Membunuh tanpa Alasan (Di Balik Matinya *Keci)

Dia tiba-tiba mendekatiku. Rasa-rasanya dia memang berniat menyentuh dan menyusuriku. Dan benar saja, dia melakukannya. Geli, kutendangkan kaki, dan bruk, keci jatuh. Tetapi dia masih bisa membalik badan, dan kembali berlari cepat. Entah kenapa dia masih menyasarku. Apakah dia sudah mempelajari strategi perlawanan, dan merasa cukup kuat menghadapiku secara one on one lagi? Dari ilmu probabilitas, itu bisa saja.

Karena sudah paham gerakan selanjutnya, aku sudah ancang-ancang untuk menendang keci dengan tenaga sedang, dan ayunan kaki sekitar tiga puluh derajat dengan kecepatan 109 km/jam. Dan dari jarak sekitar 10 cm, keci datang lebih cepat daripada yang kuperkirakan.

Tak mau membuang waktu, kuayunkan kaki. Prekk. Keci terbang dengan badan dalam kondisi terlentang, lalu terjengkang. Kaget, kakinya lalu berayun ke udara dengan cepat. Berkali-kali. Tapi kali ini badannya tak bisa berbalik. Mungkin tenaganya sudah habis.

Tak kehabisan semangat, dia mengepakkan sayap kecilnya pada saat bersamaan dengan mendorong bagian belakang tubuhnya. Tujuannya hanya satu: membalikkan badan, dan menyelamatkan diri.

Tapi itu sudah terlalu terlambat, dan tenaganya sudah habis. Kali ini dia tidak balik badan untuk kemudian lari menyelamatkan diri. Tatapan matanya lesu. Keputusasaan sudah menyelimuti tubuhnya, aku tahu itu. Perlahan dia berhenti bergerak.

Apakah dia mengumpulkan tenaga untuk kemudian membalikkan badan dan menggangguku lagi? Aku tak tahu. Keci, sebagaimana makhluk lain, kadang tak terduga. Aku juga tak tahu tentang kemungkinan keci jatuh cinta pada manusia sampai kemudian aku mengenal Rico de Coro.

Seperti sudah kuhapalkan, yang aku lakukan selanjutnya adalah mengambil busa sabun, lalu kuteteskan di mukanya. Tubuhnya bergerak cepat. Matanya perih, mungkin. Atau dia tidak bernapas karena mulut dan hidungnya tertutup busa sabun. Entahlah, banyak yang aku tak tahu.

Perlahan tapi pasti, tubuhnya berhenti bergerak. Itu tanda kematian sudah menyapanya, dan merenggut kehidupannya, yang entah sudah berlangsung berapa lama. Lalu bagaimana nasib keluarganya? Apa mereka sedih? Atau sudah menganggap kematian sebagai rantai akhir dari nasib seekor keci?

Detik itu rasa kelu tiba-tiba menyergapku. Hatiku ciut. Seperti itukah kematian juga akan merenggutku. Tiba-tiba mataku teralihkan, melotot, dan napasku sesak. Lalu malaikat maut menyerabutnya dengan perlahan atau dengan cepat. Betapa sakitnya.

Entah kenapa kematian keci raksasa itu menyentakku. Aku bahkan belum mengenalnya. Belum tahu berapa jumlah anggota keluarganya. Apa benar dia pernah jatuh cinta? Aku tersenyum geli sendiri, memikirkan kemungkinan itu.

Dan kesadaran lain menyapaku. Betapa sering kita membunuh tanpa alasan. Kita menyakiti orang tanpa dasar. Kita menghakimi orang lain tanpa pernah merasa perlu tahu orang tersebut. Tanpa perlu menyelami latar belakangnya. Tanpa perlu bertanya.

Betapa sering kita mem-bully orang tanpa perlu tahu seperti apa perasaannya.

*keci adalah nama kecoa aku baru matikan tadi malam.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »