Karyamu Itu Seperti Tai - Entri Jurnal #21

Dulu kukira, menulis itu upaya menciptakan nilai. Kita tentu ingin menciptakan sesuatu yang berguna, dan memiliki nilai bagi orang lain. Kita menghadirkan nilai terbaik. Nilai itulah yang akan dijadikan sarana oleh orang lain untuk menilai citra dan kemampuan kita.

Jadi, bila tak ada nilai yang kita hadirkan, ya sudah tidak usah menulis. Tidak usah berkarya. Diam saja.

Apalagi bila otak perfeksionis sudah mengambil alih panggung, habislah sudah keinginan untuk berkarya. Penggantinya, ya diam saja.

Rupanya pikiran semacam itu agak berbahaya bagi diri ini. Kemampuan berbahasaku perlahan memudar. Sentuhan pun rasanya hilang.

Padahal, setiap hari profesiku mengharuskan kemampuan berbahasa itu.

Podcast Mencerahkan

Rupanya, alam menyeretku untuk tersadar. Dalam podcast Fellexandro Ruby dengan Dewi Lestari, bisa kusimpulkan bahwa berkarya tak harus selalu menghasilkan karya bagus. Adakalanya kita berkarya, seberapa pun jeleknya, agar tercipta ruang untuk karya lain. Untuk benda lain. Kita perlu mengosongkan ruang di dalam otak dengan menuliskannya dan mengeluarkannya.

Mau tak mau, kita harus mengeluarkan karya seberapa pun tai-nya karya kita. Sebab, harus ada ruang di perut untuk makanan lain. Dan agar tercipta siklus penuh: mulut, lalu kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan rektum. Dengan mengeluarkan karya/tai, kita menciptakan ruang agar siklus itu berputar lagi.

Itulah mengapa beberapa karya seperti tai. Dan tak apa juga seperti. Sebab, tai semacam itu berguna setidaknya bagi yang mengeluarkannya.

 


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
$-)
(y)
(f)
x-)
(k)
(h)
cheer