Pulang ke Diri Sendiri



Semburat sinar matahari sore menembus jendela di tengah kamar. Cahaya kuning keemasan menerpa korden berwarna biru dan menciptakan paduan warna tosca yang unik. Andi menatap cahaya itu dengan tajam. Intens. Hampir tak terkedip rasanya. Seakan cahaya itu akan segera pergi bila ia sejenak saja melepaskan pandangan.
Di sudut kamar sebelah kiri, lirih terdengar suara radio. Volumenya tidak terlalu kencang dan tak terlalu lembut. Terdengar samar:
Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan takkan terjadi
---
Bulir hangat mengalir pelan dari pipi kirinya. Kesedihan membuncah saat ia teringat permintaan ibunya untuk pulang pada hari raya Idul Fitri tahun ini. Ia sedih karena entah mengapa dia bahagia dan lega. Bahagia karena tak perlu mudik tahun ini dan pura-pura senang bertemu sanak saudara itu malah membuatnya bersalah. Ya, bersalah sekali.
Dia lalu mengambil buku lalu mulai menulis surat untuk sang Ibunda.


Assalamualaikum wr wb…

Ibuku yang tersayang,
Ibu apa kabar? Aku baik-baik saja di sini. Mudah-mudahan ibu juga begitu.

Ibu, maaf aku tak bisa mudik tahun ini. Corona membatasi jarak, meregangkan pertemuan, dan menghambat perjumpaan. Tidak hanya denganmu. Dengan semua orang juga begitu. Biarlah tahun ini aku bersama keluarga kecilku di sini dulu.

Toh rasanya pun setiap tahun aku tak pernah mudik. Ada sebagian dari diriku yang tidak ingin kembali pulang ke kampung halaman. Ada luka yang menganga. Ada dendam yang tak selesai-selesai. Setiap tahun rasanya kepulanganku hanya sekadar menunaikan kewajiban. Sekadar basa-basi agar tak sendirian di tempat perantauan. Rasanya mudikku hanya agar kau tak dihina orang. Bahwa anakmu masih mengingatmu. Bahwa aku bukan malin kundang. Mudikku lebih karena urusan remeh temeh itu. Bukan karena aku ingin menunaikan rindu atau membayar tuntas rasa kangen di kalbu.

Maafkan bila kejujuranku ini menyakitimu. Ibu, rasanya aku harus mulai jujur pada diri ini. Padamu juga.

Dan yang terpenting, Bu, mungkin ini kesempatanku bertemu anak kecil bermata sendu yang rasanya selalu terasing sedari dulu. Sudah lama aku ingin bertemu dan bercakap-cakap dengannya. Membelai rambutnya yang lepek. Giginya yang menguning karena tak pernah diperhatikan. Memeluk tubuhnya yang kurus. Merasakan tulangnya menyeruak dari bahunya yang tipis. Menyemprotkan parfum pada bajunya yang berbau apek. Mengganti bajunya yang lusuh dan penuh noda.

Sudah sejak lama aku ingin melihat anak kecil bermata sendu itu. Rasa bersalah yang bertumpuk, rasa terasing yang menggigil, rasa terbuang yang membuat bingung. Aku selalu ingin melihat anak kecil bermata sendu itu. Mengajaknya berbincang. Dia hanya anak kecil dengan segenap kelemahan. Dengan sebanyak itu kekurangan. Yang tampak di mata orang hanya itu Bu. Sekuat dan sebaik apa pun dia berusaha untuk membuktikan sebaliknya, sekuat itu pula perasaannya terhempas. Sekuat apa pun dia berusaha tersenyum, sekuat itu pula ada yang merampas senyumnya. Seketika.

Aku ingin memeluk anak itu Bu. Mengajaknya melihat semua kekeliruan perlakuan. Melihat semua luka yang membusuk dan menggerogoti jiwa. Aku ingin mengatakan bahwa semua itu bukan salahnya. Bukan kekeliruannya. Dia sudah berusaha, sebaik-baiknya. Sehebat-hebatnya.

Bahwa dia kuat. Membawa luka dan mengubahnya menjadi bara yang membuatnya berjalan tegar dan berjelaga hingga kini. Bahwa aku akan menerima segala kekurangan dan kelemahannya. Bahwa aku akan mengubahnya menjadi abu, yang lalu lenyap terhempas angin malam. Bahwa angin malam itu akan mendorongnya ke atas lalu ia akan melihat segalanya dari sudut baru. Dari ketinggian itu, senyumnya takkan bisa terampas.

Aku juga akan meminta maaf pada anak kecil bermata sendu itu, Bu, dan memintanya memaafkan dirinya sendiri. Menerima dirinya sendiri. Ikhlas. Dia sudah tegar dan kuat berjuang hingga saat ini. Dan aku akan menemaninya hingga ia ingin rehat setelah lelah berjuang.

Tapi jangan salah paham dulu Bu. Ini bukan salahmu. Bukan kekeliruanmu. Engkau sudah menjaga anak kecil bermata sendu itu dengan sekuat tenagamu. Engkau mendidiknya agar dia bisa bertahan menghadapi badai yang mengamuk dan berisik. Engkau membesarkannya agar dia bisa bertahan seorang diri menghadapi topan. Kau telah tunaikan tugasmu. Sebaik-baiknya.

Dan idul fitri ini, mudah-mudahan anak kecil bermata sendu itu akhirnya pulang. Pulang pada diriku. Menyatu. Dan kami pulang pada Ibu.

Selamat idul fitri Ibu. Mohon maaf lahir batin.

Anakmu,
Andi

Air mata terus mengalir dari kedua mata. Ia tekuk kedua kaki lalu terangkat. Ia peluk kedua kakinya. Perasaannya bercampur. Suara sesunggukan terdengar makin kencang seakan saling bersahutan dengan suara penyiar.
Dari radio, terdengar pelan lagu:
Ma, Terimakasih telah melahirkan aku
Aku yang masih berjalan sendiri merespon bentuk bahagia
Aku yang kini fasih memikul rasa sedih dan kecewa
Aku yang terus menyamankan diri dari cara takdir
Membagikan ilmu ikhlasnya