Senyum, tawa, dan kisah kita

Pagi ini, kususuri lagi sepanjang jalan yang biasa kita lalui. Masih kulihat engkau tersenyum di sudut-sudut kampus. Di kursi memanjang yang berkarat dan kini sepi, tawamu tak lagi di sini. Kulirik engkau di meja berwarna merah yang ringkih, tertutup stiker, dan kacanya yang mulai pecah. Retak karena kau telah lama beranjak.

Masih segar tawamu yang terlihat di derai tawa mahasiswa yang sibuk menata masa depan dan mengambil toga pagi ini. Perih karena ingatan dan kenangan tentangmu menguat sementara jejakmu menguap lambat.

Aku masih menatapmu perlahan bangkit dari kursi lalu bergegas membeli cilok, kudapan, atau minuman ringan. Atau kau bergegas cepat dan berhambur menuju tempat fotokopi saat kau lupa belum mencetak bahan presentasi. Atau karena lelah terlalu lama duduk, kau sekadar berdiri.

Lalu kita tertawa lagi, lagi, dan lagi sambil diterpa angin yang berhembus dari sungai Brantas. Dari barisan bunga seroja aneka warna yang berjajar rapi di tepian jalan.

Kita lalu berjalan beriringan di jalan menanjak, yang seakan menghisap napas kita pelan-pelan, dan kita terengah. Kita tertawa dan saling menatap seakan tak terpisah. Matamu dan mataku berbinar saat terlihat di depan sana GKB IV. Dan kita berbincang lagi. Tertawa lagi, seakan kita memang ditakdirkan untuk tertawa bersama. Berjuang bersama. Menahan lelah bersama.

Lalu perlahan jalan kita bercabang. Derap langkah kita memisah. Satu per satu bayang kita pecah. Setiap pecahannya lenyap ditelan angin. Dibawa air danau berwarna kehijauan. Atau tertinggal di pagar-pagar retak berwarna putih di sempadan sungai.

Aku melihatmu tersenyum dengan balutan gaun toga hitam pekat dan make-up berkilau sempurna. Senyum yang melengkung tanpa cela. Pertama kali dan terakhir kali, aku ingin mengabadikannya. Membekukannya hingga bisa kulihat lagi. Lagi. Berkali-kali.

Namun, aku tidak cakap menghentikan waktu. Aku tidak lihai memanipulasi ruang. Aku hanya bisa mencintaimu dan menyayangimu dalam bingkai persahabatan. Pergilah dan tersenyumlah. Tertawalah. Abadilah kisah-kisah kita dalam relung hatiku, dalam palung jiwamu…

Dan aku masih berada di sudut itu… mengenangmu