Dilematis antara Berita Pesimis dan Otak yang Harus Optimis # Entri Jurnal 13

Dilematis antara Berita Pesimis dan Otak yang Harus Optimis # Entri Jurnal 13

Hari ini, Jumat 24/20/24, banyak berita PHK. Pabrik tekstil bertumbangan. Startup tak kalah sulitnya. Sritex pailit. Nasib 20 ribuan karyawannya di ujung tanduk.

Padahal, kelas menengah Indonesia konon turun sekitar 9,48 juta orang dalam 5 tahun terakhir.

Di sisi lain, Faiz CEO belajarlagi memposting: 

Aku kemarin buka lowongan untuk 1 HR Staff, yang apply ada 2300 Orang

Acceptance rate hanya 0,04%. Sebagai gambaran, Acceptance Harvard adalah 4.92% / ITB adalah 8%

In this economy, melamar kerja bisa lebih ketat daripada seleksi PTN Top.

Kadang mendengar berita-berita PHK ini suka bikin keder dan pesimis. Sementara ini, pekerjaan terjemahan kian lama kian tipis. Yang sedikit itu pun diperebutkan banyak orang.

Sementara sebagai seorang marketer, saya harus optimis. Mencari dan menangkap peluang sekecil apa pun. Dan mencoba meramu produk yang ada agar sesuai dengan yang dibutuhkan pasar.

Sungguh dilema yang tak mudah didamaikan.

Feedback dari Talking Customer # Entri Jurnal 12

Feedback dari Talking Customer # Entri Jurnal 12

Salah satu pasien di suatu RS Islam di Malang menulis “Pernah di kondisi yg sangat darurat. Namun respon nakes/dokter sewaktu saya ga sadar dan sayup2 terdengar malah tertawa2 membuat guyonan terkait umur saya. Benar-benar nggak sopan dan saya kapok ke sini. Dokternya pun ketika saya konsul juga malah memojokkan seolah2 saya pura-pura sakit baru hasil lab keluar ternyata memang ada yg kurang baik hasilnya. Sayang sekali tenaga kesehatan tp bad attitude semua.”
 
Pasien tersebut memberi bintang satu atas layanan RS tersebut. Sangat disayangkan betapa para nakes di sana tidak berempati dan bahkan mengolok-olok usia seseorang.
 
Prinsip pelayanan seperti ini rasanya standar. Biasa saja. Bila ada yang sakit, kita bantu. Bila ada yang kesusahan, kita layani. Tidak perlu kita olok-olok, seberapa pun gatal. Tidak ada yang mewah dari berempati kepada orang lain.
 
Banyak pula keluhan yang muncul dengan nada yang serupa.

Pelanggan yang semacam ini disebut pula talking customer. Mereka biasanya menyampaikan opininya terkait layanan yang diperoleh. Opini yang kurang baik bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan, dan opini baik bisa dijadikan feedback.

Pelanggan semacam ini lebih penting posisinya daripada pelanggan senyap. Pelanggan senyap tidak akan berbicara sehingga kita tidak tahu apakah pelayanan kita memuaskan atau tidak. Tiba-tiba dia lenyap dan hilang saja sehingga kita tidak tahu apa yang terjadi.

Thus, penting RS untuk menjawab keluhan dan menyempurnakan produk. Menyederhanakan prosedur. Mendidik SDM agar minimal sesuai dengan standar dasar.  

Sangat disayangkan, padahal RS ini baru saja membangun gedung yang megah dan tinggi. Sayangnya, tidak diikuti oleh standar pelayanan yang sama megah dan tingginya.

Padahal mencari pelanggan itu sulit bukan main.
 

 Harus Baik yang Berbiak # Entri Jurnal 10

Harus Baik yang Berbiak # Entri Jurnal 10

Di tulisan sebelumnya, saya bercerita seorang perempuan yang hanya berfokus tentang uang-uang-uang. Kali ini, teman saya satunya berfokus pada kebaikan.

