Dulu kukira, menulis itu upaya menciptakan nilai. Kita tentu ingin menciptakan sesuatu yang berguna, dan memiliki nilai bagi orang lain. Kita menghadirkan nilai terbaik. Nilai itulah yang akan dijadikan sarana oleh orang lain untuk menilai citra dan kemampuan kita.
Jadi, bila tak
ada nilai yang kita hadirkan, ya sudah tidak usah menulis. Tidak usah berkarya.
Diam saja.
Apalagi
bila otak perfeksionis sudah mengambil alih panggung, habislah sudah keinginan
untuk berkarya. Penggantinya, ya diam saja.
Rupanya pikiran
semacam itu agak berbahaya bagi diri ini. Kemampuan berbahasaku perlahan memudar.
Sentuhan pun rasanya hilang.
Padahal,
setiap hari profesiku mengharuskan kemampuan berbahasa itu.
Podcast Mencerahkan
Rupanya,
alam menyeretku untuk tersadar. Dalam podcast Fellexandro Ruby dengan Dewi
Lestari, bisa kusimpulkan bahwa berkarya tak harus selalu menghasilkan karya
bagus. Adakalanya kita berkarya, seberapa pun jeleknya, agar tercipta ruang
untuk karya lain. Untuk benda lain. Kita perlu mengosongkan ruang di dalam otak dengan menuliskannya dan mengeluarkannya.
Mau tak
mau, kita harus mengeluarkan karya seberapa pun tai-nya karya
kita. Sebab, harus ada ruang di perut untuk makanan lain. Dan agar tercipta
siklus penuh: mulut, lalu kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan rektum.
Dengan mengeluarkan karya/tai, kita menciptakan ruang agar siklus itu
berputar lagi.
Itulah
mengapa beberapa karya seperti tai. Dan tak apa juga seperti. Sebab, tai semacam itu berguna setidaknya
bagi yang mengeluarkannya.