Manusia Paling Berbahaya: Tahu tapi Tak Peduli - Entri Jurnal #33

Beberapa waktu lalu, Bagus Mulyadi melakukan podcast bersama Ferry Irwadi di Malaka Project. 

Di dalam podcast itu, dijelaskan bahwa inkompetensi lebih berbahaya daripada kejahatan, terutama bila inkompetensi dimiliki orang yang jabatannya tinggi.

Misalnya, pilot pesawat yang inkompeten lebih berbahaya daripada maling ayam. Risiko nyawa melayang dan bahaya lain jadi taruhannya. Jelas, pilot yang inkompeten lebih berbahaya. 

Obrolan itu mengingatkan saya pada kategori manusia menurut Al Ghazali. Menurut beliau, ada empat kategori manusia. 

Kategori satu: Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, yaitu golongan manusia yang tahu dan sadar bahwa dirinya tahu. Golongan manusia ini biasanya berilmu dan menyadari bahwa dirinya memiliki ilmu.

Kategori dua: Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, yaitu golongan manusia yang tahu tapi tidak sadar bahwa dirinya tahu. Golongan manusia ini sebenarnya berilmu, tapi tidak menyadari bahwa dirinya memiliki ilmu tersebut.

Kategori tiga: Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu golongan manusia yang tidak tahu tapi sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan manusia ini belum berilmu, namun menyadari dan mengakui bahwa dirinya belum tahu.

Kategori empat: Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu golongan manusia yang yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan manusia ini tidak berilmu dan tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu.

Saya kira yang paling berbahaya adalah manusia keempat. Ternyata menurut Seth Godin, yang paling berbahaya justru yang tidak peduli alias Uncaring. Ia tahu bahwa ia tidak mampu, tetapi tidak mau meningkatkan kompetensi diri.

Tahu apa yang salah, tetapi tidak mau melakukan apa-apa karena takut berbuat salah. 


Nilai itu Kita Simpan atau Kita Ciptakan? - Entri Jurnal #32

Salah satu tetangga, sebut saja Robert, selalu menyimpan barang yang bahkan sudah tidak dia perlukan. Baju misalnya. Baju masa kecilnya yang sudah robek tidak mau dia buang atau diubah peruntukannya menjadi serbet misalnya.
 
Apa penyebabnya?
 
Robert pernah mengalami kesulitan ketika kecil. Ia pun jadi cemas saat membuang suatu barang karena bisa jadi barang itu masih diperlukan. Itulah nilai. Nilai yang kita internalisasi.
 
Nilai semacam ini disebut juga nilai eksperiensial, menurut Viktor Frankl.
 
Lengkapnya, Viktor Frankl mengategorikan nilai menjadi tiga.
 
1.       Nilai pengalaman (experiential).
2.       Nilai kreatif (creative).
3.       Nilai sikap (attitudinal).
 
Nilai pengalaman itu berasal dari pengalaman dan interaksi kita dengan dunia sekitar. Termasuk di dalamnya jalan-jalan di hutan, momen mendalam, atau sekadar melihat senja.
 
Nilai kreatif muncul dari tindakan mencipta—apa yang kita kontribusikan kepada dunia melalui keterampilan, bakat, dan kerja keras. Misalnya, seperti menulis tulisan ini. Ini semacam pengejawantahan dari nilai kreatif.
 
Nilai sikap merujuk pada bagaimana respons kita terhadap penderitaan, kesulitan, atau keadaan di luar kendali. Misalnya, kita harus bayar SPP anak, harus bayar tagihan listrik, dan beli makanan kucing, sementara keuangan kita sedang tidak stabil. Lalu, kita tersenyum dan mengumpulkan ketenangan untuk memecahkan masalah ini.
 
Jadi, ada nilai yang kita petik lalu kita resapi dan tanamkan di dalam diri, lalu kita pelihara untuk kemudian tumbuh menjadi nilai eksternal. Nilai dari pengalaman itu kita semai lalu kita jaga dengan nilai dari sikap dan menumbuhkan nilai kreatif, yang dengannya kita menciptakan nilai atau create value. #insideout
 
 
 



 

Kekurangan Ragi atau Kebanyakan Ragu? - Entri Jurnal #31

Setelah menulis Gus Dur & Isuk Tempe Sore Dele, saya share tulisan itu kepada teman saya yang curhat tentang atasannya itu.
 
