Courtesy: Ariezkha Ajah |
Itu sore paling indah menurutku. Kami hanya berdua, tanpa Kafka dan Keena. Suasana
tetap sendu, meskipun fajar yang kutunggu-tunggu tak
kunjung muncul. Apakah mungkin karena kali ini perjalananku ke timur? Tak
apalah tak bertemu senja kali ini, seruku di dalam hati.
Aku awalnya ragu mengambil rute pulang ini. Tetapi hati
sudah menetapkan pilihan. Ya sudah, kuikuti saja. Hati sudah berfungsi lebih
dari sekadar pemandu dalam perjalanan, dan dalam sebagian besar kasus aku
mengikutinya.
Dan, benar saja sekira perjalanan mencapai Kasembon
hatiku bahagia tak terkira. Berdua di dalam mobil bersamanya, sambil disaksikan jajaran beragam tanaman, yang
tak sempat kuhapal. Yang kuingat, durian dan kelengkeng adalah dua di
antaranya.
Di sudut sore yang syahdu itu, suara jangkrik
hutan menjadi suara latarnya. Dan bau tanah yang baru tersiram hujan menambah
ritmis suasana.
“Aku nggak terlalu suka lewat sini” ucapnya
perlahan. Gelap memang sore itu. Remang-remang tepatnya.
“Kamu takut gelapnya, atau takut suara
jangkrik hutan?” tanyaku berbasa-basi.
“Suara jangkriknya.” Dia memang tidak suka
suara-suara aneh dari dulu. Dari pertama kumengenalnya, dan dia tak berubah.
Lalu, sebagaimana sudah kutebak dia mulai
bercerita panjang. Beragam hal. Berlompatan dari satu topik ke topik lain. Tentang
film Korea yang ditontonnya, tentang kehidupannya dulu di pondok, tentang
siswa-siswanya, tentang Kafka dan Keena.
Lalu di tanjakan terakhir, kecelakaan sepeda
motor sempat menghentikannya bercerita. Kulirik sejenak, dan dia memang sedikit
cemas. Aku tahu jantungnya berdegup kencang, dan dia merapalkan doa-doa. Di
dalam hati. Sejenak keheningan menyelimuti hatiku, dan hatinya.
Sebentar kemudian, dia mulai kembali bercanda.
Banyolan khasnya. Aku tertawa, dan dia bahagia. Aku suka sekali mendengarnya
tertawa. Meletus. Seperti kembang api yang memang berlangsung sejenak, tetapi
seakan-akan menyala selamanya di hati.
Di ujung tawa, kuingat itu banyolan yang sama.
Cerita yang hampir serupa yang sering kudengar. Mengingatnya, aku tambah ingin
tertawa. Betapa usia sudah menggerogoti kekuatan ingatanku.
“Aku ingin selalu lupa cerita-ceritamu. Banyolanmu.
Agar setiap kau bercerita, itu seperti pertama kali aku mendengarnya” ucapku, tersenyum
sambil memegang tangannya, yang dia tempatkan di sebelah kiri persneling.
Dia tersenyum simpul. Manis. Manis sekali. Hatinya
dipenuhi bunga-bunga, aku tahu. Dan dia membelai tanganku dengan tangan
satunya.
*
Seorang ibu sedih tak terkira. Sudah setahun
berlalu, tetapi dia tak mampu lupa dan melepaskan bayangan tentang mantan
suaminya. Ya, mantan suaminya, ayah dari anak semata wayangnya. Selalu
terbersit siang ketika sang mantan mengajaknya sholat berjamaah.
Dia bertekad di dalam hati untuk mencoba
melupakan masa lalunya. Demi taat kepada Allah, dia akan berusaha melupakan,
dan berupaya maksimal mencintai suami kedua, dan ayah pengganti bagi anaknya
itu. Lupa suatu masa lalu demi menyongsong cinta masa depan.
*
Seorang anak bertekad melupakan kepahitan masa
lalunya. Dendam adalah racun, yang menggerogotinya pelan. Memerosokkannya ke
dalam lorong yang tidak pernah ingin disinggahinya. Mengganggu tidur-tidurnya.
Dia sadar itu.
Dia bertekad akan berteman dan bersahabat
dengan banyak orang. Dia percaya, masa lalu hanya bisa diobati masa kini yang
dikelilingi orang-orang terkasih untuk menciptakan momen-momen indah.
*
Seorang gadis berusaha melupakan mantannya,
tapi tak kunjung berhasil. Masih terekam begitu jelas adegan malam kelabu itu.
Sang mantan memegang tangannya, lalu berucap pelan “Aku mencintaimu”. Dunia
tiba-tiba diam tak bergerak sama sekali saat itu. Perlahan dia melihat butiran air
mata yang hangat mengalir ke sela pipi mantannya itu. Ingin dia menyekanya,
tetapi itu hanya akan menambah luka.
Hatinya ikut-ikutan sesak. Ruang tiba-tiba
menyempit, dan waktu berderap begitu pelan. Segala harap yang sudah
dipancangkannya musnah. Dan momen itu melumpuhkannya, meskipun dia sudah mengantisipasi
momen itu lama. Lama sekali.
Dan di pagi hari yang sama, dia masih berharap
agar waktu berkenan menghapuskan momen itu dan menyeka lukanya.
*
Sore itu, alam mengajariku bahwa pada akhirnya
lupa adalah sepotong cinta, yang diselipkan Tuhan di tengah hangat cinta, dan
di kala berat duka.