Mendengar Joey Alexander orang Indonesia dan dua
nominasi Grammy yang diterimanya saja sudah merupakan berkah. Bagaimana tidak
berkah, di tengah semua orang yang sibuk membahas tentang bolehkah kita merayakan
valentine, bolehkah kita memilih Ahok, bandara TNI yang dijual kepada Singapura,
tiba-tiba ada seorang anak berambut panjang, berkulit sawo matang, dan tersenyum
menawan mendobrak dengan prestasi yang menjulang: nominee termuda kategori jazz
sepanjang berlangsungnya Grammy. Kategorinya pun tak kalah membelalakkan mata:
Jazz.
taken from kompas.com |
Bagaimana tidak kagum, lha wong saya sendiri tidak
paham dan tidak bisa menikmati alunan musik jazz. Jazz bagi saya suatu misteri.
Apa pun yang saya tidak paham adalah misteri. Dan pada setiap misteri saya
kagum. Sama seperti alam pikiran wanita. Pada setiap perubahan suasana hatinya
yang berlangsung secepat kilat, saya menyimpan kekaguman luar biasa.
Dan lagi dari yang saya dengar, jazz adalah musik
orang atas. Musik orang ningrat, yang jarang bergelut dengan pahit getir
masyarakat jelata. Musik orang-orang yang mencari ketenangan di tengah
hiruk-pikuk dunia modern. Dibesarkan dengan iringan dangdut ala Soneta, lalu
disuguhi suara pas-pasan dan goyang seronok ala penyanyi dangdut koplo Pantura,
bagaimana saya bisa (diminta) menikmati alunan musik yang kadang tidak
beraturan itu.
Pun begitu, saya tetap mencoba mendengar musik
yang dimainkan Joey. Selain agar terlihat kekinian, saya penasaran. Betul, dari
mana lagi saya bisa mendengarnya selain Youtube.
Dia memainkan lagu Over the Rainbow dengan piano Steinway & Sons-nya. Di awal
pembukaan nadanya, saya seakan langsung dibawa nelangsa. Lemas. Lalu diajak terbang
melintasi angkasa, sambil di setiap meternya menikmati setiap nada yang
dimunculkan tuts-tuts piano itu yang ditekan perlahan. Penuh penghayatan.
Tiba-tiba pula saat terbang itu rasa bahagia dan
sedih bercampur. Ingin saya memeluknya langsung, menyampaikan rasa bangga saya,
dan memintanya terus bahagia mengejar hasrat hidupnya.
Bagaimana dia begitu hebatnya? Saya bingung.
Kapan saya akan seperti itu? Sementara saya, yang semenjak lama berkata-kata di
mana bahwa menulis adalah cinta saya, hidup saya, bahkan tidak pernah
menghasilkan karya apa-apa.
Dan ketika pada suatu ketika dia diwawancari
wartawan VOA tentang bakatnya bermusik, dia berkata dengan begitu polosnya: Musik adalah hidup saya, jadi saya selalu
punya waktu untuk menjalaninya.
Ah, kata-kata itu menusuk saya dengan begitu
telak. Tepat ke jantung. Tiba-tiba saya merasa tidak punya hidup, dan tidak
punya cinta, yang saya jalani dengan bangga.
Saya tiba-tiba menjadi seperti seekor kecoa,
yang disembur dengan busa kumur sehabis sikat gigi: menggelepar kehabisan
napas. Mengejang kehilangan nyawa.