Saya pun menyertakan tulisan di bawah ini:
 
“Ternyata isuk tempe, sore dele itu maksudnya: yg sdh diputuskan mentah lagi jadi kedelai Mar. Padahal untuk sampai tempe, dahlah rapat dan diskusinya panjang nian.”
 
 “Fermentasinya gak berhasil. Mungkin raginya kedaluwarsa” ujarnya sambil menyertakan emotikon ketawa.
 
Saya pun ikut ketawa dengan simpulannya.
 
Lalu, ragi kedaluwarsa itu mengusik pikiran saya. Apa yang membuat kedelai gagal terfementasi sempurna?
 
Ternyata, ada berbagai tahapan pembuatan tempe.

Pertama bahan.

Ada dua bahan: kedelai dan ragi. Pastikan keduanya berkualitas baik.

Kedua proses.

Prosesnya:

Persiapan bahan:
  • Pembersihan: Cuci kedelai hingga bersih untuk menghilangkan kotoran.
  • Perendaman: Rendam kedelai dalam air bersih selama 8–12 jam. Proses ini membuat kedelai lunak dan memulai dehulasi (pengelupasan kulit).
  • Pemasakan: Rebus kedelai hingga matang selama 30–60 menit untuk membunuh mikroorganisme lain dan mempercepat fermentasi.
  • Pengelupasan kulit: Hilangkan kulit kedelai yang sudah lunak dengan tangan atau alat khusus.
  • Pengeringan: Tiriskan kedelai agar tidak terlalu basah.
Pencampuran ragi:
  • Tambahkan ragi tempe ke kedelai yang sudah dingin (suhu sekitar 30°C). Campur secara merata dengan takaran 1 gram ragi untuk 1 kg kedelai.
Pengemasan:
  • Masukkan kedelai yang telah dicampur ragi ke dalam plastik atau daun pisang.
  • Plastik biasanya diberi lubang kecil agar udara masuk, membantu pertumbuhan jamur.
Fermentasi:
  • Simpan kedelai yang sudah dikemas di tempat bersih, dengan suhu 30–35°C, selama 24–48 jam.
  • Periksa secara berkala untuk memastikan tidak ada kontaminasi.

Ketiga lingkungan.

Ada tiga lingkungan yang harus dipastikan saat membuat tempe.
·         Suhu: Suhu optimal adalah 30–35°C. Jika terlalu panas (>40°C), jamur mati; jika terlalu dingin, fermentasi lambat.
·         Kelembapan: Lingkungan dengan kelembapan sedang diperlukan agar proses fermentasi berjalan baik, tetapi kedelai tidak boleh terlalu basah.
·         Sirkulasi udara: Udara yang cukup membantu pertumbuhan jamur, karena jamur membutuhkan oksigen.

Keempat kompetensi teknis.

Periksa
beberapa hal berikut:
·         Kebersihan: Proses harus steril untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme lain.
·         Ragi berkualitas: Gunakan ragi segar dan simpan di tempat kering sebelum digunakan.
·         Konsistensi suhu: Hindari fluktuasi suhu agar fermentasi berjalan optimal.
 
Dari penjelasan di atas, ternyata kegagalan proses fermentasi bukan hanya terletak pada ragi. Bisa saja karena kebersihan, konsistensi suhu, atau proses persiapan, pencampuran, atau pengemasan.

Kalau tidak mau memulai proses untuk melaksanakan rencana, berarti penyebabnya bukan kekurangan ragi, tetapi kebanyakan ragu hehe.

 
 
 

Gus Dur & isuk tempe sore dele - Entri Jurnal #30

Salah seorang teman bercerita tentang atasannya, yang punya banyak rencana. Sayang, rencana tak terlaksana.

Rencana A, yang dilakukan B.

Ceritanya mengingatkan saya pada salah satu humor khas Gus Dur. Beliau pernah menyampaikan sindiran jenaka tentang sifat bangsa-bangsa di dunia, terutama terkait pekerjaan. Menurut Gus Dur, ada empat macam sifat bangsa di dunia ini:

Satu, sedikit bicara, sedikit kerja — contohnya Nigeria dan Angola

Dua, sedikit bicara, banyak kerja — seperti Jepang dan Korea Selatan.

