting.
Karena hari-hari ini banyak sekali orang
meninggal di sekeliling rumah, mau-tak-mau itu juga membuatku mengaitkannya
dengan kehilangan kehidupan alias kematian. Ada yang menyesali kematian seseorang. Ada yang meratapi. Ada
yang tegar, tetapi rasa kehilangannya begitu dalam.
Itu juga yang menyeruak dari pikiran saat kubaca
selarik puisi berjudul sidikjari yang ditulis Gus Mus alias KH Ahmad Musthofa
Bisri.
Di bawah puisinya:
sidikjari
di sini
sidikjarimu
ada
di
mana-mana
ada di
daun pintu
ada di
jendela
ada di
seantero
ruang
ini
maka
alibimu
tak
bisa diterima
kau tak
mungkin
di
tempat lain
Puisi di atas, dan tukang sayur yang dua hari
ini menganggu pikiranku mengajariku tentang cara mengatasi kehilangan. Caranya adalah mengikhlaskannya.
Ketika mengikhlaskan kehilangan, aku tidak akan kehilangan apa-apa.
Sebab sejatinya aku juga tidak punya apa-apa,
dan bukan siapa-siapa.