Pilu*

Pilu*

Meski berat tak bisa kutanggung, malu tak bisa kupikul, lelah tak bisa buang, aku akan terus berjalan. Menyusuri hari-hari sepi. Jalan-jalan sunyi. Menilisik lagi kisah-kisah lalu, menatanya, lalu menyimpannya dalam memori hati. Ah biarkanlah dia ada di sana selamanya, tanpa harus aku lupa, tanpa harus aku abai, tanpa aku harus ratapi.

Bagaimana pun dia pernah menjadi bagian terindahmu, hatiku menabahkan.


Tapi dia kini bahagia dengan orang lain, otakku menentang. Hari-harinya bersamamu kini sudah menguap entah kemana, lanjutnya. Engkau kini tinggal bayangan semu di masa lalu. Tak pantas diingatnya. Lalu mengapa engkau datang pula hari ini, hanya menambah sesak di hati.

Saat-saat terakhir
Tak apa, yang penting aku hadir hari ini. Toh cinta tak harus selalu bersama. Toh cinta pada akhirnya harus terpisah jua. Toh kebersamaan pada akhirnya berujung pada perpisahan pula. Setidaknya dia pernah begitu dekat denganku. Menemani hari-hariku. Melengkapi sebagian perjalanan hidupku.

Tapi kalau bisa, tidak hari ini. Tidak dengan cara seperti ini.

Memang harus aku akui, perpisahan dengan cara ini memilukan. Mengiris hatiku sedemikian dalam, hingga mengingatnya saja aku sudah merasa sakit. Di depan mataku, dia direbut.

Ya, aku memang tidak tepat berada di bawah terop saat itu, tetapi di sebelah kanan terop. Tepat di beranda rumah sang calon pengantin. Posisiku di pojok. Wajahku sendu, andai kau ingin tahu. Hatiku remuk redam. Aku memang sudah melepasnya. Merelakannya semenjak dulu, bahkan semenjak pertama kali bertemu.