Setiap keluar rumah, ia berpikir tentang kebaikan apa yang dapat ia lakukan. Bila ada yang salah menyalakan sein kanan padahal lurus saja, ia akan mengingatkan.

Bila ada yang tiba-tiba memotong jalannya, ia langsung membaca istighfar. Tidak membentak atau bersumpah serapah.

Bila tidak ada hal penting yang perlu ia sampaikan, ia diam saja.

Kenapa kok kamu bisa begitu?

Dia jawab bahwa kebaikan yang tulus juga akan berbiak, kadang pula menghadirkan uang-uang-uang.

#oalah

 Harus Dapat Uang # Entri Jurnal 10

Harus Dapat Uang # Entri Jurnal 10

Di salah satu video yang mampir di beranda, ada seorang perempuan, sekira berusia 27 tahunan, bilang bahwa setiap kali keluar dari rumah, ia minimal harus mendapat salah satu dari tiga hal.

Satu uang, dua network, tiga ilmu. Jadi, ke mana pun dia pergi, ia selalu berpikir apakah akan dapat uang dari kesempatan itu. Bila tidak, ia harus dapat network. Bila tidak network, ia harus dapat ilmu atau pengetahuan.

Sebab, network bisa mendatangkan uang, begitu juga pengetahuan. Pengetahuan jadi bekal untuk mendapat uang.

Kalau tidak dapat ketiganya, mending dia tetap leyeh-leyeh di rumah.

Begitulah kehidupan orang yang fokus. Ia punya tujuan di setiap langkahnya. 

Cuan, cuan, dan cuan...

Ya Kritik Konstruktif # Entri Jurnal 9

Bayangkan kita sedang mendorong maju orang lain: apakah kita akan mengkritiknya?
 
Bila jawabannya ya, yang muncul di benak mungkin kritik konstruktif. Kritik konstruktif itu diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan suatu hal, baik itu ide, perilaku, atau kinerja. Ada empat syaratnya:

  1. Fokus pada masalah, bukan pribadi. Kritik diarahkan pada masalah atau kekurangannya yang spesifik, bukan pada pribadi orang yang dikritik.
  2. Solutif. Selain mengidentifikasi masalah, kritik konstruktif juga menawarkan solusi atau saran perbaikan.
  3. Dapat diterima. Kritik disampaikan dengan cara yang sopan, santun, dan dapat diterima oleh penerima.
  4. Bersifat membangun. Tujuan utama kritik konstruktif adalah membantu orang atau kelompok jadi lebih baik.
Syarat-syaratnya agak sulit, kan? Saat kita mengkritik, kita sering berfokus pada orangnya.

Thus, memang ada kritik konstruktif seperti itu, tetapi sebagian besarnya destruktif. Baik karena isi dari kritik maupun cara penyampaiannya.

Pernah saya menyampaikan kritik, yang saya anggap konstruktif. Rumusan penyampaiannya pun sudah dipikirkan sedemikian rupa.

Dan apa tanggapan dari orang yang saya beri kritik itu? Ia tersinggung dan balik menyerang. Bagi beberapa orang, menyerang "masalah" atau "ide" sama dengan menyerang dirinya.

Repot juga, kan?



Kritik Diri: Tambah Maju atau? # Entri Jurnal 8

Apa sebenarnya yang dialami Romi?
 
Sebagian besar psikolog menyebutkan fenomena ini sebagai self-criticism atau mengkritik diri sendiri. Dengan mengkritik diri sendiri, kita merasa bisa meningkatkan kemampuan. Atau setidaknya sebagai sarana antisipasi, sebelum orang lain mengkritik, kita kritik diri kita sendiri dulu. Kita cari semua kekurangan dan kelemahan kita. Kita jabarkan sedemikian rupa. Kita punya ensiklopedi kekurangan dan kelemahan.
 
Apakah hasilnya kita jadi lebih baik?
 
Mengkritik diri sendiri bukan membuat kita bangkit. Malah sebaliknya. Kita jadi terpuruk. Seorang psikolog klinis Amerika, Lisa Firestone, Ph.D pun menyebut beberapa studi yang menegaskan bahwa kritik diri mengganggu kemampuan kita mencapai target yang sudah ditetapkan. Bukannya membuat kita bergerak maju, kritik diri malah jadi penghambat. Kita malah terkekang, tapi tidak kita sadari.
 
Lisa bahkan menyebut bahwa kritik diri adalah prediktor kuat munculnya depresi. Sederhananya, orang yang sering mengkritik diri sendiri cenderung akan mengalami depresi.
 
Duh berat betul.
 
Lantas, solusinya apa?


Mengkritik Diri Sendiri # Entri Jurnal 7

Seorang teman, sebut saja Romi, tiba-tiba cemas. Salah seorang klien meminta audiensi. Temanya: seputar pekerjaan terjemahan yang pernah dia tangani 8 bulan lalu.

Menurut Romi, ia perlu antisipasi. Ia perlu jujur tentang semua langkah dan semua kesulitan.

Lantas, ia meminta saran. Ia sudah cemas bahwa si klien akan menjelek-jelekkan dan akan saling berbantah di forum itu.

Lalu saya bilang "memangnya klien ini bilang kalau pekerjaanmu jelek."

"Gak juga sih" ujarnya ragu. "Cuman ya dulu banyak masalah pas kita ngerjakan. Kayaknya dia nemu bagian-bagian yang kurang bagus di terjemahan kita."

"Oke, kita susun langkah dan kita susun jawaban yang sebaik mungkin."

Beberapa jam kemudian, sambil tersenyum ia bercerita. "Ternyata kliennya memuji hasil terjemahan. Istilah-istilahnya sangat on-point." ujarnya bersemangat. "Kadang bahkan dengan penerjemah tersumpah pun tidak setepat ini, kata klien."

"Selamat ya. Tidak terbukti ternyata ketakutanmu itu ya"

Ia pun tersenyum lega.

Itulah yang sering terjadi dan menimpa kita. Kita merasa pekerjaan kita dan penampilan kita buruk. Sebab, kita tahu semua celah. Kita tahu semua kekurangannya saat mengerjakan. 

Kita menuntut diri kadang di angka 100%. Sementara bagi klien, 80% kita saja sudah setara dengan 100%-nya ekspektasinya dia.

Saya selalu suka teman yang bekerja 100% tetapi merasa banyak yang bisa ditingkatkan dari pekerjaan 100% itu. Artinya, ia merasa mampu meningkatkan dan memperbaiki diri. 
 
 


Kucing Iri - Entri Jurnal #6

Tadi pagi, kucing kesayangan kami, Bleki, kabur dari rumah. Penyebabnya, ada kucing kampung liar yang dengan santainya garuk-garuk kepala di rumah seberang. 

Bleki rupanya tak terima. 

Padahal, si kucing liar itu tidak ngapa-ngapain. Tidak berbunyi yang mengganggu. Tidak pula menantang. Hanya diam sambil menikmati pagi yang cerah di Singosari.

Bleki iri? Bisa saja. Si kucing kampung bisa sebebas itu lho. Beda dengan Bleki, yang tak pernah kami biarkan berkeliaran di luar.

Ia melompat pagar setinggi 2 meter untuk kemudian bersitatap lalu bersitegang dengan makhluk berbulu berwarna oranye tersebut.

Bleki mendesis, kucing oranye yang tak punya salah itu pun lari. Bleki tak terima, lalu balik mengejar. Ia masuk orang yang pagarnya sedang terkunci. 

Gimana saya masuknya? Setelah mengevaluasi kondisi, saya pun mempraktikkan kemampuan yang sudah terasah sejak kecil. Lompat pagar.

Melihat kucing tengkar dan Bleki mendesis, salah seorang tetangga datang. Saya pun menjelaskan Bleki yang kabur.

Moral of the story: Bleki iri dengan kenikmatan kucing liar lain, yaitu kebebasan. Dan ia lupa dengan kenikmatan yang ia terima, sense of safety and comfort.

