Setiap orang punya lagu atau puisi favorit yang baginya paling baik. Paling berkesan. Dan paling relevan dengan kehidupan.
Bagi saya, dari semua puisi Mbah Sapardi, puisi "yang fana adalah waktu" adalah puisi paling berkesan. Yuk kita baca di bawah ini.
# Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi
Setiap orang bisa punya penafsiran berbeda atas puisi di atas ini. Bagi saya, puisi ini menceritakan tentang kita bisa jadi abadi bila kita memungut detik demi detik. Memungut artinya mengambil lalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Merangkainya seperti bunga, menurut saya, lebih ke merancang dan memanfaatkan "waktu" semaksimal mungkin sehingga bisa seindah bunga. Indah dan bermanfaat karena bunga memberikan nektarnya sebagai makanan lebah, dan menghadirkan keindahannya demi memeriahkan suasana pernikahan atau menghadirkan penghiburan saat ada orang yang meninggal.
Lalu "
sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa" bercerita tentang keikhlasan. Artinya, kita menjalani waktu yang diamanahkan kepada kita dengan sebaik-baiknya sampai kita lupa tentang rangkaian waktu yang sudah kita gunakan sebaik-baiknya. Kita lupa mengapa kita menggunakan waktu sedemikian rupa itu. Sebab, fokus kita adalah memanfaatkannya sehingga tujuan pun sudah terlupakan.
Puisi ini memberikan tamparan keras terutama bagi saya. Terutama karena waktu saya habiskan secara sia-sia. Dan ini semacam cambuk di masa depan agar saya lebih baik memungut detik-detik itu.
Puisi kedua favorit saya adalah:
# Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Puisi ini lagi-lagi menggunakan kata-kata yang sederhana. Menurut saya, puisi yang sarat majas personifikasi ini bercerita tentang ketabahan dan keikhlasan. Laku cinta mungkin harus dipenuhi ketabahan, keikhlasan, dan kesabaran. Selain itu, cinta mensyaratkan kita jadi sabar, bijak, arif, dan mengenyahkan keraguan yang berkecamuk.
Cinta dalam puisi ini perlu dikatakan dengan laku atau tindakan, bukan dengan kata." Di puisi ini, beberapa bagian memang menyiratkan keikhlasan dalam laku atau kegiatan mencintai. Jadi, kita tidak harus selalu mengungkapkan apa pun yang kita rasakan sebagai penunjuk cinta kita. Baiknya, kita menjadikan tindakan kita sebagai bukti. Jadi, tindakan harus menjadi yang utama, baru kemudian kita bisa menggunakan kata. Itu pun secukupnya. Sebab, cinta adalah kata kerja, yang berarti harus dikerjakan. Bukan hanya dihiasi dengan kata-kata.
Namun, dalam kehidupan masa kini, saya rasa mengatakan dan mengungkapkan cinta itu tetap perlu. Kadang, keraguan dengan mudah merasuk dan menghancurkan rasa percaya di dalam dada. Tindakan mencintai akan lebih sempurna bila diiringi dengan kata-kata penyerta. Jadi, bukti tindakan saja tak cukup. Kita perlu melakukan lebih.
Puisi lain yang menurut saya tak kalah menariknya adalah aku ingin. Puisi yang sering dibacakan di sinetron dan bahkan di surat-surat cinta ini paling populer di masyarakat. Ayo kita lihat di bawah ini.
# Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Seperti halnya puisi di atas, puisi ini menggunakan majas personifikasi. Dua contoh dari majas personifikasi adalah "kata yang tak sempat diucapkan kayu" atau "isyarat yang tak sempat disampaikan awan". Dua frasa ini adalah personifikasi, yang melekatkan sifat manusia (person) kepada benda. Selain majas personifikasi, majas repetisi juga digunakan dalam puisi ini. Sebagaimana namanya, repetisi adalah pengulangan. Ada satu klausa yang digunakan secara berulang, yaitu "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana."
Setelah membahas majas dan gaya bahasanya, kita mungkin bertanya kemudian tentang apa sih artinya. Setiap orang punya interpretasi sendiri, sebab puisi hidup dalam penafsiran yang berbeda-beda. Dalam sebuah acara talkshow yang banyak beredar di youtube, maksud dari puisi ini, menurut Mbah Sapardi, adalah cinta yang tak sempat terucapkan karena para pecintanya sibuk mencintai. Kesibukan itu ditandai dengan frasa "api yang menjadikannya abu". Jadi, "api" dan "kayu" bercinta dengan sangat "panas" sehingga menghasilkan abu. Saking hangat dan panasnya, "kayu" tak sempat mengatakan apa-apa kepada api. Demikian juga yang dilakukan "awan" kepada "hujan." Dia terlalu fokus mencintai hujan sampai dia lupa bahwa dengan berproses menjadi hujan dia akan tiada.
Thus, secara ringkas, bisa disimpulkan, menurut penafsiran saya, cinta adalah tentang perlahan mengikis ego dan memfokuskan diri kita pada laku mencintai seseorang sampai ego atau keakuan di dalam diri perlahan lenyap. Dan dua unsur itu tidak lagi menjadi penting. Yang penting adalah dua unsur yang menyatu dan pada akhirnya keduanya menjadi tiada.
Puisi berikutnya yang berkesan bagi saya setidaknya adalah Sajak Kecil tentang Cinta. Yuk kita lihat di bawah ini.
