Sabtu yang berat, dan Ahad yang berjalan lambat. Begitulah kiranya gambaran minggu lalu.
Agar suasana sedikit lebih cerah, aku pun mengajak istri pada Ahad pagi itu untuk sarapan pecel di Pasar Tawangmangu. Pecel itu memang favorit kami. Bumbunya khas. Nasinya pas; tak terlalu banyak, tak juga terlalu sedikit. Sayurnya pun segar.
Apakah Pasar Tawangmangu ini tempat terinspirasinya lagu Mangu dari Fourtwnty?
Ow gila tak masuk logika
Termangu hatiku
Kau menggenggam kumenadahnya
Ow gila ini tak biasa
Tertegun hatiku
Kau menggenggam kumenadahnya
Entahlah.
“Tambah satu teh hangat ya,” usul istri sambil beranjak dari kursi lalu memesan.
Sejenak kemudian, dua porsi nasi pecel datang. Kami pun mengambil dua gelas air mineral sambil menunggu teh hangat. Seiring tandasnya pecel, kami mengobrol ngalor ngidul. Dan ketika butir terakhir nasi putih di wadah daun pisang itu habis, si teh hangat belum juga menampakkan batang hidungnya.
Mungkin si penjualnya lupa. Tak tahu juga.
“Gak usah teh hangat, gak apa-apa, wes,” kataku.
Istri pun bangkit untuk membayar.
“Mungkin biar kita langsing karena gak kebanyakan gula,” kata istri sambil mengajakku berangkat ke Gramedia.
Kami pun menyusuri jalan Tawangmangu, lalu ke Plasa Ramayana Malang untuk memarkirkan sepeda. Dan mengantarnya ke Gramedia untuk membeli buku keperluan mengajar.
Sejenak kemudian, kami pun pulang melewati jalan lain lagi. Berputar-putar.
Apa pun jalan yang dia minta untuk kutempuh, aku akan mengabulkannya. Karena kutahu, hadiah terbesarku untuknya mungkin waktu dan kesediaan untuk menemaninya berkeliling. Kelak saat kami tak kuat lagi, perjalanan itu bisa kami kenang.
Kata orang bijak, "saat kita meluangkan waktu bersama orang lain, kita memberikan sepotong hidup kita untuk orang itu. Itulah yang perlu kita syukuri"
“Hari ini menyenangkan sekali,” ucapnya setelah terbangun dari tidur siang.