Tiga, banyak bicara, banyak kerja — misalnya Amerika Serikat dan China.

Empat, banyak bicara, sedikit kerja — contohnya Pakistan dan India.

Lalu salah seorang pendengar bertanya, “Kalau Indonesia kira-kira masuk kategori yang mana, Gus?”

Gus Dur lantas menjawab dengan santai, “Indonesia tidak masuk ke dalam empat kategori itu.”

“Lho, kok bisa, Gus?”

Sambil tersenyum dengan gaya khasnya, Gus Dur menjawab, “Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan beda.”

Beda Rencana, Beda Kerja


Kondisi seperti ini mengingatkan saya pada istilah yang dipopulerkan salah seorang dosen saat masih kuliah di UMM.

Beliau bercerita tentang falsafah Jawa: Isuk tempe sore dele. Jika diartikan secara harfiah, maknanya "pagi tempe sore kedelai."

Yang diucapkan berbeda setiap waktunya. Dan yang sudah pagi diputuskan untuk jadi tempe, malah mentah lagi menjadi kedelai pada sore harinya.

Beh, ancor pessena tellor
 


Sesal karena tak mencoba - Entri Jurnal #29

Ada teks berbahasa Inggris yang bagus:

Don’t wait for later. Don’t say ‘I will do it tomorrow’ Don’t put your dream project on hold saying I will search about it more later. Or I will give it a try maybe a few weeks later?
Because later, things change and you no longer feel the same excitement. Later the inspiration evaporates into thin air and you end up with the pain of sabotaging your own dream.
Later, you no longer feel moved by the same idea as you did the first time it entered your mind. Later the coffee gets cold and the people leave because they don’t feel seen or loved by you. No one, nothing at all waits for later.’ People move away. And the ideas die a slow death. Later becomes a graveyard of everything you once loved but weren’t ready to give it a shot. Choose now. Choose to do it today. So what if you don’t know where to start or how to do it? You can and will learn everything as you try, fail, and mess it up. But you will get to experience and love everything that matters to you in the moment. Give it all your heart, whether it’s people or that dream. Don’t let it wait. Don’t keep people on hold. Don’t put your dreams on a pedestal of ‘Should I or should I not do it.’ It’s yours if you choose it. It will never be yours if you wait for later? Because later, everything turns into a graveyard of regrets. (Renuka Gavrani)

Kuterjemahkan di bawah ini.

Jangan tunggu nanti. Jangan bilang, "Besok saja kukerjakan." Jangan tunda proyek impianmu dengan alasan, "Tak cari nanti" atau "Mungkin tak coba beberapa minggu lagi."

Karena nanti, segalanya bisa berubah. Kamu mungkin tak lagi segembira dulu. Nanti, inspirasi itu menguap dan lalu kamu jadi sakit hati karena telah menyabotase impianmu sendiri.

Nanti, kamu tak lagi tergerak oleh ide yang dulu membuatmu begitu bersemangat. Kopinya sudah dingin, dan orang-orang beranjak pergi karena merasa tidak kamu perhatikan atau cintai. Tak ada satu orang pun atau benda pun yang menunggu "nanti". Orang-orang menjauh, dan ide-ide itu mati perlahan.

“Nanti” menjadi makam atas  semua yang pernah kamu cintai tetapi tak pernah berani kamu coba.

Pilihlah sekarang. Pilih untuk kamu lakukan sekarang.

Tak masalah jika kamu bingung harus mulai dari mana atau bagaimana caranya. Kamu akan belajar sepanjang perjalanan dengan mencoba, gagal, dan berbuat kekeliruan. Tapi satu hal yang pasti, kamu akan mendapat pengalaman dan mencintai semua yang berarti bagimu saat ini.

Berikanlah sepenuh hatimu—untuk orang lain dan impianmu. Jangan biarkan mereka menunggu tanpa kepastian. Jangan bikin orang lain lelah menunggu. 

Jangan gantungkan impianmu pada kalimat tanya, "Haruskah kulakukan sekarang atau tidak?"

Impian itu milikmu jika kau pilih sekarang. Tapi jika kamu masih saja menunggu dan berkata nanti, segalanya akan berubah jadi makam penuh sesal.

Ada versi lain lagi, yang berbunyi:



Jangan tunggu nanti. Jangan bilang ke diri sendiri, “Aku kerjakan besok deh,” atau “Aku coba kalau udah siap.” Faktanya, "nanti" sering kali tidak pernah datang. Waktu tidak mau menunggu, dan begitu pun kesempatan.

Nanti, semangat yang pernah bikin kamu bergairah berubah jadi ragu. Ide yang dulu menggugah jiwamu kini malah samar-samar. Nanti, kopimu keburu dingin, dan orang-orang yang dulu berarti perlahan menjauh. Hidup tidak bakal berhenti hanya untuk menunggu kita mengumpulkan keberanian. Hidup terus berjalan. Orang datang dan pergi. Impian memudar. Waktu berlalu.

Kamu tidak perlu mengerti semuanya untuk memulai. Mulailah dengan berantakan. Mulailah meski takut. Mulailah meski ragu. Terpenting, kamu memulai. Keajaiban terjadi saat kamu ambil langkah pertama itu.

Jangan biarkan “nanti” mencuri hidup yang seharusnya kamu jalani. Pilih untuk bertindak hari ini, karena "nanti" tidak ada yang tahu.

Hari ini adalah kesempatanmu memulai. Jangan biarkan kesempatan itu hilang begitu saja.
 

Cara Terkejam Menghukum Seseorang - Entri Jurnal #28

Seorang teman baru bercerita betapa ia senang ditanya kondisi saat sedang terbaring sakit. Baginya, itu tak menerobos batas privasi yang ia tetapkan.

Malah, lebih kepada sebentuk kepedulian.

Orang peduli tentang kehadirannya. Ia punya makna.

Ternyata betul dugaan kita semua, kepedulian sekecil apa pun selalu berguna.

Bahkan bila kepedulian itu dalam bentuk kebencian.

Diabaikan dan tidak dihiraukan selalu lebih sakit. Rasa sakit karena diabaikan dan dianggap tidak ada sering kali lebih menyakitkan dibandingkan dibenci.

Ketika seseorang dibenci, itu setidaknya menunjukkan ada perhatian atau emosi yang diarahkan kepada mereka. Namun, diabaikan membuat seseorang merasa tidak terlihat, tidak berharga, dan tidak dianggap penting.



Ada sekitar empat penjelasan.

Pertama, rasa tidak diakui. Ketika diabaikan, seseorang merasa identitas dan keberadaannya tidak dihargai. Akibatnya bisa berubah menjadi luka emosional yang dalam.

Kedua, kehilangan koneksi. Sebagai makhluk sosial, kita butuh interaksi dengan orang lain. Ketika diabaikan, seseorang kehilangan rasa keterhubungan itu. Akibatnya rasa sepi dan sendiri.

Ketiga, meningkatkan rasa tak percaya diri. Diabaikan sering kali membuat seseorang meragukan makna diri, bertanya-tanya apakah mereka cukup baik atau layak.

Keempat, efek psikologis yang dalam. Penelitian menunjukkan bahwa rasa diabaikan memengaruhi otak dengan cara yang sama seperti rasa sakit fisik. Artinya, dampak emosional pengabaian itu begitu serius.

Thus, bila ingin menyiksa seseorang, cukup abaikan saja. Itulah hukuman terkejam yang bisa kita berikan. Bila masih peduli, kita tunjukkan kepedulian.

Sayangnya, kita sekarang lebih senang menerimanya, bukan sebaliknya. Memberikannya meski seminimal tersenyum...

Bagaimana makna tercipta? Entri Jurnal #27

Tanya seorang teman tempo hari. Nadanya serius. Bisa saya bayangkan kerutan di dahi saat ia bertanya begitu.

Lalu saya jawab, makna kehadiran rasanya tercipta dari nilai atau value yang kita ciptakan. Nilai adalah esensi dari tindakan yang berdampak, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Nilai ini ibarat benih yang, ketika ditanam dengan niat yang tulus dan tujuan, akan tumbuh menjadi sesuatu yang bermakna dan berdampak.

Value tidak harus selalu besar untuk menancapkan makna. Tindakan kecil sekalipun, jika dilakukan dengan kesadaran dan konsistensi penuh, dapat membawa perubahan yang berarti. Minimal pada diri sendiri.

Misalnya, sebuah senyuman. Ia tidak hanya menunjukkan keramahan, tetapi juga bisa menjadi awal dari hubungan yang mendalam.

