Panggil Aku Lam Saja (Hikayat Sebuah Nama)*

Laki-laki paruh baya itu agak tergopoh-gopoh. Nafasnya tersengal-sengal. Sesungging senyum tergurat di wajahnya yang tampak lelah, tetapi tetap sumringah. Barisan gigi depan yang hendak tanggal dan menguning karena asap rokok tak mengurangi lebar senyumnya. Disapanya semua orang di jalan. Tak perlu beribu analisis, dia jelas sedang bahagia saja.

Dia mendapatkan anugerah terindah: anak ketiganya lahir. Memang tidak seharu kala anak pertamanya lahir, tetapi tetap saja itu luar biasa. Anugerah besar.

Laiknya kebiasaannya selama ini, dia menuju rumah salah seorang pemuka agama. Ustad Thalib namanya. Dia hendak memohon agar beliau berkenan memberikan nama untuk anak ketiganya.

Berbekal kitab dan pengetahuannya selama belajar di pondok bertahun-tahun, Ustad Thalib memberinya nama “Syaiful Islam”. Nama adalah doa, dan begitulah yang diharapkan ustad Thalib dan orang tua bayi itu. Tak ada orang tua yang menginginkan keburukan bagi anaknya, demikian juga yang diinginkan ustad Thalib.


Waktu pun bergulir tanpa menunggu siapa-siapa. Dan seperti sudah tergariskan, anak itu tumbuh semakin dewasa. Semakin besar keinginannya untuk menjelajah. Dia begitu bahagia dengan nama itu. Nama yang indah beserta harapan dan doa yang melingkupinya.

Namun, seiring laju waktu yang tak bisa dihentikan, ada satu hal yang semakin hari semakin berkurang. Keceriaannya dan senyumannya yang merekah indah perlahan memudar.

Rasa-rasanya itu dimulai ketika namanya diubah. Serampangan. Tanpa dikonfirmasi dan ditanyai, dia harus takluk pada tradisi dan asumsi masyarakat sekitar. Kakak pertamanya yang bernama Sugianto diubah namanya menjadi Sito. Kakak perempuannya bernama Zulaiha, lalu lantas diganti menjadi Siha. Dan Syaiful Islam, entah oleh siapa tepatnya, diganti menjadi Silam.

Semenjak saat itu, Syaiful Islam yang selalu ceria dengan senyum menawan itu seakan ‘mati’. Dia berubah menjadi Silam, yang pendiam dan suka menyendiri.

Aku masih ingat bibirnya yang berubah pucat saat namanya ‘Silam’ dipanggil untuk mengaji sesuai giliran. Masih jelas terekam di memoriku matanya yang sembap, saat dia tidak bisa mengaji. Pikirannya kalut. Entah karena nama yang tidak pernah disukainya itu dipanggil. Entah apa alasan tepatnya.

Masih terekam jelas di benakku saat dia menghindar dari kelompok kami karena tidak tahan menjadi bahan makian. Menjadi olokan. Dia pun tersudut dalam pergaulan.

“O dasar Silam” kata teman masa kecilku dulu kepadaku. Dan bahkan nama Silam menjadi semacam kata olokan baru di kampungku.

Hanya karena nama yang disematkan orang lain kepadanya, dia menderita. Dia kehilangan senyumannya. Musnah sebagian kebahagiaannya.

Lantas kubayangkan, seandainya namanya tetap Syaiful Islam, tak akan ada yang merendahkannya. Menghinanya sedemikian rupa. Senyumnya akan terus merekah.

Terlepas dari ‘beban tidak mengenakkan’ dari nama itu, dia tetap berusaha berteman dengan semuanya dan terus berbagi. Aku masih ingat saat dia masuk ke dalam kubangan besar di sungai untuk menangkap ikan. Setiap kali dia menyelam dan masuk, dia berhasil menangkap dua ikan dengan tangan kosong.

Tujuannya hanya agar semua temannya mendapatkan cukup ikan untuk dibawa pulang. Dan ketika semua mengakui betapa hebatnya Silam dalam menyelam dan menangkap ikan, dia tersenyum. Rasa-rasanya saat itu “Syaiful Islam” sudah kembali.

Tapi hal itu berlangsung sejenak saja. “Silam” kembali menjadi bahan olokan. Dan keceriaannya kembali menghilang.

Mungkin, hanya aku yang tidak memanggilnya sebagai Silam. Kupanggil dia “Lam” saja. Dan dia selalu tersenyum saat aku memanggilnya begitu. Aku tahu bahwa tidak semua orang senang dan bahagia dengan namanya. Beberapa nama, seberapa pun bagusnya, kadang dipelesetkan sehingga menimbulkan trauma bagi penyandangnya.

Yang jelas dia menerimaku apa adanya, dan begitu juga aku. Dia mengajariku banyak hal, termasuk tentang persahabatan. Tentang menerima keadaan. Tentang tidak berhenti berbagi. Tentang menyimpan perih dan mengatasinya bersama-sama.

Suatu ketika aku mengajaknya untuk menanam tembakau di sawah. Lalu, seusai bekerja, ayahku memberinya uang. Matanya sembap. Dan seperti biasanya, tak banyak yang dikatakannya.

“Terima kasih Lam, sudah membantu kami” ucapku dalam bahasa Madura selama perjalanan pulang. Dia mendongakkan wajah. Mungkin dia menahan agar air matanya tidak tumpah.

“Panggil aku Lam saja” ucapnya di akhir waktu.

“Aku akan memanggilmu Lam saja” ikrarku dalam hati. “Sesuai keinginanmu”

*Terinspirasi kisah nyata.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »