Menemukan Jalan, Bukan Alasan

"Jika benar-benar ingin, kau akan temukan jalan. Jika tidak, kamu akan mencari alasan" kata suatu adagium.

Itulah yang terjadi pada salah satu inovator terkemuka dunia, Steve Jobs. Ia pernah memulai perjalanan itu dari sebuah garasi kecil. Bersama rekannya, Steve Wozniak, ia bermimpi menciptakan komputer pribadi yang bisa digunakan oleh semua orang. Terdengar mustahil pada masa itu. Modal mereka sangat terbatas, teknologi belum semaju sekarang, dan pesaing besar sudah mendominasi pasar. Namun, Jobs tidak mencari alasan untuk menyerah. Ia menemukan jalan: merakit komputer sendiri, membujuk investor, dan membangun Apple dari nol menjadi salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia.

Bahkan ketika ia dikeluarkan dari Apple — perusahaan yang ia dirikan sendiri — Jobs tidak membiarkan kegagalan itu menjadi titik akhir. Ia dirikan NeXT dan Pixar, dua perusahaan yang sukses besar. Itu menjadi bukti bahwa ia bukan sekadar beruntung, tetapi benar-benar memiliki ketekunan dan visi yang kuat. Jobs adalah contoh nyata dari seseorang yang, ketika benar-benar menginginkan sesuatu, selalu menemukan jalan, bukan alasan.

Adagium di atas memang sederhana, tetapi mengandung makna mendalam tentang bagaimana keinginan yang tulus melahirkan kekuatan untuk bertindak, bahkan dalam keadaan yang tampaknya tidak mungkin.

Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada dua pilihan: berusaha menemukan cara, atau bersembunyi di balik alasan. Orang-orang seperti Steve Jobs memilih untuk terus bergerak maju, meskipun jalannya terjal dan penuh tantangan. 


Mereka tahu bahwa keinginan yang kuat melahirkan kreativitas, kegigihan, dan solusi-solusi yang sebelumnya tampak tidak ada.

Sebaliknya, ketika motivasi kita setengah hati, segala rintangan terasa cukup untuk menghentikan langkah. Kita mudah berkata, "Terlalu sulit," atau "Bukan waktunya." Bukan karena jalan itu benar-benar tertutup, tetapi karena di dalam hati, keinginan itu tidak cukup kuat untuk mendorong kita mencari solusi.

Kisah sukses, inovasi besar, dan perubahan-perubahan berarti dalam dunia ini selalu lahir dari orang-orang yang memilih menemukan jalan. Bukan mereka yang menunggu kondisi ideal, melainkan mereka yang menciptakan peluang dari keterbatasan.

Begitu pun dalam kehidupan personal. Pernah, kakak dari salah seorang sahabat meninggal. Karena kedekatan hubungan, saya pun langsung berangkat ke terminal untuk naik bus, menempuh 3 jam perjalanan, lalu mencari ojek untuk sampai ke tempat. Begitu pun pulangnya. Hari itu hari kerja, dan saya harus mengambil cuti dadakan.

Bila ada orang yang sulit sekali menemukan cara dan mudah sekali menemukan alasan, mungkin memang dia tidak mau. Dan kita pun tidak bisa memaksa...


Nrimo, dan Lalu Bergerak - Entri Jurnal #35

Di rumah, saat badan sudah kering dan kembali hangat. Pikiran saya entah mengapa masih terus berkelana. Saya teringat pada satu lagi nilai yang sering saya dengar akhir-akhir ini. Konsep itu nrimo ing pandum.

Falsafah Jawa ini mengajarkan ketenangan dalam menerima bagian kita dalam hidup, baik suka maupun duka, panas maupun hujan. Bukan sebagai bentuk kepasrahan pasif, tetapi sebagai pijakan untuk melangkah dengan hati yang lapang.

Dalam konteks perjalanan tadi, nrimo ing pandum bukan berarti menerima kehujanan begitu saja. Tapi menerima bahwa pada hari itu, kami memilih motor. Dan pilihan itu membawa kami ke swalayan sepi, ke suasana yang mungkin tak kami alami kalau naik mobil, dan ke percakapan yang tak terjadi di ruang AC kendaraan.

Tiba-tiba saya sadar: Hujan itu bukan semata penghalang. Ia juga pengingat. Bahwa kendali kita terbatas. Bahwa hidup bukan soal menyesali arah angin, tapi belajar menyesuaikan layar. Bukan tentang menyesali pilihan, tetapi mengambil langkah bila kondisi tak sesuai perkiraan atau keinginan.

Nrimo ing pandum adalah bagaimana kita berdamai dengan apa yang sudah digariskan.
Yes, and adalah bagaimana kita terus bergerak dari apa yang sudah terjadi.

Dua konsep ini, yang satu berasal dari panggung teater, dan yang satu dari tanah leluhur, ternyata saling menguatkan. Menerima bukan berarti berhenti. Dan melanjutkan tidak harus dengan menggugat masa lalu.

Mungkin memang benar: Kadang, pelajaran hidup datang bukan dalam bentuk peristiwa besar. Tapi dalam percakapan kecil di atas motor, di tengah hujan yang datang tanpa undangan.

Dan mungkin juga, hidup yang bijaksana adalah hidup yang terus mencari makna—dari setiap basah, setiap belok, setiap keputusan kecil yang kita ambil di tengah panas dan mendung yang datang silih berganti.

Photo by <a href="https://unsplash.com/@ybhrdwj?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Yash Bhardwaj</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/black-and-yellow-5-door-hatchback-MWlPhjwo4aw?utm_content=creditCopyText&utm_medium=referral&utm_source=unsplash">Unsplash</a>

Yes, And: Belajar dari Pilihan di Tengah Hujan - Entri Jurnal #34

Siang ini, saat hendak pergi ke apotek untuk membeli obat, saya bertanya sepele kepada istri:

"Mau naik motor atau mobil?"

Jarak ke apotek lumayan jauh—sekitar 15 kilometer. Cuaca sedang terik dan tak tertarik untuk hujan di rumah kami, di Singosari. Tanpa pikir panjang, istri memilih motor. Alasannya masuk akal: biar lebih cepat sampai dan bisa mampir ke mana-mana dengan praktis.

Kami pun melaju.

Namun di tengah perjalanan di sekitar Blimbing, langit berubah. Mendung menggantung, bukan dengan cara yang manja. Wajahnya serius, yang hanya bisa diterjemahkan menjadi satu hal: hujan akan turun. 

Dan benar saja. Tetesan pertama jatuh. Lalu semakin deras. Tak ada tempat berteduh selain sebuah swalayan besar di tepi jalan yang tampak sepi dan agak sunyi. Kami masuk. Suasananya membuat merinding, tapi justru di sana kami menemukan jas hujan.

Saat mengenakannya, istri berkata, dengan nada setengah menyesal: "Kenapa tadi nggak bawa mobil saja, ya?"

Saya hanya mendengarkan.

Dalam diam, saya teringat pada satu konsep yang belakangan ini sering saya pikirkan: “Yes, and.”

Konsep ini berasal dari dunia improvisasi teater, tapi belakangan saya merasa ia sangat relevan untuk kehidupan sehari-hari. Gagasan dasarnya sederhana: ketika sesuatu terjadi, daripada berkata, “Seandainya tadi…”, kita bisa berkata, “Ya, lalu…”

Yes, kami memilih motor.
Yes, hujan turun.
And… kami berteduh. Kami beli jas hujan. Kami tetap melanjutkan perjalanan.

Dalam hidup, kita tak selalu bisa membuat pilihan yang tepat. Bahkan, kadang kita hanya bisa memilih yang “terbaik dari yang tersedia”. Tapi daripada menyesal dan memutar ulang skenario di kepala, kita bisa memilih untuk berdamai, menerima, dan bertanya: “Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?”

Konsep ini bukan tentang menghindari kesalahan, tapi tentang membangun kelenturan hati. Tentang membuka ruang bagi kemungkinan baru setelah badai kecil menerpa. Kadang, justru dari situ kita tumbuh—dalam basah, dalam dingin, dalam diam yang penuh perenungan.

Dan dari percakapan sederhana di atas motor, saya belajar satu hal lagi:

Kadang perjalanan yang tidak ideal
justru memberi pelajaran yang paling membekas.

Cara Sederhana Memahami Marketing

Madhav Mistry menulis di LinkedIn tentang marketing berikut. Tulisan aslinya berikut ini:

Marketing is not about social media

It’s about strategy, tools, and trust.


So simple even a 12-year-old could teach it to their friends.

If you hang a big sign that says:
“Best Coffee in Town – Come In!”
→ That’s Advertising.

If you offer “Buy 1, Get 1 Free” for today only...
→ That’s Promotion.

If someone smells the coffee, walks in, and buys a latte...
→ That’s Sales.

If someone leaves a bad review and you respond kindly with a free drink...
→ That’s Public Relations.

If a viral TikTok shows your latte art or cozy café vibes...
→ That’s Publicity.

If you post a Reel of your barista making heart-shaped foam...
→ That’s Social Media Marketing.

If you write a blog post like “5 Reasons Coffee Makes You Happy”...
→ That’s Content Marketing.

If a foodie influencer shares your drink with their followers...
→ That’s Influencer Marketing.

If someone Googles “coffee near me” and your shop ranks first...
→ That’s SEO.

If you send a weekly email with new drinks and cozy deals...
→ That’s Email Marketing.

If you host a live workshop where customers learn to brew...
→ That’s Experiential Marketing.

Bila diterjemahkan secara bebas:

Pemasaran itu bukan soal media sosial.
Tapi soal strategi, alat, dan kepercayaan.

Begitu sederhana sampai anak 12 tahun pun bisa menjelaskannya kepada teman.

Kalau kamu pasang papan besar bertuliskan:
“Kopi Terbaik di Kota – Masuk Yuk!”
→ Itu namanya Iklan.

Kalau kamu kasih promo “Beli 1 Gratis 1” cuma hari ini...
→ Itu Promosi.

Kalau orang mencium semerbak aroma kopi, berbelok, masuk, lalu beli latte...
→ Itu Penjualan.

Kalau ada orang kasih ulasan jelek dan kamu balas dengan ramah plus kasih minuman gratis...
→ Itu Hubungan Masyarakat (Humas).

Kalau ada video TikTok viral yang nunjukin latte art atau suasana nyaman di kafe kamu...
→ Itu Publisitas.

Kalau kamu upload video barista bikin foam bentuk hati...
→ Itu Pemasaran di Media Sosial.

Kalau kamu nulis blog berjudul “5 Alasan Kopi Bikin Bahagia”...
→ Itu Pemasaran Konten.

Kalau food vlogger terkenal share minuman kamu ke followers-nya...
→ Itu Influencer Marketing.

Kalau orang cari “kopi dekat sini” di Google dan toko kamu muncul pertama...
→ Itu SEO (Optimisasi Mesin Pencari).

Kalau kamu kirim email mingguan berisi menu baru dan promo menarik...
→ Itu Email Marketing.

Kalau kamu adain workshop langsung untuk ngajarin cara bikin kopi...
→ Itu Pemasaran Berbasis Pengalaman.

Saat berbicara marketing, sering-sering kita dianggap berbicara tentang pemasaran di media sosial saja. Padahal cakupannya luas...

Manusia Paling Berbahaya: Tahu tapi Tak Peduli - Entri Jurnal #33

Beberapa waktu lalu, Bagus Mulyadi melakukan podcast bersama Ferry Irwadi di Malaka Project. 

Di dalam podcast itu, dijelaskan bahwa inkompetensi lebih berbahaya daripada kejahatan, terutama bila inkompetensi dimiliki orang yang jabatannya tinggi.

Misalnya, pilot pesawat yang inkompeten lebih berbahaya daripada maling ayam. Risiko nyawa melayang dan bahaya lain jadi taruhannya. Jelas, pilot yang inkompeten lebih berbahaya. 

Obrolan itu mengingatkan saya pada kategori manusia menurut Al Ghazali. Menurut beliau, ada empat kategori manusia. 

Kategori satu: Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, yaitu golongan manusia yang tahu dan sadar bahwa dirinya tahu. Golongan manusia ini biasanya berilmu dan menyadari bahwa dirinya memiliki ilmu.

Kategori dua: Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, yaitu golongan manusia yang tahu tapi tidak sadar bahwa dirinya tahu. Golongan manusia ini sebenarnya berilmu, tapi tidak menyadari bahwa dirinya memiliki ilmu tersebut.

Kategori tiga: Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu golongan manusia yang tidak tahu tapi sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan manusia ini belum berilmu, namun menyadari dan mengakui bahwa dirinya belum tahu.

Kategori empat: Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu golongan manusia yang yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Golongan manusia ini tidak berilmu dan tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu.

Saya kira yang paling berbahaya adalah manusia keempat. Ternyata menurut Seth Godin, yang paling berbahaya justru yang tidak peduli alias Uncaring. Ia tahu bahwa ia tidak mampu, tetapi tidak mau meningkatkan kompetensi diri.

Tahu apa yang salah, tetapi tidak mau melakukan apa-apa karena takut berbuat salah. 


Nilai itu Kita Simpan atau Kita Ciptakan? - Entri Jurnal #32

Salah satu tetangga, sebut saja Robert, selalu menyimpan barang yang bahkan sudah tidak dia perlukan. Baju misalnya. Baju masa kecilnya yang sudah robek tidak mau dia buang atau diubah peruntukannya menjadi serbet misalnya.
 
Apa penyebabnya?
 
Robert pernah mengalami kesulitan ketika kecil. Ia pun jadi cemas saat membuang suatu barang karena bisa jadi barang itu masih diperlukan. Itulah nilai. Nilai yang kita internalisasi.
 
Nilai semacam ini disebut juga nilai eksperiensial, menurut Viktor Frankl.
 
Lengkapnya, Viktor Frankl mengategorikan nilai menjadi tiga.
 
1.       Nilai pengalaman (experiential).
2.       Nilai kreatif (creative).
3.       Nilai sikap (attitudinal).
 
Nilai pengalaman itu berasal dari pengalaman dan interaksi kita dengan dunia sekitar. Termasuk di dalamnya jalan-jalan di hutan, momen mendalam, atau sekadar melihat senja.
 
Nilai kreatif muncul dari tindakan mencipta—apa yang kita kontribusikan kepada dunia melalui keterampilan, bakat, dan kerja keras. Misalnya, seperti menulis tulisan ini. Ini semacam pengejawantahan dari nilai kreatif.
 
Nilai sikap merujuk pada bagaimana respons kita terhadap penderitaan, kesulitan, atau keadaan di luar kendali. Misalnya, kita harus bayar SPP anak, harus bayar tagihan listrik, dan beli makanan kucing, sementara keuangan kita sedang tidak stabil. Lalu, kita tersenyum dan mengumpulkan ketenangan untuk memecahkan masalah ini.
 
Jadi, ada nilai yang kita petik lalu kita resapi dan tanamkan di dalam diri, lalu kita pelihara untuk kemudian tumbuh menjadi nilai eksternal. Nilai dari pengalaman itu kita semai lalu kita jaga dengan nilai dari sikap dan menumbuhkan nilai kreatif, yang dengannya kita menciptakan nilai atau create value. #insideout
 
 
 



 

Kekurangan Ragi atau Kebanyakan Ragu? - Entri Jurnal #31

Setelah menulis Gus Dur & Isuk Tempe Sore Dele, saya share tulisan itu kepada teman saya yang curhat tentang atasannya itu.
 
Saya pun menyertakan tulisan di bawah ini:
 
“Ternyata isuk tempe, sore dele itu maksudnya: yg sdh diputuskan mentah lagi jadi kedelai Mar. Padahal untuk sampai tempe, dahlah rapat dan diskusinya panjang nian.”
 
 “Fermentasinya gak berhasil. Mungkin raginya kedaluwarsa” ujarnya sambil menyertakan emotikon ketawa.
 
Saya pun ikut ketawa dengan simpulannya.
 
Lalu, ragi kedaluwarsa itu mengusik pikiran saya. Apa yang membuat kedelai gagal terfementasi sempurna?
 
Ternyata, ada berbagai tahapan pembuatan tempe.

Pertama bahan.

Ada dua bahan: kedelai dan ragi. Pastikan keduanya berkualitas baik.

Kedua proses.

Prosesnya:

Persiapan bahan:
  • Pembersihan: Cuci kedelai hingga bersih untuk menghilangkan kotoran.
  • Perendaman: Rendam kedelai dalam air bersih selama 8–12 jam. Proses ini membuat kedelai lunak dan memulai dehulasi (pengelupasan kulit).
  • Pemasakan: Rebus kedelai hingga matang selama 30–60 menit untuk membunuh mikroorganisme lain dan mempercepat fermentasi.
  • Pengelupasan kulit: Hilangkan kulit kedelai yang sudah lunak dengan tangan atau alat khusus.
  • Pengeringan: Tiriskan kedelai agar tidak terlalu basah.
Pencampuran ragi:
  • Tambahkan ragi tempe ke kedelai yang sudah dingin (suhu sekitar 30°C). Campur secara merata dengan takaran 1 gram ragi untuk 1 kg kedelai.
Pengemasan:
  • Masukkan kedelai yang telah dicampur ragi ke dalam plastik atau daun pisang.
  • Plastik biasanya diberi lubang kecil agar udara masuk, membantu pertumbuhan jamur.
Fermentasi:
  • Simpan kedelai yang sudah dikemas di tempat bersih, dengan suhu 30–35°C, selama 24–48 jam.
  • Periksa secara berkala untuk memastikan tidak ada kontaminasi.

Ketiga lingkungan.

Ada tiga lingkungan yang harus dipastikan saat membuat tempe.
·         Suhu: Suhu optimal adalah 30–35°C. Jika terlalu panas (>40°C), jamur mati; jika terlalu dingin, fermentasi lambat.
·         Kelembapan: Lingkungan dengan kelembapan sedang diperlukan agar proses fermentasi berjalan baik, tetapi kedelai tidak boleh terlalu basah.
·         Sirkulasi udara: Udara yang cukup membantu pertumbuhan jamur, karena jamur membutuhkan oksigen.

Keempat kompetensi teknis.

Periksa
beberapa hal berikut:
·         Kebersihan: Proses harus steril untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme lain.
·         Ragi berkualitas: Gunakan ragi segar dan simpan di tempat kering sebelum digunakan.
·         Konsistensi suhu: Hindari fluktuasi suhu agar fermentasi berjalan optimal.
 
Dari penjelasan di atas, ternyata kegagalan proses fermentasi bukan hanya terletak pada ragi. Bisa saja karena kebersihan, konsistensi suhu, atau proses persiapan, pencampuran, atau pengemasan.

Kalau tidak mau memulai proses untuk melaksanakan rencana, berarti penyebabnya bukan kekurangan ragi, tetapi kebanyakan ragu hehe.

 
 
 

Gus Dur & isuk tempe sore dele - Entri Jurnal #30

Salah seorang teman bercerita tentang atasannya, yang punya banyak rencana. Sayang, rencana tak terlaksana.

Rencana A, yang dilakukan B.

Ceritanya mengingatkan saya pada salah satu humor khas Gus Dur. Beliau pernah menyampaikan sindiran jenaka tentang sifat bangsa-bangsa di dunia, terutama terkait pekerjaan. Menurut Gus Dur, ada empat macam sifat bangsa di dunia ini:

Satu, sedikit bicara, sedikit kerja — contohnya Nigeria dan Angola

Dua, sedikit bicara, banyak kerja — seperti Jepang dan Korea Selatan.

Tiga, banyak bicara, banyak kerja — misalnya Amerika Serikat dan China.

Empat, banyak bicara, sedikit kerja — contohnya Pakistan dan India.

Lalu salah seorang pendengar bertanya, “Kalau Indonesia kira-kira masuk kategori yang mana, Gus?”

Gus Dur lantas menjawab dengan santai, “Indonesia tidak masuk ke dalam empat kategori itu.”

“Lho, kok bisa, Gus?”

Sambil tersenyum dengan gaya khasnya, Gus Dur menjawab, “Karena di Indonesia, antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan beda.”

Beda Rencana, Beda Kerja


Kondisi seperti ini mengingatkan saya pada istilah yang dipopulerkan salah seorang dosen saat masih kuliah di UMM.

Beliau bercerita tentang falsafah Jawa: Isuk tempe sore dele. Jika diartikan secara harfiah, maknanya "pagi tempe sore kedelai."

Yang diucapkan berbeda setiap waktunya. Dan yang sudah pagi diputuskan untuk jadi tempe, malah mentah lagi menjadi kedelai pada sore harinya.

Beh, ancor pessena tellor
 


Sesal karena tak mencoba - Entri Jurnal #29

Ada teks berbahasa Inggris yang bagus:

Don’t wait for later. Don’t say ‘I will do it tomorrow’ Don’t put your dream project on hold saying I will search about it more later. Or I will give it a try maybe a few weeks later?
Because later, things change and you no longer feel the same excitement. Later the inspiration evaporates into thin air and you end up with the pain of sabotaging your own dream.
Later, you no longer feel moved by the same idea as you did the first time it entered your mind. Later the coffee gets cold and the people leave because they don’t feel seen or loved by you. No one, nothing at all waits for later.’ People move away. And the ideas die a slow death. Later becomes a graveyard of everything you once loved but weren’t ready to give it a shot. Choose now. Choose to do it today. So what if you don’t know where to start or how to do it? You can and will learn everything as you try, fail, and mess it up. But you will get to experience and love everything that matters to you in the moment. Give it all your heart, whether it’s people or that dream. Don’t let it wait. Don’t keep people on hold. Don’t put your dreams on a pedestal of ‘Should I or should I not do it.’ It’s yours if you choose it. It will never be yours if you wait for later? Because later, everything turns into a graveyard of regrets. (Renuka Gavrani)

Kuterjemahkan di bawah ini.

Jangan tunggu nanti. Jangan bilang, "Besok saja kukerjakan." Jangan tunda proyek impianmu dengan alasan, "Tak cari nanti" atau "Mungkin tak coba beberapa minggu lagi."

Karena nanti, segalanya bisa berubah. Kamu mungkin tak lagi segembira dulu. Nanti, inspirasi itu menguap dan lalu kamu jadi sakit hati karena telah menyabotase impianmu sendiri.

Nanti, kamu tak lagi tergerak oleh ide yang dulu membuatmu begitu bersemangat. Kopinya sudah dingin, dan orang-orang beranjak pergi karena merasa tidak kamu perhatikan atau cintai. Tak ada satu orang pun atau benda pun yang menunggu "nanti". Orang-orang menjauh, dan ide-ide itu mati perlahan.

“Nanti” menjadi makam atas  semua yang pernah kamu cintai tetapi tak pernah berani kamu coba.

Pilihlah sekarang. Pilih untuk kamu lakukan sekarang.

Tak masalah jika kamu bingung harus mulai dari mana atau bagaimana caranya. Kamu akan belajar sepanjang perjalanan dengan mencoba, gagal, dan berbuat kekeliruan. Tapi satu hal yang pasti, kamu akan mendapat pengalaman dan mencintai semua yang berarti bagimu saat ini.

Berikanlah sepenuh hatimu—untuk orang lain dan impianmu. Jangan biarkan mereka menunggu tanpa kepastian. Jangan bikin orang lain lelah menunggu. 

Jangan gantungkan impianmu pada kalimat tanya, "Haruskah kulakukan sekarang atau tidak?"

Impian itu milikmu jika kau pilih sekarang. Tapi jika kamu masih saja menunggu dan berkata nanti, segalanya akan berubah jadi makam penuh sesal.

Ada versi lain lagi, yang berbunyi:



Jangan tunggu nanti. Jangan bilang ke diri sendiri, “Aku kerjakan besok deh,” atau “Aku coba kalau udah siap.” Faktanya, "nanti" sering kali tidak pernah datang. Waktu tidak mau menunggu, dan begitu pun kesempatan.

Nanti, semangat yang pernah bikin kamu bergairah berubah jadi ragu. Ide yang dulu menggugah jiwamu kini malah samar-samar. Nanti, kopimu keburu dingin, dan orang-orang yang dulu berarti perlahan menjauh. Hidup tidak bakal berhenti hanya untuk menunggu kita mengumpulkan keberanian. Hidup terus berjalan. Orang datang dan pergi. Impian memudar. Waktu berlalu.

Kamu tidak perlu mengerti semuanya untuk memulai. Mulailah dengan berantakan. Mulailah meski takut. Mulailah meski ragu. Terpenting, kamu memulai. Keajaiban terjadi saat kamu ambil langkah pertama itu.

Jangan biarkan “nanti” mencuri hidup yang seharusnya kamu jalani. Pilih untuk bertindak hari ini, karena "nanti" tidak ada yang tahu.

Hari ini adalah kesempatanmu memulai. Jangan biarkan kesempatan itu hilang begitu saja.
 

Cara Terkejam Menghukum Seseorang - Entri Jurnal #28

Seorang teman baru bercerita betapa ia senang ditanya kondisi saat sedang terbaring sakit. Baginya, itu tak menerobos batas privasi yang ia tetapkan.

Malah, lebih kepada sebentuk kepedulian.

Orang peduli tentang kehadirannya. Ia punya makna.

Ternyata betul dugaan kita semua, kepedulian sekecil apa pun selalu berguna.

Bahkan bila kepedulian itu dalam bentuk kebencian.

Diabaikan dan tidak dihiraukan selalu lebih sakit. Rasa sakit karena diabaikan dan dianggap tidak ada sering kali lebih menyakitkan dibandingkan dibenci.

Ketika seseorang dibenci, itu setidaknya menunjukkan ada perhatian atau emosi yang diarahkan kepada mereka. Namun, diabaikan membuat seseorang merasa tidak terlihat, tidak berharga, dan tidak dianggap penting.



Ada sekitar empat penjelasan.

Pertama, rasa tidak diakui. Ketika diabaikan, seseorang merasa identitas dan keberadaannya tidak dihargai. Akibatnya bisa berubah menjadi luka emosional yang dalam.

Kedua, kehilangan koneksi. Sebagai makhluk sosial, kita butuh interaksi dengan orang lain. Ketika diabaikan, seseorang kehilangan rasa keterhubungan itu. Akibatnya rasa sepi dan sendiri.

Ketiga, meningkatkan rasa tak percaya diri. Diabaikan sering kali membuat seseorang meragukan makna diri, bertanya-tanya apakah mereka cukup baik atau layak.

Keempat, efek psikologis yang dalam. Penelitian menunjukkan bahwa rasa diabaikan memengaruhi otak dengan cara yang sama seperti rasa sakit fisik. Artinya, dampak emosional pengabaian itu begitu serius.

Thus, bila ingin menyiksa seseorang, cukup abaikan saja. Itulah hukuman terkejam yang bisa kita berikan. Bila masih peduli, kita tunjukkan kepedulian.

Sayangnya, kita sekarang lebih senang menerimanya, bukan sebaliknya. Memberikannya meski seminimal tersenyum...

Bagaimana makna tercipta? Entri Jurnal #27

Tanya seorang teman tempo hari. Nadanya serius. Bisa saya bayangkan kerutan di dahi saat ia bertanya begitu.

Lalu saya jawab, makna kehadiran rasanya tercipta dari nilai atau value yang kita ciptakan. Nilai adalah esensi dari tindakan yang berdampak, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Nilai ini ibarat benih yang, ketika ditanam dengan niat yang tulus dan tujuan, akan tumbuh menjadi sesuatu yang bermakna dan berdampak.

Value tidak harus selalu besar untuk menancapkan makna. Tindakan kecil sekalipun, jika dilakukan dengan kesadaran dan konsistensi penuh, dapat membawa perubahan yang berarti. Minimal pada diri sendiri.

Misalnya, sebuah senyuman. Ia tidak hanya menunjukkan keramahan, tetapi juga bisa menjadi awal dari hubungan yang mendalam.

Dengan tersenyum, kita membantu tubuh melepaskan hormon dopamine dan serotonin. Suasana hati kita pun bisa lebih baik dan memicu rasa bahagia.

Dengan sesederhana tersenyum, kita menciptakan makna bagi diri sendiri atau mencintai diri sendiri/love yourself.

Apalagi bila kita bisa mencipta value besar seperti merakit teknologi, merintis organisasi sosial, atau mendorong gerakan komunitas. Value seperti ini dapat menciptakan makna yang berdampak pada skala yang lebih luas dan menjangkau banyak orang.



Namun, bila tak mampu mendaki bukit terjal, bolehlah kita menciptakan nilai semampunya, semisal mulai tersenyum pada diri sendiri

Bila terbiasa tersenyum pada diri sendiri, kita pun akan mudah tersenyum kepada orang lain.

Pelaku Tak Pernah Mengejek Pemula - Entri Jurnal #26

Bayangkan saat kita sedang belajar naik sepeda. Awalnya, kita terjatuh berkali-kali, lecet, dan wajah pun memerah karena malu.

Ayah kita tersenyum sambal menyemangati “Nggak apa-apa, coba lagi. Semua orang juga pernah jatuh.”

Di sisi lain, ada teman dan tetangga yang hanya berdiri di pinggir jalan. Ia tertawakan setiap kita jatuh. Tidak mencoba membantu, hanya mengomentari saja.

Kita akhirnya belajar bahwa yang menyemangati adalah mereka yang pernah mencoba dan mengerti artinya perjuangan.

Sedangkan yang menertawakan? Mereka hanya penonton yang tidak berani ikut bermain.

Begitu pun pengusaha yang sukses, content creator yang berpengalaman, dan atlet professional, mereka tidak akan mengejek.

Mereka tahu rasanya mulai dari nol. Yang mencemooh justru mereka yang tidak melakukan apa-apa.

Jadi, mengapa harus mendengar yang seperti itu? Tetap maju. Bukankah tujuan kita adalah menjadi lebih baik, bukan untuk memuaskan komentar mereka?

Kata seseorang pagi ini saat melihat tweet dari @jejakrasa:


Pengusaha ga akan ngatain lo ketika lo baru mau mulai bisnis, content creator ga akan ngatain lo ketika lo baru mau  mulai bikin konten dan atlit juga ga akan ngatain lo ketika akhirnya lo olahraga. 

Yang ngatain lo ketika baru melakukan sesuatu adalah orang-orang yang ga melakukan apa-apa dan ga jadi apa-apa. 

Masa iya mau dengar orang kayak gitu dan ga maju.