#Sajak Kecil Tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siul
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku
Puisi lagi-lagi menggunakan majas repetisi, meskipun dalam tataran kata. Ya, kata-kata yang diulangi adalah kata "Mencintai". Kata yang diulangi hingga enam kali ini menandakan bahwa mencintai itu penting dan betul-betul harus merasuk ke dalam diri. Itulah arti dari pengulangan. Seperti doa berulang yang kita lantukan tiap malam yang meminta kehidupan yang baik di dunia dan akhirat, pengulangan adalah penegasan tentang pentingnya suatu kata, baik itu pernyataan atau permintaan.
Dalam puisi ini, disiratkan bahwa bila kita mencintai sesuatu atau seseorang, kita tidak bisa menjadi diri kita. Untuk mencintai orang yang suka berbicara, kita harus pandai menyimak. Untuk mencintai orang yang pendiam, kita harus cerdik menggali isi hatinya. Untuk mencintai orang yang suka bersedih, kita harus piawai membahagiakannya. Tentu tujuannya agar kehidupan bisa selaras dan saling melengkapi. Itulah, menurut saya, makna dari lima baris puisi di atas. Bila kita mencintai api, kita harus menjadi "jilat api" sehingga kita bisa bertemu.
Namun itu berbeda bila kita mencintai-Mu. "Mu" di sini sepertinya mengarah kepada Tuhan. Artinya, kita tidak perlu menjadi orang lain di hadapan Tuhan. Kita tidak bisa berbohong. Kita tidak perlu menjadi orang lain. Kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri. Tentu, diri kita sendiri itu adalah diri kita yang sebaik-baiknya. Ya, meskipun, ini lebih mudah dikatakan sih daripada dilaksanakan hehe.
Puisi berikutnya yang menjadi favorit saya adalah hatiku selembar daun. Yuk kita simak.
# Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
Tak seperti puisi-puisi di atas yang menggunakan personifikasi dan repetisi, puisi ini menggunakan simile. Ya, meskipun tidak simile-simile amat ya. Hatiku selembar daun, menurut saya, adalah versi pendek dari "Hatiku seperti selembar daun". Artinya, "hatiku" dibandingkan dengan "selembar daun."
Menurut saya puisi ini bercerita tentang kepasrahan setelah hatiku"jatuh". Jatuh ini bisa saja berupa kecewa, sakit hati, jengkel, marah, dan segenap perasaan negatif. Tumpukan perasaan itu bisa membuat kita terjerembab, tersungkur, dan jatuh, lalu seakan tak berdaya. Ada kalanya, ketika kita jatuh, orang-orang sekitar langsung ingin menolong kita. Namun, dalam puisi ini "si hatiku" ini ingin terbaring sejenak di atas rerumputan, lalu memandang sesuatu yang selama ini luput dari pandangan. Kadang, jatuh membuat kita menyadari sesuatu hal yang lama tak kita anggap penting. Jatuh kadang menjadi momen bangkit dan mengubah orientasi kita. Kita jadi tahu apa yang mestinya penting dan kita prioritaskan dalam hidup.
Dan jatuh memang sesaat, tapi juga bisa abadi bila kita mengambil hikmah yang memadai dari jatuh itu.
Dalam banget memang puisi ini. Nah, kita simak puisi favorit saya berikutnya.
# Pada Suatu Hari Nanti
Jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Puisi ini entah kenapa indah sekali. Rimanya sangat bagus. Lihat huruf akhirnya: iiiiiii semua. Bila dinyanyikan nadanya akan terdengar merdu.
Menurut saya, puisi ini semacam prasasti dari cinta si "aku" kepada "kau" yang abadi dalam bingkai puisi. Dijadikannya cinta menjadi barisan-barisan puisi yang akan bertahan lama, dan bahkan abadi. Tidak seperti jasad, tidak seperti suara, dan tidak seperti impian. Jasad, suara, dan impian akan hilang ditelan waktu. Namun, sajak akan abadi. Menjadikan cinta sebagai barisan sajak dan puisi akan mengabadikan cinta sehingga bila suatu hari nanti cinta kita pudar atau orang yang kita cintai merasa sendiri, dia bisa menjadikan puisi atau sajak sebagai prasasti yang akan menjadikannya abadi. Minimal ini menjadi pelipur lara.
Puisi favorit saya berikutnya adalah hanya. Puisi tentang keikhlasan cinta ini cocok sekali bagi penyuka sepi.
# Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Rasanya, tak banyak puisi ini menggunakan majas. Hanya satu yang saya temukan yaitu "doa yang bergetar." Doa yang bergetar bisa saja dianggap sebagai personifikasi atau bukan. Sebab, bukan hanya manusia yang bergetar, hape juga.
Puisi ini bercerita tentang bagaimana cinta itu kadang tak terlihat, tapi hanya terdengar sekilas. Tapi kita tahu bahwa cinta itu ada. Cinta kadang bukan sentuhan tapi hanya sepoi angin yang tak terlihat tetapi terasa. Doa dan kebaikan kadang tak pernah terlihat orang yang memanjatkannya tapi kita tahu bahwa ada rangkaian doa yang mengalir untuk kita.
Begitu pun cinta. Cinta orang lain terhadap kita tak harus terlihat jelas. Mungkin hanya terdengar sekilas, mungkin hanya sepoi angin, mungkin hanya untaian doa, tapi kita tahu cinta terhadap kita itu ada.
Puisi ini cocok bagi orang-orang yang merasa bahwa tidak ada orang di dunia yang mencintainya. Bahwa dia sendirian dan orang lain tak ada yang peduli. Bisa jadi cinta itu ada. Orang-orang yang mencintai kita juga banyak. Namun, dia tidak berwujud sesuai keinginan kita. Tapi cinta itu berwujud sesuai wujudnya sendiri. Yang mungkin tak terlihat jelas, tapi menancap dalam relung sanubari.