Dengan tersenyum, kita membantu tubuh melepaskan hormon dopamine dan serotonin. Suasana hati kita pun bisa lebih baik dan memicu rasa bahagia.

Dengan sesederhana tersenyum, kita menciptakan makna bagi diri sendiri atau mencintai diri sendiri/love yourself.

Apalagi bila kita bisa mencipta value besar seperti merakit teknologi, merintis organisasi sosial, atau mendorong gerakan komunitas. Value seperti ini dapat menciptakan makna yang berdampak pada skala yang lebih luas dan menjangkau banyak orang.



Namun, bila tak mampu mendaki bukit terjal, bolehlah kita menciptakan nilai semampunya, semisal mulai tersenyum pada diri sendiri

Bila terbiasa tersenyum pada diri sendiri, kita pun akan mudah tersenyum kepada orang lain.

Pelaku Tak Pernah Mengejek Pemula - Entri Jurnal #26

Bayangkan saat kita sedang belajar naik sepeda. Awalnya, kita terjatuh berkali-kali, lecet, dan wajah pun memerah karena malu.

Ayah kita tersenyum sambal menyemangati “Nggak apa-apa, coba lagi. Semua orang juga pernah jatuh.”

Di sisi lain, ada teman dan tetangga yang hanya berdiri di pinggir jalan. Ia tertawakan setiap kita jatuh. Tidak mencoba membantu, hanya mengomentari saja.

Kita akhirnya belajar bahwa yang menyemangati adalah mereka yang pernah mencoba dan mengerti artinya perjuangan.

Sedangkan yang menertawakan? Mereka hanya penonton yang tidak berani ikut bermain.

Begitu pun pengusaha yang sukses, content creator yang berpengalaman, dan atlet professional, mereka tidak akan mengejek.

Mereka tahu rasanya mulai dari nol. Yang mencemooh justru mereka yang tidak melakukan apa-apa.

Jadi, mengapa harus mendengar yang seperti itu? Tetap maju. Bukankah tujuan kita adalah menjadi lebih baik, bukan untuk memuaskan komentar mereka?

Kata seseorang pagi ini saat melihat tweet dari @jejakrasa:


Pengusaha ga akan ngatain lo ketika lo baru mau mulai bisnis, content creator ga akan ngatain lo ketika lo baru mau  mulai bikin konten dan atlit juga ga akan ngatain lo ketika akhirnya lo olahraga. 

Yang ngatain lo ketika baru melakukan sesuatu adalah orang-orang yang ga melakukan apa-apa dan ga jadi apa-apa. 

Masa iya mau dengar orang kayak gitu dan ga maju.


Rapal Doa Ibu

Biar badai itu ibu dekap
Kupeluk erat
Hingga ia perlahan layu
Menguap sunyi lalu lenyap.

Biar hujan itu ibu tadahi
Kukumpulkan setetes demi setetes
Sampai ia menyuburimu perlahan
Hingga berbuah lebat.

Kau tak perlu tahu luka
Biar ibu yang menyeka
Kau tak perlu merasa duka
Biar ibu yang meresapi.

Nikmatilah birunya langit
dan semilir angin yang menenangkan.
Petiklah seroja senja yang memerah
Ciumlah harum semerbaknya.

Tapi kau akan temui sesekali
Bunga yang enggan mekar
Ranting yang patah kering
Atau daun yang tergilas roda waktu.

Tabahlah, anakku
bahagia selalu menanti
di balik hujan air mata
dan di balik momen terendah
yang sering kau takutkan.



14-01-2025

Abadi itu Makna, yang Berubah Manusianya - Entri Jurnal #25

Saya mendapat pengingat foto dari FB sekira beberapa tahun lalu. Momennya: saya mengiris kue ulang tahun yang dibelikan teman-teman sambil disaksikan seorang anak kecil, Haidar, anak dari salah satu rekan kerja.

Ia tatap kue itu lekat-lekat seakan berkedip sejenak saja kue itu akan lenyap.

Foto itu diposting sekitar 11 tahun lalu saat dunia masih dipenuhi canda, tawa, dan bahagia. Saat itu, kamera belum canggih dan kapasitas penyimpanan masih kecil. Uniknya, hape “jangkrik” kita berisi banyak momen bahagia bersama teman dan rekan kerja. Momen ulang tahun. Momen berkunjung dan makan bersama. Ada saja momen dan perayaan yang diadakan secara sengaja atau tak sengaja.
 
Kini saat hape kita lebih canggih dan kapasitas lebih besar, isinya malah lebih banyak selfie saja.
 
Apa sebab?
Bila dipikir-pikir, manusia berubah. Begitu pun nilai dan tujuannya. Lalu, maknanya, dan menjalar ke seluruh interaksinya.
 
Kita tak bisa mengelak dari situ. Perubahan itu niscaya. Sunnatullah, kata seorang ustadz. Pada akhirnya kita juga akan berubah.
 
Begitu juga momen-momen yang kita rekam. Interaksi yang kita jalin. Dan persahabatan yang kita bina.
 
Apa yang dulu kewajaran akan berubah jadi tak lazim. Sebaliknya, apa yang dulu biasa saja bisa jadi akan bermakna. Seiring waktu.
 
Itulah mengapa kita perlu selalu menetapkan tujuan dan merapalkan niat, lalu menciptakan nilai demi nilai agar kehadiran kita memberi makna. Makna selalu datang meski kadang terlambat dengan membawa nilai dan kenangan yang tercipta olehnya.
 
Minimal ia datang bagi diri kita sendiri hehe


Makna dari Kehadiran - Entri Jurnal #24

Minggu lalu, salah satu tetangga dan sahabat mengirimkan pesan WA.

"Iki mung ngenteni sampeyan tok Pak" (Bahasa Indonesianya: Ini cuman menunggu sampeyan Pak) yang disertai foto makanan untuk konsumsi kerja bakti.

Intinya: saya ditunggu untuk ikut makan konsumsi itu. Hari Ahad itu memang kami sedang mengadakan kerja bakti. Karena ada acara yang tidak bisa ditinggal, saya pun pamit tidak bisa lanjut kerja bakti.

Di tengah perjalanan itulah saya mendapat WA tersebut. Lalu, saya balas untuk lanjut makan dan tidak perlu menunggu karena agenda saya masih lama. Hati saya sumringah.

Pesan WA sederhana itu mengingatkan saya pada podcast Bagus Mulyadi dan Sabrang. Diceritakan di situ bahwa sejatinya di dunia kita harus punya makna atau meaning.

Makna itu sederhananya signifikansi kehadiran dan kontribusi kita di dunia. Apakah dunia akan kehilangan "sesuatu" bila kita tidak ada? Apakah kita akan dirindukan sepeninggal kita?

Itulah makna.

Misalnya saat seorang atasan keluar dari sebuah organisasi, apakah dia akan dirindukan oleh organisasinya? Apakah tinggalan-tinggalannya akan berkesan dan bermanfaat bagi penerusnya?

Dan di situlah saya merasakan makna saat saya ditunggu dan dinanti.


Begitu pula di keluarga. Adakalanya saya menunggu dan menanti, lalu merayakan kehadiran dan makna seorang anggota keluarga.


Adakalanya saya ditunggu dan dinanti... Dan fokus kita untuk berkontribusi rasanya di tempat makna kita dirasakan dan dirayakan, bukan di tempat kita taken for granted.


Kebiasaan dan Budaya - Entri Jurnal #23

Dulu saya tidak tahu kaitannya. Saya kira kebiasaan dan budaya itu dua hal yang berbeda. Tak terkait.

Ternyata keduanya terkait erat dan saling menopang.

Kebiasaan adalah tindakan yang dilakukan oleh individu secara berulang hingga menjadi pola yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kebiasaan bangun pagi, membaca buku sebelum tidur, atau menyapa tetangga.

Bila kebiasaan yang sama dilakukan oleh banyak individu dalam suatu kelompok atau komunitas, kebiasaan itu tumbuh menjadi budaya. Misalnya, budaya gotong royong di Indonesia berakar dari kebiasaan individu yang saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya adalah cerminan kolektif dari kebiasaan individu. 

Artinya, setiap orang berperan untuk membentuk budaya di sekitarnya. Bila konsisten dalam kebiasaan positif, seperti menjaga kebersihan, kita sebenarnya sedang menanam benih budaya yang akan tumbuh dan diwariskan kepada generasi berikutnya.