Menjadikan Orang Teristimewa - Ayahku Pahlawanku

taken from another blog.
Usianya sekira tujuh puluh tahunan. Kulitnya keriput di sana sini. Warna kulitnya cokelat matang. Mungkin karena tersengat cahaya matahari. Menurut penuturan orang, beliau berjalan sepuluh kilometeran ke pasar untuk menjajakan dagangan.

Namun, senyumnya masih tersungging sempurna. Deretan gigi yang tanggal, gusi yang berwarna kemerahan, kerutan di wajahnya yang seakan membentuk aliran-aliran kecil saling berlipatan terpampang jelas. Menawan. Tatap matanya tajam, tetapi meneduhkan. Bau tubuhnya beraneka ragam. Campuran sempurna antara remason, minyak gosok, serta minyak wangi yang menyengat.


Dia menatapku sendu, lalu perlahan air matanya mengalir pelan. Kuraih tangannya yang mulai melemah, dan aku mencium tangan itu penuh takzim.

Engak ke Epak en (ingat bapakmu) ujarnya dalam bahasa Madura, sambil menyeka air mata. Tatapnya perlahan nanar, tetapi tangisnya mulai mereda.

Aku hanya tersenyum simpul, lalu menatap wajahnya yang memang terlihat rapuh. Kulihat sekilas gelora semangat yang masih membara.

“Dulu bapakmu pas sudah kuat beli sepeda motor baru, langsung ngajak mbah muter-muter. Dia bercerita, itu nazarnya. Sepuluh kali apa ayahmu mengajak kami muter-muter di sini. Lalu mbah diajak ke warung. Makan soto di situ.” Wajahnya berbinar saat bercerita. Lalu di ujung-ujungnya, matanya sembap. Ada rasa kangen yang seakan tertahan.

Aku hanya bisa menatap sendu. Kerinduannya pada ayahku mungkin lebih besar daripada kerinduanku sendiri. Aku sendiri belum pernah bertemu secara sadar. Sebab itu, tak ada kenangan yang terbersit. Ya, selain mozaik cerita dari beragam sumber, tak ada gambaran utuh tentang ayahku. Ya, ayah kandungku itu.

Uniknya, cerita tentang muter-muter naik sepeda lalu makan soto tidak hanya bersumber dari satu orang. Ki Madin, seorang mantan preman yang konon karena kenakalannya terus mengalami sakit mata hingga akhirnya menjadi penyandang tuna netra, juga menceritakan kisah serupa.

Beliau diajak muter-muter almarhum ayah, lalu setelah lelah diajak ke warung soto. Keduanya merasa merekalah yang pertama. Teristimewa di hati ayah. Padahal, aku yakin ibukulah yang pertama kali diajaknya muter-muter, lalu setelah lelah diajak makan soto. Kebiasaan khas ayah.

Aku heran tentang bagaimana ayah memperlakukan orang lain. Semua orang yang mengenalnya merasa bahwa mereka jadi orang istimewa. Menjadi orang yang begitu beruntung. Aku sungguh tak tahu. Apa yang dilakukan ayah sehingga Ki Madin dan si Mbah Yani begitu kehilangan saat ayah mangkat?

Hmmm.

Saat tertegun dalam lamunan, Mbah Yani meraih tanganku, lalu memberikan lempitan uang sepuluhan ribu.

“Mbah hanya bisa mengumpulkan ini dari jualan di pasar. Tak bisa membalas kebaikan ayahmu. Gunakan untuk biaya sekolahmu ya” ucapnya tegas. Sekuntum senyum disunggingkannya. Dan kini giliran mataku yang sembap.


“Ah ayah, aku akan selalu merindukanmu. Selalu”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »