Persahabatan, pengkhianatan, rasa bersalah,
dan penebusan dosa adalah empat kata dasar yang membungkus keseluruhan kisah yang disajikan secara ciamik oleh penulis Afghanistan – Amerika ini. Seperti
judulnya, buku ini awalnya berkisah tentang dua sahabat, yang hobi mengadu dan
mengejar layang-layang putus di sekitar Kabul, ibukota Afghanistan.
Amir dan Hassan adalah nama dari kedua sahabat
itu, yang menyusu dari ibu yang sama, besar bersama, dan tinggal di kompleks
tempat tinggal yang sama. Meskipun keduanya besar layaknya saudara,
keduanya berbeda nasib. Amir adalah anak dari si empunya rumah, sementara
Hassan adalah anak dari Ali yang bekerja sebagai pelayan bagi keluarga Amir.
Meskipun anak tunggal, Amir merasa menjadi
anak laki-laki yang gagal. Tidak pernah berhasil menjadi anak laki-laki yang
semestinya. Yang sesuai harapan ayahnya. Saat semua anak asyik dan piawai
bermain sepakbola, Amir bukan hanya tidak bisa. Dia bahkan jarang mendapatkan suplai bola. Dia tidak pernah dipercaya oleh teman-teman sepermainannya.
sumber: |
Padahal ayah Amir sendiri adalah mantan jagoan sepakbola. Selain itu, dia juga punya sentuhan ajaib. Apa pun bisa diubah sesuai keinginan. Mendapati fakta itu, dan fakta
bahwa sang ayah selalu kecewa karena Amir gagal mengikuti jejaknya membuat si
Amir kecil semakin terpuruk. Semakin tertekan. Dan semakin sering menyendiri.
Untunglah, pada momen-momen itu ada Hassan.
Hassan adalah sahabat, yang lebih dari sekadar sahabat biasa. Dia menjadi
curahan hati Amir ketika kecewa. Menjadi pendengar cerita-cerita yang dibacakan
atau dikarang Amir sendiri. Dia mau-mau saja menjadi pelampiasan kemarahan. Apa
pun yang dilakukan Amir, dia tidak bergeming. Tetap menganggap Amir sebagai
sahabat terbaiknya.
Tibalah akhirnya mereka berdua pada suatu momen,
yang memungkinkan Amir membalik putaran nasibnya. Membuatnya bisa memenangkan
kasih sayang dan cinta dari ayahnya, yang sudah begitu lama diidam-idamkannya. Momen
itu adalah turnamen adu layang-layang dan mengejar layang-layang terakhir yang
putus. Acara itu merupakan acara bergengsi di lingkungannya. Amir dengan
dukungan Hassan lantas percaya diri bisa memenangkan turnamen layang-layang
akbar itu.
Dalam adu layang-layang, Amir--setelah berupaya sangat keras--berhasil menjadi kontestan terakhir. Artinya, dia menjadi pemenang.
Untuk melengkapi prestasinya sebagai pemenang, dia harus mendapatkan layang-layang yang
terakhir dikalahkannya itu.
Hassan –yang sangat cakap mengejar layang-layang—lantas menawarkan diri
untuk itu.
Amir lantas mengiyakannya. Hassan pun mengejar layang-layang putus itu. Ketika layang-layang itu akhirnya berhasil diraih oleh Hassan, datanglah sekelompok anak nakal yang diketuai Assef, yang memiliki dendam kesumat kepada keduanya. Mereka memaksa untuk meminta layang-layang terakhir itu, yang ditampik langsung oleh Hassan. Dipenuhi amarah, gerombolan itu lantas menyiksa Hassan, secara verbal dan seksual.
Amir lantas mengiyakannya. Hassan pun mengejar layang-layang putus itu. Ketika layang-layang itu akhirnya berhasil diraih oleh Hassan, datanglah sekelompok anak nakal yang diketuai Assef, yang memiliki dendam kesumat kepada keduanya. Mereka memaksa untuk meminta layang-layang terakhir itu, yang ditampik langsung oleh Hassan. Dipenuhi amarah, gerombolan itu lantas menyiksa Hassan, secara verbal dan seksual.
Amir yang menyaksikan 'pemerkosaan' itu dari
kejauhan tidak berbuat apa-apa. Dia terombang-ambing antara dua pilihan: mendapatkan kasih sayang sang ayah atau menyelamatkan sahabat. Amir pun
mengambil keputusan pertama. Dia tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Hassan.
Dan betul memang, menjadi juara adu layang-layang dan mendapatkan layang-layang terakhir membuat perlakuan ayahnya berubah. Dia mulai mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan cinta dari ayahnya.
Dan betul memang, menjadi juara adu layang-layang dan mendapatkan layang-layang terakhir membuat perlakuan ayahnya berubah. Dia mulai mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan cinta dari ayahnya.
Meskipun begitu, di sisi terdalam lubuk hatinya,
dia merasa bersalah. Bersalah sekali. Pengkhianatan yang dia lakukan itu selalu
menghantuinya seumur hidup. Bahkan membuatnya insomnia. Keputusan itu selalu
disesalinya. Selalu membuatnya jijik pada diri sendiri.
Tak sanggup menanggung beban bersalah, Amir menciptakan skenario bahwa Hassan mencuri uang dan arloji hasil ulang tahunnya. Hassan dan Ali pun terusir dari rumah itu.
Setelah sejenak berlalu, Afghanistan diterjang perang antara Uni Soviet dan Mujahiddin yang diback-up Amerika. Amir dan ayahnya mengungsi ke Amerika, sementara Hassan dan ayahnya tetap tinggal di Afghanistan.
Setelah sejenak berlalu, Afghanistan diterjang perang antara Uni Soviet dan Mujahiddin yang diback-up Amerika. Amir dan ayahnya mengungsi ke Amerika, sementara Hassan dan ayahnya tetap tinggal di Afghanistan.
Itulah isi separuh buku awal. Separuh buku berikutnya
bercerita tentang perjuangan Amir dan ayahnya di Amerika. Juga hubungan mereka
berdua yang perlahan membaik. Amir pun mengejar cita-citanya menjadi penulis. Dan tak dinyana-nyana, sang ayah mulai bangga dengan pilihan anaknya itu. Di tengah suasana bahagia itu, Amir
menikah. Sementara itu, sang ayah mulai sakit-sakitan. Amir dan istrinya merawat sang ayah,
yang kemudian meninggal dengan bahagia.
Sampai ketika titik di mana dia merasa semuanya
sempurna, masalah mulai muncul. Sang istri tak kunjung dianugerahi momongan. Di
tengah kalut hati, ada telepon dari Rahim Khan yang merupakan sahabat
ayahnya.
Telepon itu akhirnya mengubah semua skenario kehidupan Amir. Telepon itu mendorongnya mendatangi Afghanistan yang dilanda prahara perang guna menebus dosa masa lalunya. Perjalanan itu mengubah pandangannya tentang sang ayah, tentang Hassan, tentang Sohrab. Dan yang terpenting, dia akhirnya bisa memaafkan dirinya sendiri.
Telepon itu akhirnya mengubah semua skenario kehidupan Amir. Telepon itu mendorongnya mendatangi Afghanistan yang dilanda prahara perang guna menebus dosa masa lalunya. Perjalanan itu mengubah pandangannya tentang sang ayah, tentang Hassan, tentang Sohrab. Dan yang terpenting, dia akhirnya bisa memaafkan dirinya sendiri.
Untuk sementara, sampai di sini saja ya review atau resensinya. Saya tidak akan
meneruskan ceritanya. Sebab, buku ini terlalu sayang bila hanya dibaca
ringkasannya atau resensinya saja. Dibalut diksi yang ciamik serta gaya bertutur yang asyik, buku
ini layak dijadikan bahan perenungan. Bagi kita yang suka bercita-cita menegakkan Khilafah di Indonesia, buku ini layak diintip.
Ya, sekadar melihat konflik sektarian dan perang yang tak kunjung reda
melanda Afghanistan, negeri yang bercita-cita menegakkan Khilafah.
Bagi kita sebagai orang tua, ada banyak pelajaran penting tentang parenting yang bisa kita petik. Oh ya, menurut penulisnya, buku ini bercerita tentang hubungan ayah dan anaknya. Bukan tentang hubungan persahabatan.
Bagi kita yang berkalung dosa dan kesalahan
masa lalu, buku ini menawarkan gagasan bahwa selalu ada jalan untuk menebusnya.
Selalu ada cara untuk memaafkan diri kita. Selalu ada akhir bahagia bagi yang
gigih berjuang.
Data buku:
Judul: The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qonita, Mizan
Terbit : Februari 2008
Tebal : 490 halaman
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Cover : Softcover