Agak mirip kita-kita.


Belajar Ilmu Customer Service dan Marketing dari Promotor Hape Lulusan SMA

Kejarlah ilmu sampai ke negeri China, kata pepatah. Saya pun mencoba mempraktikkan itu. Walau kali ini saya belajarnya dari CS dan marketing hape.
 
Ceritanya: pada tanggal 8 Oktober 2024, saya mengajak Ndaru beli hape untuk kebutuhan kantor. Awalnya, hape yang mau kami beli adalah Infinix Note 40.
 
Dari semua toko hape di Malang, Ivancell menawarkan harga paling ramah di kantong. Salah satu toko hape besar di sebelahnya misalnya menawarkan harga 2.400k. Di marketplace online, mereka tawarkan seharga 2.300k. 

Rupanya di tengah persaingan sengit itu, IvanCell menggunakan strategi pricing.

Apa itu? Strategi mengotak-atik harga agar paling bersaing. Atau customer merasa bahwa toko ini memberikan harga yang paling bersaing. Harga yang mereka tawarkan hanya 2.200k.

 
Berangkatlah kami ke Ivan Cell sekira jam 2. Seorang lelaki muda berumur sekitar 20 tahunan dan berbaju warna hitam menyambut kami. Perawakannya kurus dan berkacamata pula. Karena versi infinix 40 yang mau kami beli tidak ada, kami ditawari hape yang sama tetapi versi BMW. Kami pun sejenak memikirkan dan melakukan riset cepat di google.
 
Setelah bertanya tujuan hape yang akan kami gunakan, ia sarankanlah hape Samsung M15. Ia jelaskan semua fitur dan keunggulan hape ini. Product knowledge-nya tidak kaleng-kaleng.

Setelah kami putuskan untuk beli Samsung M15 ini, kami diminta ke lantai atas untuk melakukan unboxing. Kami melalui beberapa prosedur unboxing atau pemeriksaan fungsional, sesuai SOP yang ditetapkan.
 
Di situlah kami mengobrol. Bila dirangkum: kira-kira ia sudah bekerja 3 tahun dengan berbagai pengalaman di pekerjaan sebelumnya. Ia sebenarnya promotor untuk produk Apple. Artinya, tanggung jawab utamanya ya menjual produk Apple.
 
Hebatnya, ia tetap melayani penjualan hape lain bila ada pelanggan yang bertanya tentang produk lain tersebut. Ia tak memaksa pelanggan membeli hape yang ia promotori. Bila dipaksa, takut pelanggan tersebut tidak nyaman dan akhirnya beralih ke lain hati, eh toko maksudnya. Masuk akal. Ilmu customer service-nya boleh juga.
 
Lalu kami tanya soal target. Ia bilang targetnya adalah menjual 70 unit hape atau aksesori. Bila hanya mencapai 50%, sanksinya beragam. Bisa pindah toko atau bahkan tidak berlanjut bila ternyata tidak melakukan perbaikan. Wow
 
Lalu, apakah tindakannya menjual produk Samsung itu tidak dipertimbangkan?
 
Tetap dipertimbangkan, katanya sambil tersenyum.
 
Ia pun bercerita tentang seminggu sekali harus mengikuti pelatihan untuk meng-upgrade ilmu dan skill-nya. Ia bercerita product knowledge yang harus ia serap setiap minggu, lalu juga belajar tentang teknik cross-selling dan up-selling.
 
Saya lalu bercerita tentang betapa hebatnya Ivan Cell konsisten melakukan live IG. Padahal, penontonnya kadang hanya 1. Ia lalu menyahut baru tadi selesai melakukan Live. Ia melakukan aktivitas marketing dan direct sales juga.
 
Di akhir waktu setelah selesai obrolan itu, ia bertanya apakah saya sudah mengikuti instagram toko? Ya sudah, jawab saya.
 
Lalu ia lanjut dengan meminta tolong agar membantunya. Caranya, mereview toko tersebut di Google. Nanti saja mas ya.
 
Baik Pak, jawabnya.
 
Wow, ia meminta physical evidence pula. Lalu kami dimintai tolong untuk difoto untuk keperluan media sosial. Ilmu marketing-nya juga jalan.
 
Kok bisa se-multi-tasking dan sekomplit itu ya?
 
 


Kepala di Atas Langit, Kaki Menjejak Tanah - Entri Jurnal #5

Kepala di Atas Langit, Kaki Menjejak Tanah - Entri Jurnal #5

Lalu apa peranan seorang pemimpin?

Saat mencari info lengkap, ada salah satu artikel bagus. Di artikel itu, Dr. Hidayatulloh, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, memaparkan empat peranan seorang pemimpin.

Pertama, pathfinding atau menemukan jalan. Pemimpin memiliki peran untuk menentukan arah kepada kelompoknya, seperti visi, misi, dan strategi.

Kedua, modelling atau menjadi teladan. Artinya, pemimpin wajib memberikan contoh yang baik kepada anggota kelompoknya. Peranan ini menjadi cara efektif untuk membentuk tim hebat seperti yang seorang pemimpin inginkan. Tujuannya: membangun kepercayaan.

Ketiga, aligning atau menyelaraskan. Pemimpin harus menjaga tim agar tetap sejalur dengan visi yang ingin diraih bersama. Pemimpin melakukan pengaturan dan penyesuaian dengan perubahan yang ada tetapi tetap menuju tujuan yang sama.

Keempat, empowering atau memberdayakan. Pemimpin fokus pada pengembangan bakat para anggotanya. Pemimpin memberikan kepercayaan dan tanggung jawab, serta membantu anggotanya jika diperlukan.

Bila dipikir-pikir, peranan seperti ini mirip dengan konsep servant leadership. Seorang "servant leader" melayani organisasi dengan menentukan visi, misi, dan strategi. Si leader lalu mengerahkan dirinya, pikirannya, sumber dayanya, dan tindakannya untuk mencapai sasaran bersama itu. Temukan tujuan, lalu selaraskan semua agar orang-orang bisa mencapai tujuan dengan selamat, dan syukur-syukur bahagia.

Kepala Pemimpin itu di Atas Langit, Kakinya Menjejak Tanah

Belajar Memimpin dari Ketua RT -  Entri Jurnal #4

Belajar Memimpin dari Ketua RT - Entri Jurnal #4

Menjadi pemimpin itu tentang melakukan sesuatu yang benar. Definisi yang benar bisa sangat luas dan lebar. Dan orang-orang punya POV berbeda.
 
Misalnya di level kepemimpinan RT. Ada pelanggaran terkait warga yang tidak membayar iuran. Menurut aturan, bila tidak membayar iuran, Pak RT tidak mau menangani urusan administrasi orang yang bersangkutan.
 
Bila dia menggunakan kompas seorang bendahara, aturan ini adalah aturan. Harus ditegakkan. Orang yang bersangkutan tidak akan dilayani urusan administrasinya.
 
Bila menggunakan POV seorang pemimpin rakyat, Pak RT tidak serta menegakkan aturan ini. Ia telisik dulu alasan mengapa orang ini tidak membayar iuran. Bila karena memang tidak punya uang, ya Pak RT ini akan memaklumi. Bahkan mencarikan cara agar si warga bisa melunasi tanggungannya.
 
Lalu, di tengah POV yang berbeda-beda itu, apa yang perlu dilakukan seorang pemimpin? Mengikuti kompas kepemimpinan dan moral yang sudah ditetapkan. Dengan kompas yang tepat, ia bisa menuju arah yang tepat. Tak harus benar. Kadang salah. Kadang menyimpang.
 
Namun, akan ada pengalihan atau reroute yang membuatnya beralih ke arah yang tepat lagi. Ia akan sadar saat salah. Lalu meminta maaf dan mengubah serta memperbaiki kesalahan yang ada.